Dakwah dan Jihad: Metode Menyebarkan Rahmat ke Seluruh Alam

Oleh: Sri Rahayu

Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Saat ini berkembang berbagai narasi untuk memandulkan bahkan menyerang Islam. Di antaranya narasi “Islam adalah agama yang mengharamkan segala bentuk tindakan menyakiti, mencederai, melukai diri sendiri maupun orang lain; baik secara verbal maupun tindakan nyata terhadap salah satu anggota tubuh. Secara konseptual, misi utama kenabian Muhammad saw. adalah untuk kerahmatan bagi seluruh alam.”

Narasi ini sepintas benar dan menyejukkan. Namun sejatinya bertentangan dengan beberapa syariat Islam, di antaranya syariat tentang jihad yang meniscayakan adanya tindakan fisik yang menyakitkan. Bahkan sampai pada tindakan membunuh musuh yang memang itu dihalalkan dalam jihad.

Islam damai dan menyejukkan, sering kali menjadi narasi untuk menyerang syariat Islam berupa jihad. JIhad dikonotasikan sebagai tindakan kekerasan yang sangat merugikan kelompok minoritas, sehingga harus dijauhkan dan ditafsirkan dengan makna lain yang lebih produktif yaitu bersungguh-sungguh untuk meraih kebaikan. Padahal jihad adalah bagian dari syariat Islam yang memiliki makna dan bentuk yang khas, sebagaimana disebutkan dalam banyak nas baik dalam Al-Qur’an maupun hadits. Dalam Islam, jihad sering kali dikaitkan dengan dakwah. Keduanya dikategorikan sebagai syariat Islam yang agung yang memiliki banyak keistimewaan.

Apa Itu Dakwah dan Jihad?

Dakwah dan jihad adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan, keduanya termasuk metode (thariqah) untuk menyebarkan Islam oleh negara. Dalam Islam, negara memiliki kewajiban untuk menyebarkan risalah ke seluruh penjuru dunia agar rahmat Islam bisa dirasakan oleh seluruh umat manusia, bahkan oleh alam semesta. Islam menempatkan penyebaran risalah Islam sebagai aktivitas pokok negara setelah penerapan hukum-hukum Islam di dalam negeri.

Dalam menyebarkan risalah Islam, negara Khilafah wajib mengikuti metode (thariqah) yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya yaitu dengan melakukan dakwah. Dakwah ini bukan sekadar untuk menyeru kepada personal orang kafir untuk masuk Islam, namun ditujukan kepada negara kafir untuk tunduk kepada kekuasaan Islam dan menjadi bagian darinya.

Khilafah akan mengirimkan surat atau delegasi untuk menyampaikan Islam kepada petinggi negara kafir tersebut. Jika mereka menerima untuk tunduk dan menjadi bagian dari kekuasaan Khilafah, maka mereka tidak akan diperangi. Mereka bisa menjadi dzimmah (warga negara nonmuslim) yang akan mendapatkan hak dan perlindungan yang sama dengan warga negara muslim, atau mereka memilih masuk Islam tanpa paksaan dan menjadi warga negara sebagai kaum muslimin lainnya. Namun apabila mereka menolak dengan melakukan penghinaan, ancaman, atau perlawanan berupa penyerangan maka Khilafah akan mengirimkan pasukan untuk menyerang balik dan mengalahkan negara kafir tersebut dengan mengobarkan jihad atas mereka.

Metode ini telah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad saw.. Di antaranya Beliau mengirimkan Harits bin Umair Al-Azdi kepada penguasa Bashrah yang dikuasai Romawi, Syarh bin Amru a-Ghasani, untuk menyampaikan risalah Islam dan menyerunya untuk memeluk Islam. Namun Syarh bin Amru menahan utusan tersebut, mengikatnya, dan kemudian membunuhnya. Apa yang dilakukan Syarh bin Amru merupakan pelecehan yang besar terhadap negara Islam yang tidak boleh didiamkan. Untuk itu Rasulullah saw. menyiapkan tentara sebanyak 3000 mujahid untuk memberi pelajaran kepada pemimpin Arab tersebut yang telah menjual dirinya kepada bangsa Romawi. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan perang Mu’tah yang sangat dahsyat yang telah menggugurkan dua panglima perang terbaik kaum muslimin yaitu Zaid bin Haritsah dan Ja’far bin Abi Thalib. Perang ini akhirnya dimenangkan oleh kaum muslimin di bawah komando Abdullah bin Rawahah sesuai pesan Nabi saw. sebelum pasukan berangkat ke medan perang. Ini salah satu jihad yang dicontohkan Nabi Muhammad saw. sebagai metode untuk menyebarkan Islam, setelah sebelumnya dilakukan dakwah dengan mengirimkan surat dan utusan untuk mengajak kepada Islam secara damai.

