Oleh: Rahmah
Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Boleh tidaknya perempuan menjadi imam salat adalah satu isu yang diangkat oleh para pengusung feminisme Islam. Namun, ide ini tidak banyak mendapatkan sambutan di tengah umat.
Dengan populernya metode qira’ah mubadalah, yakni metode kesalingan dalam relasi antara laki-laki dan perempuan sebagai metode pembacaan nas, isu ini kembali dimunculkan sebagai bentuk mubadalah dari kebolehan laki-laki menjadi imam salat.
Perempuan sebagai Imam Salat
Menurut Husen Muhammad, pada dasarnya Islam membolehkan perempuan mengimami salat jemaah laki-laki. (Hussen Muhammad, Perempuan dalam Fikih Ibadah, Jurnal HARKAT- Vol. 5. No. 1)
Sepertinya pendapat ini mengikuti Amina Wadud, feminis muslim yang menyelenggarakan salat jemaah yang berimamkan perempuan, jemaahnya ada laki-laki dan perempuan, sebagian mentup aurat, sebagian yang lain tidak.
Amina Wadud termasuk generasi pertama yang melakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat gender dalam Al-Qur’an dengan menggunakan hermeneutika feminisme, yakni metode penafsiran Al-Qur’an berbasis feminis (wikipedia.org)
Husen Muhammad dan Amina Wadud berpendapat perempuan boleh menjadi imam salat laki-laki berdasarkan hadis tentang Ummu Waraqah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Menurut mereka, pendapat yang melarang wanita mengimami salat jemaah laki-laki bukan permasalahan fikih karena secara fikih sebenarnya diperbolehkan.
Hanya saja fikih yang ada merupakan hasil ijtihad para fukaha yang mayoritas laki-laki sehingga hasil ijtihadnya bias gender /memihak laki-laki. Oleh karena itu, harus diadakan ijtihad kembali atau reinterpretasi terhadap dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadis yang merendahkan posisi dan potensi perempuan.
Ide kesetaraan gender dipakai sebagai asas memahami hadis yang berkaitan dengan Ummu Waraqah (yang artinya), “Rasulullah pernah berkunjung ke kediaman Ummu Waraqah lalu menunjuk seseorang untuk azan dan memerintahkan Ummu Waraqah mengimami keluarganya (HR Abu Dawud).
Juga hadis (yang artinya), Nabi saw. mengizinkannya (Ummu Waraqah) untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya. (HR Abu Dawud).
Selanjutnya dijelaskan bahwa di antara orang yang berada di rumah Ummu Waraqah tersebut terdapat ‘syeikhun kabir waghulamuha wajariyatuha’ atau seorang laki-laki lanjut usia, seorang anak laki-laki dan budak perempuan.
Menurut mereka, dari hadis Ummu Waraqah tersebut dapat dipahami bahwa perempuan mengimami salat jemaah laki-laki hukumnya boleh walaupun secara umum tidak langsung dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat.
Dalam hadis tersebut, Ummu Waraqah langsung menghadap Rasulullah saw. bahkan Nabi sendiri yang memerintahkannya untuk mengimami keluarganya yang beranggotakan kaum laki-laki yakni laki-laki tua dan seorang budak laki-laki. (Pengantar Kajian Gender, PSW UIN Syarif Hidayatullah).
Perempuan Menjadi Imam Salat Jemaah Laki-Laki menurut Islam
Jumhur ulama (Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanafi, dan Imam Hambali) berpendapat bahwa perempuan menjadi imam salat jamaah yang makmumnya laki-laki hukumnya tidak boleh. Mereka juga bersepakat bahwa salat Jumat hukumnya wajib hanya bagi laki-laki (Ibnu Rusydi al-Qurtubi, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Kairo: Maktabah Shorouk, hlm. 128).
Adapun dalil hadis nabi yang berkaitan dengan Ummu Waraqah adalah sebagai berikut:
قَالَ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُورُهَا فِي بَيْتِهَا وَجَعَلَ لَهَا مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ لَهَا وَأَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَأَنَا رَأَيْتُ مُؤَذِّنَهَا شَيْخًا كَبِيرًا
Nabi pernah berkunjung ke kediaman Ummu Waraqah lalu menunjuk seseorang untuk azan dan dan memerintahkan Umi Waraqah mengimami keluarganya. (HR Abu Dawud, Hadis no 500).
وَأَذن لَهَا أَنْ تَؤُمّ َ اهل دَارِهَا
Nabi saw mengizinkannya (Ummu Waraqah) untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya. (HR. Abu Dawud).
Hadis tersebut bersifat umum bagi laki-laki dan perempuan. Jika hanya hadis ini saja yang digunakan, mungkin saja ada yang memahami bahwa perempuan boleh menjadi imam bagi penghuni rumahnya (termasuk laki-laki). Namun, ternyata ada hadis yang mengkhususkannya,
وَأَذن لَهَا أَنْ تَؤُمّ نساءَ اهل دَارِهَا
“Nabi saw. mengizinkannya (Ummu Waraqah) untuk menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni rumahnya.” (HR Ad-Daruquthni).
Dalam hadis ini dinyatakan bahwa yang diizinkan Nabi saw. untuk diimami perempuan adalah kaum perempuan juga.
