Oleh: Wardah Abeedah
Suaramubalighah.com, Opini — Statement menteri agama yang membandingkan suara azan dengan anjing menggonggong menuai kontra, hingga laporan pidana pasal penistaan agama. Kegaduhan pun terjadi, umat Islam berang. Tentu respon kemarahan umat Islam sangat bisa dimaklumi. Karena azan adalah bagian dari ibadah kaum muslimin. Azan adalah satu dari sekian banyak syariat yang telah ditetapkan Allah azza wa jalla sejak zaman diutusnya Rasulullah Muhammad ﷺ, sang pembawa risalah.
Sebagai bagian dari syariat, ulama membahas penjelasan azan dalam kitab-kitab fiqh mereka. Azan secara bahasa bermakna pemberitahuan atau seruan. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat At Taubah Ayat 3:
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ
“Dan ini adalah seruan dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia”
Secara istilah syara’, azan dimaknai seruan yang menandai masuknya waktu shalat lima waktu dan dilafazhkan dengan lafazh-lafazh tertentu (Taisirul ‘Alam Syarah ‘Umdatul Ahkam). Hukum azan adalah fardu kifayah bagi penduduk negeri yang berjenis kelamin laki-laki, menurut jumhur ulama. Jadi, Jika di sebuah kampung tidak ada seorang laki-lakipun yang mengumandangkan azan, hanya menggunakan kaset misalnya, maka seluruh penduduk kampung tersebut berdosa.
Disebutkan pula oleh para ulama, diutamakan agar suara muadzin itu bagus, merdu dan kuat. Sebagaimana hadits Abdullah bin Zaid yang bermimpi tentang azan. Rasulullah ﷺ memerintahkan nya agar menceritakan mimpi tersebut kepada Bilal, dan agar Bilal beradzan dengannya, karena ia lebih kuat dan merdu suaranya dari pada Abdullah bin Zaid.
Dalam hadits al-Barra bin Azib, nabi ﷺ juga mengabarkan bahwa, muadzin itu baginya diberikan ampunan sekeras suaranya, dan dibenarkan oleh orang yang mendengarnya yang berasal dari tanah kering dan basah, dan baginya semisal pahala orang yang shalat bersamanya” (HR. Ahmad dan Nasa’i)
Bilal bin Rabah muadzin Rasulullah ﷺ ketika mengumandangkan azan, ia menolehkan kepala, tengkuk, dan dada ke kanan ketika membaca “hayya alas shalah” dan ke kiri ketika membaca “hayya alal falah” agar suara azan lebih lantang terdengar di seluruh penjuru mata angin. Bilal juga akan naik ke atas rumah nabi yang menempel pada Masjid Nabawi agar suara azan terdengar lantang.
Hal ini menjadikan para khalifah sepeninggal Rasulullah juga sangat memperhatikan azan. Ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz memimpin kekhilafahan, beliau membangun empat menara di setiap sudut Masjid Nabawi. Pada masa khalifah berikutnya hingga runtuhnya kekhilafahan Utsmani pada tahun 1924, para amiirul mukminin senantiasa menaruh perhatian besar terhadap arsitektur masjid dengan menaranya yang menjulang tinggi. Ini bertujuan agar kumandang azan terdengan kuat dan lantang sehingga kaum muslimin bias melaksanakan kewajiban shalat berjamaah dengan baik.
Azan adalah bagian dari syariat Islam, bagian dari ibadah kaum muslimin, sekaligus simbol Islam.
Sejak disyariatkannya azan pertama kali di masa Rasulullah ﷺ, azan terus berkumandang di negeri-negeri muslim tanpa henti hingga saat ini. Di masa kekhilafahan Utsman bin Affan ra, beliau ra. menetapkan azan Jumat menjadi dua kali azan.
Kumandang azan juga dijadikan patokan apakah suatu negeri termasuk negeri Islam ataukah tidak pada masa Rasulullah ﷺ. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu jika akan menyerang satu kaum, beliau tidak memerintahkan kami menyerang pada malam hari hingga menunggu waktu subuh. Apabila azan Shubuh terdengar, maka tidak jadi menyerang. Namun bila tidak mendengarnya, maka ia menyerang mereka.” (HR. Bukhari no. 610 dan Muslim no. 382).
Ketika Rasulullah atau para khalifah melakukan futuhat (pembebasan) sebuah negeri, mereka akan memerintahkan muadzin untuk mengumandangkan azan. Sebagaimana Rasulullah memerintahkan Bilal untuk naik ke atas Ka’bah dan mengumandangkan azan. Hal ini juga dilakukan oleh Umar bin Khatab ketika berhasil menaklukkan Palestina. Selain itu, terdapat banyak hadits tetang keutamaan muazin yang semakin mengokohkan pentingnya posisi azan di dalam syariat Islam. Sehingga di masa khilafah dahulu, para khalifah juga sangat memperhatikan kebutuhan hidup muazin.
Jika saat ini ada pejabat publik yang membandingkan azan dengan gonggongan anjing, menyebutnya sebagai potensi gangguan yang akan membuat masyarakat tidak harmonis, maka ini bentuk kejahilan nyata. Apalagi dengan alasan tersebut akan membuat aturan yang meminimimkan volume speaker azan. Tentu ini harus ditolak keras, dan pejabat yang bersangkutan butuh dimuhasabahi karena berpotensi melemahkan syiar Islam.
Seharusnya negara membuat aturan yang semakin membesarkan syiar Islam, mengokohkan penerapan setiap syariat dan ajaran Islam. Sebab fungsi penguasa dalam Islam adalah sebagai ra’in (pemelihara urusan rakyat dengan hukum Allah) dan sebagai junnah (perisai atau penjaga). Penguasa wajib memberikan perhatian besar terhadap setiap syariat yang ditetapkan Allah, termasuk syariat azan. Ia juga wajib memastikan setiap rakyatnya yang beragama Islam melaksanakan kewajiban mereka dengan sempurna. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]