Oleh: Arini Retnaningsih
Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Orang yang membaca sekilas metode mubadalah ini sering terjebak pada satu sisi saja, kemudian merasa bahwa metode ini adalah benar karena menggunakan dalil-dalil yang benar dan lantas mengadopsinya. Setidaknya ada tiga poin yang harus dikritisi dari pembahasan metode qira’ah mubadalah ini.
1) Pembacaan Fakta
Metode mubadalah bertolak dari fakta-fakta di masyarakat yang cenderung pada budaya patriarki, lantas menggeneralisasi fakta-fakta tersebut seakan merupakan hasil-hasil penafsiran para ulama yang bias gender. Contohnya, tingginya angka KDRT di masyarakat, dipandang merupakan hasil dari penafsiran bias gender dari QS An-Nisa: 34 yang membolehkan suami memukul istri yang nusyuz.
Padahal, budaya patriarki yang kuat di masyarakat bukanlah tuntunan agama, melainkan hasil tradisi yang telah mengakar di masyarakat, bahkan sebelum Islam hadir di bumi Nusantara. Misal, perempuan yang diidentikkan dengan “kasur, dapur, dan sumur”, ataupun tradisi kawin paksa ala Siti Nurbaya, yang semua ini sama sekali tidak Islam ajarkan.
Kesalahan dalam membaca fakta menjadikan penulis tersebut merumuskan solusi dengan mengubah metode penafsiran agar lebih ramah gender, alih-alih mengubah fakta yang ada agar sesuai syariat.
Contohnya, dalam bukunya di hlm. 109, penulis menguraikan bahwa saat ini banyak perempuan terpaksa bekerja menjadi kepala keluarga karena suaminya meninggal atau pergi. Oleh karenanya, menurutnya, posisi perempuan sebagai qawwam dalam kondisi ini tidak bisa ditolak lagi.
Padahal, Islam sudah menetapkan bahwa nafkah perempuan harus ditanggung walinya sesuai urutan kedekatan kekerabatannya, sedangkan nafkah anak-anak ditanggung wali mereka dari jalur kekerabatan ayah. Bila kondisi ini tidak berjalan sekarang, solusinya bukan dengan mengubah hukum, tetapi dengan memahamkan umat dan negara harus menerapkan aturan ini beserta perangkat sanksi untuk memaksa orang yang memiliki kewajiban, tetapi tidak menjalankannya.
2) Pembacaan Referensi
Dalam penggunaan referensi, penulis menggunakan dua macam referensi, yaitu dari penulis yang memang idenya adalah ide feminis, serta membajak ide penulis nonfeminis yang dianggap menjadi penguat atas premis-premis feminisme yang dibangunnya.
Penulis feminis yang diambil sebagai referensi antara lain Amina Wadud, Fatima Mernissi, Siti Musdah Mulia, K.H. Hussein Muhammad, dsb. Bahkan, penulis menjadikan tauhid sebagai basis mubadalah terinspirasi dari tulisan Amina Wadud. Menurut Amina Wadud, sistem sosial patriarki yang menjadikan laki-laki superior dan perempuan berada di bawahnya adalah tindakan menyekutukan Tuhan (syirik) dan kesombongan yang bertentangan dengan konsep tauhid (ibid, hal. 95).
Pernyataan Amina Wadud ini merupakan pernyataan tendensius yang memiliki tujuan mencari otoritas dalil atas ide kesetaraan yang diembannya. Ini tampak dari ketakkonsistenan atas ide tauhid. Di satu sisi ia mengagungkan tauhid dan menjadikannya seolah-olah merupakan sumber pemikirannya, di sisi lain ia menolak konsekuensi dari tauhid.
Perlu kita catat, tauhid bermakna mengesakan Allah, termasuk mengakui otoritas-Nya sebagai satu-satunya pembuat aturan.
Dengan demikian, bila tauhid menjadi basis teologis, seharusnya akan melahirkan sikap taat kepada Allah, termasuk hukum-hukum-Nya. Ketika Allah menetapkan bagi perempuan warisan setengah dari laki-laki, atau menetapkan laki-laki sebagai qawwam, atau memberikan hak talak kepada suami, semua aturan ini tidak akan ditolak dengan alasan kesetaraan gender.
Tidak adilnya penulis dalam mengambil referensi juga tampak dari upayanya membajak ide penulis lain untuk kepentingan legalitas ide mubadalah. Di halaman 168 penulis mengatakan terinspirasi secara kuat dari pendekatan dan metode tafsir ulama dan pemikir Mesir, Abdul Halim Muhammad Abu Syuqqah, penulis buku Tahrir al-Mar’ah fi Ashr al-Risalah (1990), yang diterjemahkan di Indonesia dengan judul Kebebasan Wanita.