Hal ini lebih ditegaskan oleh sabda Nabi saw.,
أَلَا لَا تَؤُمَّنَّ امْرَأَةٌ رَجُلًا
“Ingatlah janganlah sekali-kali perempuan menjadi imam laki-laki.” (Hadis Sahih diriwayatkan Ibnu Majah, Hadis no. 1071)
Dalam kitab Syakshiyyah Islamiyyah Juz I, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menetapkan kaidah usul fikih untuk memperoleh dalil terkuat, lebih baik menggunakan dua dalil, daripada mengabaikan salah satunya. Berdasarkan kaidah usul fikih, “I’mal ad-Ddalilayn awla min ihmal ahadihima. (menggunakan dua dalil adalah lebih baik ketimbang mengabaikan salah satunya),” maka semua dalil di atas harus disatukan.
Artinya, sekalipun hadis pertama bersifat umum, keumuman tersebut dikhususkan oleh hadis lainnya bahwa perempuan boleh menjadi imam jika makmumnya hanya perempuan.
berdasarkan hal ini, pendapat yang membolehkan perempuan menjadi muazin dan imam salat bagi kaum laki-laki adalah pendapat lemah yang tidak bisa dipakai sebagai pijakan.
Selanjutnya, mengenai wanita menjadi imam/katib Jumat, Syekh Muhamad Ali Ash-Shabuni dalam kitab Tafsir Ayat Ahkam menyebutkan bahwa khotbah Jumat satu paket dengan salat Jumat. Oleh karenanya, hal ini harus dikembalikan pada status hukum salat Jumat itu sendiri bagi kaum perempuan. Bagi kaum perempuan, salat Jumat jelas tidak wajib. Ulama sepakat salat Jumat wajib hanya untuk laki-laki berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis.
Firman Allah dalam QS Jumu’ah: 9,
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ فَٱسۡعَوۡاْ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَذَرُواْ ٱلۡبَيۡعَۚ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٩
“Hai, orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Syekh Muhamad Ali ash-Shabuni, Tafsir Ayat Ahkam juz II, Dar al-Kitab al-Islamiyah, hlm 469).
Nabi saw. bersabda,
عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Dari Thariq bin Syihab dari Nabi Saw. bersabda, “Jumat itu merupakan hak yang diwajibkan kepada setiap muslim dalam satu jemaah, kecuali terhadap empat orang: budak yang dimiliki (tuannya), kaum wanita, anak-anak, ataupun orang yang sakit. (Hadis sahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud, Hadis no. 901).
Dalam riwayat yang lain, dari Hafshah ra.,
َ عَنْ حَفْصَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَوَاحُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
Dari Hafshah—istri Nabi Saw. berkata, “Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, ‘Pergi untuk mendirikan salat Jumat adalah kewajiban atas setiap orang yang telah mimpi basah—sudah balig.’” (Hadis sahih, diriwayatkan oleh Nasa’i, Hadis no. 1345).
Sabda Nabi yang diriwayatkan dari Jabir ra., Ibnu Rusydi al-Qurtubi dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul bersepakat bahwa khotbah dalam salat Jumat merupakan salah satu rukun yang telah disepakati kewajibannya oleh para fukaha.
Mereka mengaitkan status khatib dengan imam salat Jumat. Artinya, orang yang layak menjadi imam salat Jumat maka ia yang layak juga menjadi khatib. Jadi, hanya laki-laki yang memenuhi syarat sajalah yang layak menjadi imam/khatib salat Jumat, karena salat jemaah Jumat tersebut hanya wajib bagi kaum lelaki.
Selain itu, agar pendapat mereka bisa diterima kaum muslimin, mereka menyejajarkan masalah bolehnya perempuan mengimami salat jemaah laki-laki dengan bolehnya wanita berpidato dan membaca Al-Qur’an di hadapan laki-laki.
Perhatikan ucapan salah seorang di antara mereka, “Hal ini sama dengan kasus perempuan dilarang pidato dan membaca Al-Qur’an di hadapan lelaki. Dahulu, perempuan sulit bisa pidato dan membaca Al-Qur’an di depan lelaki, tetapi sekarang boleh karena memang secara hukum diperbolehkan.”
Padahal, kasus ini berbeda dengan kasus perempuan berpidato dan membaca Al-Qur’an di hadapan laki-laki. Hukum perempuan berpidato dan membaca Al-Qur’an di hadapan laki-laki adalah boleh karena adanya dalil yang membolehkan, di antaranya dalil-dalil yang menceritakan kedatangan para sahabat kepada Aisyah untuk bertanya tentang masalah agama dan Aisyah menerangkan pada mereka dan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an. Sedangkan perempuan mengimami salat jemaah laki-laki adalah tidak boleh karena ada dalil yang tidak membolehkan. Dengan demikian, tidak bisa kedua kasus tersebut disejajarkan.
Kesimpulannya, seorang perempuan diharamkan untuk menjadi imam bagi jemaah yang terdapat laki-laki di dalamnya. Dengan adanya dalil-dalil yang tegas tentang larangan ini, dalam ini tidak bisa diterima upaya untuk adanya mubadalah (atau menyalingkannya). Wallahu a’lam bishshawab.
Sumber: muslimahnews.net