Oleh: Marni Rosmiati
Suaramubalighah.com, Opini — Belum lama ini terjadi polemik tentang haji metaverse. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri telah menegaskan bahwa pelaksanaan ibadah haji di metaverse tidak sah. Karena Haji adalah ibadah mahdhah dengan beberapa tata pelaksanaan yang membutuhkan kehadiran fisik.
Selanjutnya Kepresidenan Urusan Agama Turki mengatakan, umat Islam dapat mengunjungi Ka’bah di metaverse tetapi kegiatan itu tidak terhitung sebagai ibadah. “Ibadah haji harus dilakukan dengan pergi ke kota suci dalam kehidupan nyata. Adapun versi metaverse Ka’bah menjadi kontroversial di kalangan muslim di seluruh dunia setelah acara Virtual Black Stone Initiative Arab Saudi pada Desember,” kata Direktur Departemen Layanan Haji dan Umroh, Diyanet Remzi Bircan.
Dilansir Pikiranrakyat.com (10/02/2022) dari The New Arab, proyek haji metaverse ini diluncurkan pada Desember 2021 lalu oleh Imam Besar Masjidil Haram, Syekh Abdurrahman Sudais. Penggarapannya melibatkan kerja sama antara Badan Urusan Pameran dan Museum dengan Universitas Umm Al-Qura.
Pemerintah Arab Saudi meluncurkan Ka’bah Masjidil Haram versi virtual di metaverse dengan tujuan agar umat Islam di seluruh dunia dapat mengunjungi tempat suci itu dengan lebih mudah. The Virtual Black Stone Initiative memungkinkan umat Islam untuk merasakan pengalaman mengunjungi Hajr Aswad secara virtual sebelum berziarah ke Makkah,” tulis akun Facebook Haramain.
Secara sederhana, metaverse berarti memindahkan dunia nyata ke dunia virtual. Dengan metaverse, itu memungkinkan umat Islam untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Makkah, tanpa berkunjung ke tempat tersebut. Mereka dapat berziarah ke tempat suci di metaverse, seperti mengunjungi Hajar Aswad di Ka’bah. Hal itu berkat proyek teknologi yang disebut Virtual Hacerülesved,” seperti dilansir dari laman Tech Briefly (09/02/2022).
Haji metaverse adalah pelaksanaan ibadah haji tanpa harus datang berkunjung ke Baitullah, tapi cukup diam di rumah atau di manapun menyaksikan Ka’bah secara virtual. Haji metaverse dalam konteks edukasi bagi umat Islam untuk melihat tata cara ibadah haji secara detil dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi, maka hukumnya boleh (mubah). Namun, hal yang perlu diwaspadai adalah adanya upaya liberalisasi Islam di balik proyek haji metaverse ini. Mengingat pemerintahan Saudi yang semakin moderat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Duta Besar Kerajaan Arab Saudi untuk Indonesia, Syekh Essam bin Abed Al-Taqafi, secara blak-blakan membahas perubahan di negara Saudi yang kini kian terbuka untuk budaya luar. Syekh Essam menegaskan posisi Saudi sebagai negara sama dengan negara-negara lain di dunia. (CNN Indonesia, 22/02/2022)
Dengan adanya moderasi yang makin kuat di Saudi dan asas manfaat yang kapitalistik, meniscayakan ke Baitullah yang kemudian dibuat alternatif ibadah haji maupun umroh secara virtual. Dengan alasan adanya wabah Covid-19 yang membatasi orang untuk bepergian ibadah haji ke tanah suci secara langsung.
Lepas dari persoalan ini, harus digarisbawahi bahwa ibadah haji bersifat tauqifi, yakni ibadah yang bersifat fisik (ke tanah suci secara langsung) yang tidak bisa digantikan dengan cara virtual. Ibadah adalah bukti ketaatan seorang muslim kepada Allah SWT. Allah mensyariatkan ibadah untuk mengatur hubungan manusia dengan Rabb-nya. Dia yang menetapkan tata caranya (tauqifiyah). Hanya Dialah yang mengetahui maksud dari ibadah tersebut, dan Dia pula yang berhak memberi pahala jika ibadah itu ditunaikan. Jangan melampaui batas! Sehebat apapun teknologi ciptaan manusia, tetap harus tunduk kepada batas-batas syariat.
Ibadah bersifat tauqifiyah, yaitu tidak boleh beribadah kepada Allah dengan satu ibadah kecuali apabila ibadah tersebut telah benar-benar terdapat ketetapannya dalam nash-nash syara (Al-Qur’an dan sunnah) bahwa itu ibadah yang telah Allah SWT syariatkan berikut tata caranya. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal ini, semua ulama sepakat bahwa ibadah adalah perkara yang bersifat tauqifiyah, termasuk ibadah haji.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Berdasarkan pengkajian terhadap ushul syariah, kita mengetahui bahwa ibadah-ibadah yang telah Allah wajibkan atau yang Dia cintai tidak ditetapkan perintahnya kecuali dengan syariat. Maka yang tidak ada ketetapan bahwa itu diperintahkan bagaimana bisa disebut ibadah?
Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibadah adalah tauqifiyah, tidak boleh mengamalkan suatu ibadah di satu tempat, waktu, corak ibadah tertentu kecuali dengan tauqif dan perintah dari Syaari’ (pembuat syariat/ Allah Ta’ala). Adapun orang yang membuat-buat hal yang baru yang tidak pernah diperintahkan oleh Syaari’ dari urusan ibadah, tempatnya, waktunya, atau bentuknya, maka ia adalah bid’ah.” (Al-Muntaqa’ min Fatawa Al-Fauzan: 13/16)
Maka dari keterangan-keterangan para ulama di atas, bisa disimpulkan bahwa ibadah haji tanpa menginjakkan kaki berangkat ke Baitullah (secara virtual) tidak sesuai dengan makna ibadah haji menurut Syaari’. Pengertian haji secara bahasa adalah menyengaja atau menuju. Sedangkan pengertian haji menurut istilah adalah menyengaja berkunjung ke Baitullah, di Makkah untuk melakukan ibadah, menjalankan thawaf, sa’i, serta wukuf di Arafah, maupun menjalankan seluruh ketentuan-ketentuan ibadah haji pada waktu dan cara tertentu yang telah ditentukan oleh Allah serta dilakukan dengan tertib.
Dalil-dalil kewajiban melaksanakan ibadah haji antara lain:
Pertama, Qur’an surat Al-Baqarah ayat 196
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah….”
Kedua, Qur’an surat Ali Imran ayat 97
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ ﴿ ٩٧﴾
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
Ketiga, bersumber dari hadits riwayat Ibnu Umar berikut, Nabi saw. bersabda, “Islam itu didirikan atas lima. Yaitu, bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa pada bulan Ramadhan, menunaiakn ibadah haji ke Baitullah bagi yang mampu melakukannya.”-(Mutafaqun ‘alaih)
Oleh karena berhaji ialah ibadah yang tauqifi, maka negara yang diberi kuasa mengelola ibadah haji harus berpegang pada prinsip syariat Islam dan memudahkan agar ibadah tersebut berjalan sesuai syariat tersebut. Sehingga melahirkan ketenangan (tuma’ninah). Negara tidak dibenarkan mengelola ibadah menggunakan asas manfaat. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]