Padahal, bila kita membaca tulisan Abu Syuqqah, beliau sama sekali tidak membicarakan kebebasan versi feminisme atau menerapkan metode mubadalah. Beliau justru menjelaskan hukum-hukum dan gambaran aktivitas perempuan pada masa Rasulullah saw. dalam rangka memberikan gambaran bahwa perempuan muslim tidak seperti yang diopinikan Islam ekstrem kanan atau para pembenci Islam bahwa mereka terkurung di rumah, dibatasi hijab, dan ditiadakan hak-hak publiknya. Dalam menjelaskan gambaran ini, beliau berpijak pada dalil tanpa melakukan penafsiran yang menyimpang.
Bahkan, dalam beberapa pembahasan, Abu Syuqqah bertentangan pendapat dengan kesimpulan-kesimpulan Fakihuddin , misal tanggung jawab nafkah ada pada suami dan ayah (Abu Syuqqah, 1997. Kebebasan Wanita Jilid 2. Gema Insani Press, Jakarta. Hlm. 417), kaum laki-laki adalah pemimpin keluarga (ibid, hal. 419), larangan perempuan menjadi pemimpin negara (ibid, hlm. 438), dan seterusnya.
3) Pembacaan Dalil
Pada awal pembahasan metode mubadalah, penulis memaparkan dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadis yang bersifat umum, berlaku bagi laki-laki dan perempuan yang menunjukkan kemuliaan dan balasan pahala di sisi Allah adalah sama bagi keduanya. Begitu juga dalil-dalil yang menunjukkan bagaimana Islam memuliakan perempuan.
Sampai sisi ini, yang disampaikan penulis adalah benar. Islam telah mengangkat kedudukan perempuan yang tidak diperhitungkan pada masa Jahiliah, menjadi setara di sisi Allah dari sisi kemanusiaan dan taklif syarak secara umum.
Kesalahannya, setelah melalui berbagai alasan yang dikemukakan, baik dari sisi maqashid syariah, qath’iy, dan zhanny, metode penafsiran, tradisi keberagamaan klasik, hingga penggunaan lafaz dalam Al-Qur’an, penulis mengambil yang ia sebut esensi dari dalil, yaitu keadilan dan kesetaraan, untuk diterapkan pada ayat dan hadis yang dianggapnya memiliki penafsiran patriarki, seperti ayat tentang waris, kepemimpinan rumah tangga, talak dan idah; atau hadis seperti fitnah perempuan, ketaatan pada suami, dan sebagainya. Kemudian, dalil-dalil yang penulis anggap bias gender ini ditafsirkan ulang dengan metode mubadalah, yang menghasilkan kesetaraan laki-laki dan perempuan.
Dengan demikian, sebenarnya pembacaan penulis dan para feminis muslim lainnya atas dalil adalah nilai-nilai yang mereka tetapkan sendiri seperti keadilan dan kesetaraan. Al-Qur’an dan Hadis hanya digunakan sebagai legalitas agar bisa dikatakan bahwa konstruksi pemikirannya berangkat dari sumber yang paling otoritatif dalam Islam.
Padahal, justru tampak dari metode ini bahwa mereka membaca nas secara subjektif. Bila sesuai dengan nilai yang mereka akui, mereka menerima dalil tersebut. Bila tidak sesuai, mereka menolak dengan memberikan penafsiran baru sesuai yang mereka inginkan.
Qira’ah Mubadalah Bagian dari Tafsir Maqashid
Mencermati proses pembentukan metode mubadalah, kita bisa katakan bahwa metode ini sebenarnya adalah bagian dari tafsir maqashid. Ada empat pilar yang merupakan tujuan dari ketentuan dan hukum Islam, yaitu keadilan, kearifan, kasih sayang, dan kemaslahatan. Empat pilar inilah yang merupakan akar inspirasi perspektif kesalingan dalam relasi laki-laki dan perempuan (Abdul Kodir, hlm. 101).
Dengan kata lain, keempat pilar ini dijadikan esensi dari syariat (maqashid syariah). Oleh karenanya, hukum-hukum yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai esensial ini harus ditafsir ulang untuk disesuaikan dengannya.
Masalahnya, nilai-nilai yang dianggap esensial ini distandarkan dengan akal. Keadilan, misalnya, hanya dipahami dengan adanya kesamaan, yakni tidak sama berarti tidak adil. Sebagaimana persoalan bidadari yang disediakan bagi laki-laki yang masuk surga. Penulis menganggap adalah tidak adil ketika hanya laki-laki yang merasakan kenikmatan dilayani bidadari di surga. Alhasil, dengan prinsip kesalingan, penulis menyatakan perempuan akan mendapatkan bidadara yang tampan, menawan, menyenangkan, dst. (ibid, 319).
