Mu’asyarah bil Ma’ruf, Kunci Membangun Keluarga Bahagia

Oleh: Najmah Saiidah

Suaramubalighah.com, muslimah dan keluarga — Perbincangan tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kembali menyeruak. Bukan hanya karena kasus KDRT di negeri ini yang makin marak terjadi, tetapi penggodokan RUU PKDRT menjadi UU oleh DPR juga makin gencar diberitakan.

Belum lagi tentang pro dan kontra terkait ceramah bahwa istri harus menjaga aib suami berkaitan kasus KDRT suami terhadap istri. Wajar jika beberapa kalangan menilai negeri kita memang darurat KDRT.

Jika kita cermati, maraknya kekerasan terhadap perempuan ini sesungguhnya muncul karena tidak adanya perlindungan terhadap perempuan, baik oleh negara, masyarakat, maupun keluarga. Hal ini karena minimnya pemahaman tentang kewajiban negara, masyarakat, ataupun anggota keluarga, serta tidak diberlakukannya aturan baku di tengah umat.

Ini semua karena umat Islam sedang berada dalam cengkeraman sistem sekuler kapitalisme yang mengakibatkan kaum muslim kehilangan gambaran nyata tentang kehidupan Islam yang sesungguhnya.

Selanjutnya, posisi Islam yang seharusnya menjadi acuan atau landasan berpikir dan bertingkah laku, tergantikan oleh pemikiran sekuler kapitalistik. Alhasil, tidak aneh jika corak kehidupan sekuler kapitalistiklah yang mendominasi umat dewasa ini.

Corak kehidupan inilah yang akhirnya membuat kaum muslim tidak mampu menyelesaikan dengan tuntas permasalahan yang muncul di tengah mereka, termasuk permasalahan rumah tangga. Tidak sedikit pasutri yang tidak paham cara Islam mengatur pergaulan dalam kehidupan rumah tangga. Inilah yang akan kita bahas.

Mu’asyarah bil Ma’ruf dalam Kehidupan Berumah Tangga
Islam sangat menekankan pentingnya menjaga keharmonisan keluarga. Ini karena pada hakikatnya, baiti jannati, rumahku adalah surgaku. Keharmonisan ini terwujud dengan interaksi yang baik dan intens dengan seluruh anggota keluarga dengan menjadikan syariat Islam sebagai pedoman dan pijakannya.

Allah telah memerintahkan agar suami bergaul dengan istrinya dengan makruf, sebagaimana layaknya seorang sahabat secara sempurna. Inilah yang Rasulullah lakukan terhadap istri-istrinya, memberikan hak-haknya, nafkah, dan mahar baginya, tidak bermuka masam, dan tidak menampakkan kecenderungan kepada wanita lain. Firman Allah,

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

“… Dan bergaulah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An-Nisa’: 19)

Maksud dari “menggauli dengan cara yang patut/baik” adalah akhlak yang baik, lembut, bicara pelan dan tidak kasar, serta mengakui kesalahan dan kekhilafan yang semua orang pasti pernah melakukannya.

Ada beberapa pendapat dalam memahami mu’asyarah bil-ma’ruf, salah satunya memaknai dengan ‘memperbaiki ucapan, perbuatan, dan penampilan’. Imam Ath-Thabari menafsirkan ayat ini, apabila para istri menaati Allah Swt.. dan menaati suami mereka, wajib bagi para suami untuk membaguskan pergaulannya dengan istri mereka, menahan dari memberikan gangguan/menyakiti istri, dan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya (Tafsir Ath-Thabari, jil. 2, hlm. 466).

Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di berkata dalam tafsirnya, “Para istri memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh suami-suami mereka, seimbang dengan kewajiban-kewajiban mereka terhadap suami-suami mereka, baik itu yang wajib maupun yang mustahab. Dan masalah pemenuhan hak suami istri ini kembalinya kepada yang makruf (yang dikenali), yaitu kebiasaan yang berlangsung di negeri masing-masing (tempat suami istri tinggal) dan sesuai dengan zaman.” (Taisir Al-Karimir Rahman)

Ibnu Katsir berpendapat bahwa mu’asyarah bil-ma’ruf atau bergaul dengan patut adalah santun ketika berbicara dengan istri, sebagaimana Anda suka diperlakukan oleh istri Anda, maka perlakukan juga istri Anda sebagaimana yang Anda sukai.

Hubungan seksual antara suami dan istri adalah kebutuhan bersama. Sedangkan Imam Qurthubi berpendapat, memberikan hak-haknya dengan sempurna, yaitu membayar mahar, memberikan nafkah, dan tidak berkata-kata kasar.

Rasulullah pun pernah berpesan kepada para suami agar tetap bersabar menghadapi sikap para wanita (istri) yang kurang disukai. Meski ada hal-hal yang tidak disukai dari gelagat atau sikap istri, hal itu tidak menjadi alasan bagi para suami untuk berlaku kasar.

Rasulullah saw. bersabda dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dan Imam Ahmad, “La yafrak mu’minun mu’minatan in kariha minha khuluqan radhiya minha akhara.“ Yang artinya, “Janganlah marah (laki-laki muslim/suami) kepada seorang wanita muslimah (istri). Jika tidak menyukai perangai darinya, maka sukailah perangai lainnya.“ (HR Muslim)

Nabi juga mengajarkan untuk menjaga rahasia keluarga, khususnya rahasia istrinya. “Sesungguhnya, suami merupakan pakaian istri dan istri adalah pakaian suami,” sabda beliau.

Rasulullah tidak pernah membuat masalah dengan istri beliau. Beliau tidak pernah mencela istri ketika makanan yang dimasak tidak enak. Pernah ketika pulang ke rumah, istri beliau melarang untuk memakan sayur yang dibuatnya karena ketumpahan cuka. Rasul pun menjawab dia suka minum cuka dan sayur masam itu pun dimakannya dengan senang hati.

