Pengaturan Islam tentang Pernikahan Beda Agama (Tafsir QS. Al-Maidah Ayat 5)

Oleh: Kartinah Taheer

Suaramubalighah.com, Al-Qur’an – Pernikahan beda agama kembali dipersoalkan. Seorang warga Mapia Tengah, Dogiyai, Papua, yaitu Ramos Petage yang mengajukan gugatan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ramos menyatakan alasan ajuan gugatan tersebut, karena dirinya merasa dirugikan dengan undang-undang yang berimbas terhadap dirinya. Dia gagal menikah akibat perbedaan agama dengan pasangannya yang muslim, sementara dirinya menganut Katolik.

Tuntutan yang semisal, sebelumnya juga pernah terjadi pada tahun 2015. Ini adalah perkara yang senantiasa ada dalam kehidupan masyarakat yang sekuler-liberal. Mereka berpandangan semua agama sama, sehingga tidak layak perbedaan agama menghalangi seseorang untuk menikah. Terkait dengan pernikahan beda agama, sejatinya Islam telah memberikan pengaturan yang jelas. Dalam QS. Al-Maidah ayat 5 Allah SWT berfirman,

..وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ …

“dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu…”

Berdasarkan ayat ini seorang laki-laki boleh menikahi wanita ahli kitab yaitu Yahudi dan Nasrani. Dalam Tafsir Ibnu Katsir,

{وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ}

“Dan (dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara wanita-wanita yang beriman” (Al-Maidah: 5)

Yakni dihalalkan untuk kalian menikahi wanita-wanita merdeka yang memelihara kehormatannya dari kalangan wanita-wanita yang beriman. Ayat ini merupakan pendahuluan bagi selanjutnya yaitu firman-Nya,

{وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُم}

“dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian” (Al-Maidah: 5)

Al-muhshanat ialah wanita-wanita merdeka, bukan budak belian. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Mujahid, bahwa sesungguhnya yang dimaksud Mujahid dengan istilah muhshanat adalah wanita-wanita merdeka.

Menurut makna lahiriah ayat, makna yang dimaksud dengan muhshanat ialah wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari perbuatan zina. Sama halnya dengan makna yang terdapat pada ayat lain yaitu firman-Nya,

{مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ}

“Sedangkan mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki sebagai piaraannya” (An-Nisa: 25)

Kebolehan laki-laki muslim menikahi ahli kitab tidak berlaku pada wanita musyrik. Ahli kitab bukan termasuk orang musyrik, karena orang-orang ahli kitab disebutkan secara terpisah dari orang-orang musyrik dalam Al-Qur’an. Di antaranya Allah SWT berfirman,

{لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ}

“Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS. Al-Bayyinah: 1)

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 105,

مَا يَوَدُّ الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡا مِنۡ اَهۡلِ الۡكِتٰبِ وَلَا الۡمُشۡرِكِيۡنَ

“Orang-orang yang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik”

Dalam ayat-ayat itu, al-musyrikîn di- athaf -kan kepada ahli kitab. Adanya athaf itu menunjukkan adanya perbedaan di antara keduanya. Oleh karena itu, kata al-musyrikât dalam ayat ini tidak mencakup wanita kitabiyah.

Jadi, pandangan kaum feminis yang menyatakan bahwa wanita ahli kitab termasuk orang musyrik adalah keliru. Mereka membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita yang berkeyakinan Hindu, Budha, padahal telah jelas keharaman laki-laki muslim menikahi wanita musyrik secara mutlak. Selain bahwa orang musyrik bukan termasuk ahli kitab, Allah SWT menyatakan dalam firman-Nya,


وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ

“Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Jangan pula kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.” (QS al-Baqarah [2]: 221)

Ketentuan ini tidak berbeda antara laki-laki dan wanita. Lelaki muslim haram menikahi wanita musyrik. Muslimah haram dinikahi oleh laki-laki musyrik. Hanya saja, jika lelaki muslim dibolehkan menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) berdasarkan Al-Maidah ayat 5, sementara wanita muslimah diharamkan menikah dengan laki-laki ahli kitab, baik Yahudi ataupun Nasrani. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah SWT,

فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

“Jika kalian mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kalian mengembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 10)

Asy Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan,

وفيه دليل على أن المؤمنة لا تحلّ لكافر ، وأن إسلام المرأة يوجب فرقتها من زوجها لا مجرّد هجرتها

“Ayat ini (surat Al Mumtahanah ayat 10) merupakan dalil bahwa wanita muslimah tidaklah halal bagi orang kafir (nonmuslim). Keislaman wanita tersebut mengharuskan ia untuk berpisah dari suaminya dan tidak hanya berpindah tempat (hijrah).”

Ayat di atas secara tegas menyatakan bahwa orang-orang kafir tidak halal bagi perempuan mukmin. Kata al-kuffâr adalah kata umum yang mencakup seluruh orang-orang kafir, baik ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) maupun orang musyrik.

Demikianlah pengaturan Islam tentang pernikahan beda agama. Wanita haram secara mutlak menikah dengan orang kafir (ahli kitab dan orang musyrik). Sedangkan lelaki boleh menikahi wanita ahli kitab saja (Yahudi dan Nasrani). Hanya saja statusnya tetap dengan kemubahannya. Karena lebih diutamakan menikahi wanita muslim. Rasulullah saw. bersabda,

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا. فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Perempuan dinikahi karena empat hal: hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Pilihlah yang beragama niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Al-Bukhari)
Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]