Ini adalah pandangan sempit tanpa berdasar dalil karena kenikmatan surga yang beraneka macam—dengan tingkat kenikmatan yang tidak terbayang dalam benak manusia saat ini—akan memberikan kebahagiaan dan kepuasan bagi laki-laki maupun perempuan sesuai dengan fitrah dan tabiat masing-masing. Tidak selalu berupa kenikmatan seksual karena kenikmatan tersebut hanya bagian kecil saja dari kenikmatan surga yang diceritakan dalam berbagai nas.
Nilai-nilai, seperti keadilan, kasih sayang, dan sebagainya yang terdapat dalam syariat, hakikatnya adalah hikmah yang Allah berikan di balik penetapannya. Ketika hukum-hukum ini dijalankan, nilai-nilai tersebut pasti akan tercapai. Bukan sebaliknya, nilai-nilai tersebut dijadikan sebagai standar dari penerapan syariat.
Standar penerapan syariat adalah apa pun yang sudah Allah tetapkan. Yang Allah anggap baik dan terpuji, itulah yang kita jalankan, sekalipun kita tidak menyukainya karena kadang hikmah itu tidak tertangkap langsung oleh indra kita saat itu juga. Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Baqarah: 216:
وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Sebagai bagian dari tafsir maqashid, maka qira’ah mubadalah ini adalah salah satu bentuk penafsiran yang bersandar pada akal, sekalipun tampak menggunakan berbagai ayat dan hadis.
Memang, dalam ilmu tafsir kita mengenal adanya metode tafsir bi al-dirayah wa al-‘aql yang menggunakan akal sebagai alat untuk memahami makna yang tepat melalui metode ijtihad. Metode inilah yang dijadikan pembenaran oleh penulis dalam menyusun tafsir model qira’ah mubadalah (ibid, hlm. 127—133).
Ulama besar Imam Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Asy-Syakhshiyyah Islamiyyah Jilid 1 menjelaskan bahwa yang dimaksud tafsir bi ar-ra’yi (ijtihad dalam tafsir) adalah memahami kalimat-kalimat Al-Qur’an melalui pemahaman terhadap madlul-nya yang ditunjukkan oleh informasi-informasi yang dimiliki seorang ahli tafsir. Informasi ini mencakup pengetahuan bahasa dan sastra Arab yang mumpuni, penguasaan atas berbagai peristiwa (asbabunnuzul dan sirah), serta berbagai ilmu tentang Al-Qur’an yang dibutuhkan.
Dengan demikian, sekalipun disebut tafsir bi ar-ra’yi atau bi al-dirayah wa al-‘aql, tidak berarti penafsiran diserahkan kepada akal semata. Fungsi akal di sini hanya untuk menetapkan dalil yang bisa digunakan dan memahami dalil, bukan sebagai standar kebenaran, keadilan, dan nilai-nilai lain yang dikehendaki sebagaimana dalam tafsir maqashid.
Rasulullah saw. telah mengeluarkan larangan tegas menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat sendiri berlandaskan akal. Beliau saw. bersabda,
وَمَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa berkata tentang Al-Qur’an dengan pendapat logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR Tirmidzi no. 2951. Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan).
Khatimah
Mengkritisi metode qira’ah mubadalah dalam memaknai teks-teks dalil, baik Al-Qur’an maupun hadis menjadi hal yang penting karena itu berarti menangkal senjata yang digunakan kaum feminis untuk merusak Islam.
Sekian lama mereka menjajakan ide di kalangan kaum muslim dengan hasil yang tidak signifikan. Namun, dengan menggunakan metode qira’ah mubadalah, sambutan umat sungguh luar biasa, terbukti dari banyaknya karya ilmiah, kajian, dan tulisan berbasis metode ini. (thisisgender.com, 30/10/2020).
Seiring moderasi Islam, feminisme ikut dipromosikan karena kesamaan dan kesetaraan merupakan salah satu dari karakter moderasi. Ini merupakan ancaman besar terhadap keberadaan keluarga muslim yang menjadi benteng terakhir dari penerapan Islam saat ini.
Dengan demikian, kita harus tetap bergerak mencerdaskan umat, khususnya muslimah, agar tidak terseret dalam perjuangan semu feminisme Islam dan meninggalkan perjuangan hakiki dalam menerapkan Islam kafah di muka bumi. Wallahu a’lam bishshawab.
Sumber: muslimahnews.net