Demokrasi Menggugat Syariat

  • Opini

Oleh: Rofah M.

Suaramubalighah.com, Opini — UU Perkawinan kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Ramos Petage, seorang warga Mapia Tengah, Dogiyai, Papua dengan alasan bahwa UU Perkawinan menyebabkan dirinya yang Katolik tidak bisa menikah dengan wanita muslim. Permohonan judicial review itu didaftarkan secara online dan kini diproses di kepaniteraan MK. (news.detik.com, 07/01/2022)

Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan mengatakan pernikahan beda agama bertentangan dengan konstitusi. Dalam keterangan tertulis yang diterima pada Kamis (10/02/2022), Amirsyah menghormati gugatan yang dilayangkan Ramos. Namun kata Amirsyah, pernikahan beda agama bertentangan dengan konstitusi karena adanya jaminan kemerdekaan dan kebebasan beragama sesuai dengan Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945. (news.detik.com, 07/01/2022)

Gugatan ini bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya sudah pernah dilakukan di tahun 2014, dan MK telah ketuk palu menolak permohonan pemohon pada tanggal 18 Juni 2015. MK menolak pernikahan beda agama dengan alasan perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia. Segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara termasuk dalam hal yang menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan.

Demokrasi Menjamin Kebebasan Berpendapat

Kebebasan berpendapat merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilindungi dalam sistem demokrasi. Berbagai pendapat bebas disampaikan oleh warga negara tanpa memandang apakah hal tersebut sejalan ataukah bertentangan dengan agama.

Demokrasi sebagai sistem yang lahir dari akidah sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) selalu memberikan ruang yang luas terhadap berkembangnya pendapat selama tidak berbau agama, terlebih agama Islam. Karena karakter dari akidah sekulernya yang menolak adanya hubungan antara agama dengan urusan kehidupan. Oleh karenanya, gugatan UU Perkawinan ke MK dianggap sebagai bentuk kebebasan berpendapat yang berhak mendapatkan perlindungan dalam sistem demokrasi.

Apa yang terjadi hari ini dengan adanya gugatan UU Perkawinan maupun UU yang lain, dapat disorot dari dua hal berikut:

  1. UU buatan manusia adalah UU yang lemah, tidak memiliki ruh, maupun kekuatan untuk dipertahankan. Terlebih dalam sistem demokrasi-sekuler yang lebih mengedepankan aspek pemisahan agama dari negara.
  2. Kebebasan berpendapat mendapatkan ruang yang luas dalam sistem demokrasi sekuler, yang menjadikan akidah pemisahan agama dari kehidupan sebagai asas dalam kebebasan berpendapat.

Kedua aspek di atas sejalan dengan proyek moderasi beragama. Menjadikan sekularisasi dan kontekstualisasi ajaran agama sebagai bagian dari proyek yang direkomendasikan oleh Rand Corporation AS.

Merujuk kembali kepada persoalan gugatan UU perkawinan yang dilayangkan kepada MK, maka ini dapat dipandang sebagai bentuk gugatan terhadap syariat Islam. Karena di dalam Islam, telah disyariatkan adanya larangan bagi kaum muslimah untuk menikah dengan orang nonmuslim sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 221,

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْاۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”

Dalam tafsirnya, Imam al-Thabari menjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah SWT telah mengharamkan wanita mukminah untuk menikah dengan lelaki musyrik dari jenis manapun, maka hendaklah laki-laki beriman (para wali wanita mukminah) tidak menikahkan seorang wanita mukminah dengan laki-laki kafir karena itu adalah hal yang haram dilakukan. Sungguh, menikahkan wanita mukminah dengan seorang budak yang beriman dan meyakini Allah SWT dan Rasul-Nya serta wahyu yang dibawanya, lebih baik daripada menikahkannya dengan seorang laki-laki merdeka tapi musyrik, meskipun terhormat keturunannya.

Demikianlah syariat Islam mengatur tentang pernikahan kaum mukmin dan mukminah. Oleh karena itu, jika MK memberikan putusan pengabulan permohonan gugatan UU Perkawinan tersebut, maka ini akan menjadi jalan penderasan arus moderasi beragama secara struktural. Karena pengabulan permohonan gugatan UU Perkawinan berimpllikasi terhadap regulasi yang akan ditetapkan oleh negara terkait perkawinan. Dengan demikian kaum kafir panjajah akan semakin mulus melancarkan rudal racun pemikiran liberal di tengah umat Islam.

Islam Melindungi Akidah Umat Islam

Sistem demokrasi jauh berbeda dengan sistem Islam. Demokrasi telah menjadikan kedaulatan ada di tangan rakyat, artinya hukum di dalam sistem demokrasi adalah produk akal manusia yang dibuat untuk kepentingan pihak tertentu dan mengabaikan pihak yang lain. Siapa yang kuat itulah yang akan menang dalam pembuatan UU ataupun aturan. Berbeda dengan sistem Islam yang disebut dengan Khilafah Islam. Sistem Islam meletakkan kedaulatan di tangan syara (assiyadah lissyari’). Artinya hanya Allah SWT saja yang berhak menetapkan hukum bagi manusia. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-An’am ayat 57,

قُلْ اِنِّيْ عَلٰى بَيِّنَةٍ مِّنْ رَّبِّيْ وَكَذَّبْتُمْ بِهٖۗ مَا عِنْدِيْ مَا تَسْتَعْجِلُوْنَ بِهٖۗ اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِۗ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِيْنَ

“Katakanlah (Muhammad), “Aku (berada) di atas keterangan yang nyata (Al-Qur’an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia Pemberi keputusan yang terbaik.”

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa otoritas pembuatan hukum dalam sistem Islam ada pada Sang Pencipta yakni Allah SWT. Oleh karena itu hukum dalam sistem Islam memiliki karakteristik dan keistemewaan, yakni adanya kekuatan ruh yang tidak bisa digugat oleh siapapun. Hukum Islam merupakan hukum yang berlaku tetap di sepanjang zaman, tidak terpengaruh oleh kepentingan manusia. Inilah cara Islam menjamin perlindungan terhadap akidah dan ketaatan umat Islam terhadap syariat Islam. Sehingga tidak akan dibiarkan munculnya pendapat-pendapat yang bertentangan dengan syariat Islam, terlebih yang bertujuan untuk menghancurkan Islam maupun umat Islam.
Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]