Begitu juga ketika istrinya memanggang roti terlalu lama hingga gosong. Rasul tetap memakannya sambil berkata roti yang dibakar memang akan hangus.

Selain itu, Rasulullah saw. pun berpesan kepada para istri agar tidak menyakiti suaminya dengan perkataan ataupun perbuatannya, terlebih mencaci-makinya. Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia melainkan istrinya dari para bidadari surga akan berkata, ‘Jangan engkau menyakitinya, celakalah dirimu! Karena ia hanya sejenak berkumpul denganmu yang kemudian meninggalkanmu untuk kembali kepada kami.’” (HR Tarmidzi)

Dari penjelasan tafsir dan hadis-hadis Rasul ini sangat jelas bahwa Islam memerintahkan kepada pasangan suami istri untuk bergaul dengan makruf atau patut, saling menghargai yang satu dengan lainnya, berkata-kata baik, bersabar ketika menghadapi sikap pasangan yang kurang disukai, dan menjadikan syariat sebagai pijakan dalam kehidupan keluarga. Dengan mu’asyarah bil ma’ruf, maka dengan izin Allah setiap keluarga akan terhindar dari terjadinya kekerasan di dalam keluarga.

Rasulullah saw Uswatun Hasanah
Rasulullah saw. sangat mencintai keluarganya, beliau merupakan pribadi yang penyayang, dan dikenal sebagai sosok pelindung keluarganya. Dalam hadis yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban, Rasulullah saw. bersabda,

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِي

”Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik perlakuannya terhadap keluarganya. Sesungguhnya aku sendiri adalah orang yang paling baik di antara kalian dalam memperlakukan keluargaku.” (HR Ibnu Majah)

Hadis ini menegaskan bagaimana perlakuan dan perhatian beliau terhadap keluarga sangatlah besar. Penuh dengan cinta kasih, akhlak terpuji, hingga kebijaksanaan yang menaungi keluarga.

Hadis lainnya, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan paling lemah lembut terhadap keluarga.” (HR Bukhari Muslim)

Rasulullah saw. teladan terbaik dalam bergaul dengan makruf kepada keluarganya. Dari Muawiyah al-Qusyairi, Nabi pernah ditanya, “Apakah hak seorang wanita atas suaminya?” Rasulullah menjawab, “Engkau memberinya makan jika engkau makan dan engkau memberi pakaian jika engkau berpakaian. Janganlah memukulnya pada wajah, jangan mencaci maki, dan jangan menjauhinya, melainkan dalam rumah.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)

Kehidupan pernikahan yang penuh persahabatan dengan istri-istrinya telah Rasulullah contohkan pada kita semua. Hal ini tampak dari bagaimana sikap dan kata-kata yang beliau sampaikan terhadap istri-istrinya.

Tidak ada satu hadis pun yang menyebut bahwa Rasulullah pernah memukul atau mengumpat istrinya. Rasul menyapa istrinya dengan sapaan hangat dan baik. Rasul menyapa Khadijah dengan sebutan “Ya habibi” (wahai kekasihku). Begitu juga dengan Aisyah yang disapa dengan “Ya Humaira’” (Wahai wanita yang pipinya kemerahan).

Sebuah kisah yang selalu kita ingat bagaimana pergaulan Rasulullah mengajak istrinya, Aisyah, lomba lari. Rasulullah bersabda kepada para sahabatnya untuk mempersilakan mereka berjalan lebih dulu. Kemudian Rasulullah berkata kepada Aisyah, “Ayo kemarilah. Kuajak engkau adu cepat lari.” Aisyah dengan gesit lari dan berhasil mengalahkan Nabi.

Waktu terus berlalu. Beberapa tahun kemudian Aisyah kembali menemani beliau dalam sebuah perjalanan. Beliau kembali mempersilakan para sahabatnya untuk berjalan lebih dulu. Lalu, beliau berkata kepada Aisyah, ” Ayo kemarilah! Kuajak engkau adu cepat lari.”

Aisyah tersenyum. Sebab saat itu tubuhnya sudah mulai gemuk. Aisyah bertanya, “Bagaimana aku bisa beradu cepat denganmu ya Rasulullah, sedangkan badanku begini?” Rasulullah bersabda, “Ayo lakukanlah!”

Lalu Aisyah berusaha lomba lari dengan Nabi saw.. Saat itu Nabi berhasil mendahului Aisyah. Beliau pun tertawa riang dan berkata, “Sekarang aku telah mampu mengalahkanmu.” Demikian romantisnya Rasulullah saw. kepada istri-istrinya.

Khatimah
Hanya suami yang memiliki sikap welas asih terhadap istrinya dan sebaliknya istrinya juga memiliki sikap rahmat dan hormat kepada suaminya, dengan bimbingan syariat Islam saja yang akan menghasilkan mu’asyarah bil ma’ruf, pergaulan yang patut dalam kehidupan rumah tangga.

Jika menjumpai permasalahan, keduanya saling memuliakan dan bijaksana dalam menyelesaikan masalah. Jika keadaan rumah tangga sudah demikian, Allah akan melimpahkan keberkahan dan kebahagiaan kepada keluarga ini.

Terlebih lagi, Rasulullah saw. telah memberikan teladan yang sangat indah kepada keluarga muslim tentang bergaul secara makruf dengan seluruh anggota keluarga sehingga akan terwujud keluarga yang harmonis, penuh dengan kebahagiaan dan keberkahan. Semoga kita semua senantiasa diberikan kemampuan untuk selalu berusaha mewujudkannya. Amin. Wallahu a’lam bishshawab.

Sumber: muslimahnews.net