Oleh: Ummu Kautsar
Suaramubalighah.com, Opini — Penggalan dakwah Oki Setiana Dewi viral di media sosial dan melahirkan kritik pedas dari para netizen. Oki Setiana Dewi dinilai menormalisasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) demi menutupi aib seorang suami. (pikiranrakyat.com, 04/02/2022)
Meski Oki Setiana Dewi melalui keterangan tertulis akhirnya meminta maaf atas ucapan lisan yang mungkin menyakiti segelintir orang, namun isu normalisasi KDRT masih menjadi sorotan penting terutama bagi pihak yang mengklaim sebagai garda terdepan pejuang emansipasi perempuan. Pejuang feminis seolah menemukan peluang untuk makin menggencarkan desakan dalam mengokohkan solusi kesetaraan gender melalui undang-undang. Para feminis sedang mengawal pengesahan RUU TPKS (Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Dengan isu “normalisasi KDRT” mereka bisa menekan penguasa agar segera mengesahkannya menjadi UU. Momen ini juga disinyalir sebagai upaya mereka untuk semakin memojokkan Islam serta mengalihkan perhatian masyarakat dari isu ketelanjangan proyek IKN yang zalim dan berbahaya bagi bangsa ini.
Sebenarnya, masalah KDRT, kekerasan seksual, dan juga berbagai problematika kehidupan yang menimpa bangsa ini juga umat manusia di seluruh dunia saat ini adalah buah dari penerapan sistem kapitalisme-sekuler. Umat Islam terjajah dengan sistem kapitalis-sekuler yang membuat semakin jauhnya mereka dari pemikiran Islam dan gambaran penerapan Islam kaffah di semua aspek kehidupan.
Islam tidak mengenal kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Tidak ada celah bagi suami melakukan KDRT. Sehingga ketika ada narasi Islam menormalisasi KDRT, maka itu sebuah tuduhan yang keji.
Perkawinan dalam Islam mempunyai visi-misi untuk beribadah kepada Allah SWT. Kehidupan suami-istri diwarnai dengan berlomba-lomba untuk beramal saleh dan masuk surga bersama-sama. Suami-istri menurut aturan Islam wajib menunaikan hak dan kewajiban dengan sebaik – baiknya serta bergaul dengan cara yang makruf. Sebagaimana firman Allah SWT,
وَلَهُنَّ مِثۡلُ الَّذِىۡ عَلَيۡهِنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (QS. Al-Baqarah (2): 228)
Hubungan suami-istri adalah persahabatan dan kasih sayang, maka terwujudlah sakinah mawaddah warahmah. Allah SWT memerintahkan bergaul secara makruf antara suami dan istri. Seperti firman-Nya,
وَعَاشِرُوۡهُنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ
“Dan bergaulah dengan mereka secara makruf (baik)” (QS. An-Nisa (4): 19)
Ataupun sabda Rasulullah saw.,
: خيركم خيركم لأهله وأنا خيركم لأهلي
“Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya (istrinya) dan aku adalah orang yang paling baik kepada keluargaku (istriku).” (HR. Al-Hakim dan Ibnu Hibban dari jalur Aisyah ra.)
Dalam Islam, suami dibolehkan mendisiplinkan istrinya dengan “memukul” (ta’dib) manakala istri melakukan pembangkangan atau tidak taat suami. Kebolehan ini semata didasari oleh asas mendidik mengingat konflik suami dan istri butuh solusi hakiki. Perlu ditegaskan bahwa kehidupan suami-istri berjalan semata di atas syariat Islam. Sehingga jika istri melakukan pelanggaran, sebagai imam yang baik, maka suami wajib menegur istrinya.
Teguran tersebut bertahap, tidak langsung ta’dib. Pertama, suami menasihati terlebih dahulu dengan lemah lembut. Kedua, mendiamkan istri di tempat tidurnya (hajr). Kalau sampai tahap ini istri masih membangkang, ta’dib adalah jalan terakhir.
Adapun syarat melakukan ta’dib adalah: Pertama, memukul bukan pada tempat yang dilarang, seperti wajah. Kedua, memukul tidak pada tempat yang membahayakan, misalnya pelipis, perut, jantung, dan organ vital lainnya. Ketiga, memukul tidak dilakukan dengan kekuatan penuh sehingga menyakitkan, misal menimbulkan bekas luka, merusak anggota tubuh, atau bahkan pukulan mematikan.
Jika ketiga syarat ini dilanggar, suami bukan lagi mendisiplinkan istri, tetapi sudah melakukan tindakan kriminal (KDRT) dan sangat tidak diperbolehkan dalam Islam. Korban dipersilakan melaporkan perbuatan suami kepada pihak berwajib. Negara akan menetapkan sanksi tegas bagi pelaku KDRT.
Dengan demikian, jelas terlihat perbedaan antara tindakan pendisiplinan istri dan tindakan kriminal seperti KDRT. Dalam Islam, yang dinormalisasi adalah pendisiplinannya, bukan KDRT. Penting untuk saat ini bagi para muballighah untuk memilih narasi tepat dalam dakwahnya dan fokus kepada dakwah mewujudkan cita mulia, yakni meneggakkan kembali sistem Islam yang akan membawa keberkahan bagi umat manusia di seluruh penjuru dunia. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]