Islam menempatkan jihad sebagai puncak keagungan Islam. Sebab dengan jihad, kemuliaan Islam dan kaum muslimin terjaga karena tidak ada lagi kekuatan kafir yang menghalangi. Jihad diperintahkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. yang berarti juga perintah kepada umatnya, karena tidak ada takhsis dalam perintah tersebut. Allah SWT telah berfirman,

يٰۤاَ يُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْـكُفَّا رَ وَا لْمُنٰفِقِيْنَ وَا غْلُظْ عَلَيْهِمْ ۗ وَ مَأْوٰٮهُمْ جَهَـنَّمُ ۗ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ
“Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. At-Taubah: 73)

Rasulullah saw. juga telah mewajibkan jihad,
“Wajib atas kalian berjihad di jalan Allah Tabaaraka wa Ta’ala, karena sesungguhnya jihad di jalan Allah itu merupakan salah satu pintu dari pintu-pintu surga, Allah akan menghilangkan dengannya dari kesedihan dan kesusahan.” (HR. Ahmad, Al-Hakim)

Begitu pentingnya jihad di dalam Islam, hingga negara Khilafah memberi perhatian penuh dalam pelaksanaannya. Khilafah akan menyiapkan segala hal terkait jihad dengan sebaik-baiknya. Mulai dari pasukan tempur yang memiliki keberanian dan kemampuan tempur terbaik, persenjataan tempur yang tercanggih, hingga tidak ada satu negarapun yang mampu menandinginya. Bahkan negara akan mengambil kebijakan industri berbasis perang atau militer dan segala keperluan lain yang dibutuhkan dalam pelaksanaan jihad. Hal ini sebagaimana diperintahkan Allah SWT dalam ayat berikut,

َاَعِدُّوۡا لَهُمۡ مَّا اسۡتَطَعۡتُمۡ مِّنۡ قُوَّةٍ وَّمِنۡ رِّبَاطِ الۡخَـيۡلِ تُرۡهِبُوۡنَ بِهٖ عَدُوَّ اللّٰهِ وَعَدُوَّكُمۡ وَاٰخَرِيۡنَ مِنۡ دُوۡنِهِم
“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Anfal: 60)

Negara akan men- support dana yang sangat besar untuk keperluan Jihad ini dari berbagai hasil pengelolaan SDA, kharaj, jizyah, dan dari zakat. Tentunya karena jihad merupakan salah satu dari delapan golongan yang berhak atas harta zakat. Kaum muslimin pun didorong untuk menginfakkan hartanya di jalan jihad ini. Firman Allah SWT,

تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ
“(Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu…” (QS. Ash-Shaff: 11)

Islam memerintahkan pasukan kaum muslimin di medan perang untuk tidak bersikap lemah lembut terhadap musuh, bahkan memerintahkan untuk memperlakukan musuh sebagaimana mereka memperlakukan kaum muslimin di medan perang. Allah SWT memerintahkan bersikap seperti itu di dalam Al-Qur’an surat An-Nahl: 126,

وَاِنۡ عَاقَبۡتُمۡ فَعَاقِبُوۡا بِمِثۡلِ مَا عُوۡقِبۡتُمۡ بِهٖ‌ۚ وَلَٮِٕنۡ صَبَرۡتُمۡ لَهُوَ خَيۡرٌ لِّلصّٰبِرِيۡنَ‏
“Dan jika kamu memberikan balasan maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (QS. An-Nahl: 126)

Disebutkan sebab turunnya ayat tersebut adalah ketika orang-orang musyrik berbuat semena-mena (mutilasi) terhadap kaum muslim. Mereka dengan sangat keji membelah perut, memotong alat kelamin, dan mengoyak hidung. Sehingga tak satupun yang lepas dari kekejian mereka kecuali Hanzhalah bin Ar Rohim. Melihat pemandangan yang mengerikan ketika di depannya berbaring jenazah Hamzah yang mengalami hal yang serupa yaitu mutilasi, perut terbelah dan hidung rata. Kemudian Nabi saw bersabda,

“Ketahuilah aku bersumpah jika Allah memberikan kemenangan kepadaku, maka aku akan melakukan hal serupa pada 70 orang sebagai ganti atas perlakuan mereka kepadamu” (HR. At-Thabrani)

Demikianlah ayat tersebut turun dalam kondisi perang. Ayat tersebut meskipun melarang melakukan pembalasan atau penyiksaan yang lebih dari perlakuan musuh, tetapi secara tegas membolehkan melakukan pembalasan atau penyiksaan yang serupa dengan perbuatan mereka. Termasuk bolehnya melakukan mutilasi terhadap orang-orang kafir yang terbunuh, yang sebelumnya mereka telah melakukan mutilasi jenazah kaum muslimin. Meskipun tindakan mutilasi itu diharamkan, namun beberapa hadits menyebutkan keharaman mutilasi jika pihak musuh tidak melakukan hal itu terhadap jenazah kaum muslimin. Tetapi jika musuh melakukan mutilasi terhadap jenazah umat Islam, maka bagi umat Islam boleh melakukan hal yang serupa.

Benar bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kelembutan dan kasih sayang, namun kelembutan dan kasih sayang itu hanya diberlakukan kepada sesama muslim. Sebagaimana Allah SWT perintahkan dalam Al-Qur’an,

مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ مَعَهٗٓ اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…” (QS. Fath : 29)

Adapun terhadap orang-orang kafir yang memerangi (kafir harbi) maka tidak ada kelembutan, kasih sayang, atau perdamaian. Justru sebaliknya harus bersikap keras dan tegas. Bahkan siap memerangi mereka dengan jihad fi sabilillah apabila nyata-nyata mereka menghalangi dakwah Islam, apalagi jika sampai mereka memerangi kaum muslimin.

Jadi jelas bahwa narasi “Islam adalah agama yang mengharamkan segala bentuk tindakan menyakiti, mencederai, melukai diri sendiri maupun orang lain; baik secara verbal maupun tindakan nyata terhadap salah satu anggota tubuh” adalah tidak tepat. Karena di dalam Islam ada syariat jihad yang meniscayakan adanya tindakan menyakiti dan mencederai orang lain, bahkan tindakan menyakiti musuh secara verbal dengan menyebutkan kekafiran dan kesesatan agama mereka serta menunjukkan kejahatan mereka. Allahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]