Oleh: Siti Murlina S.Ag.
Suaramubalighah.com, Opini — Menag Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan surat edaran yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama No. SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. (kemenag.go.id, 25/02/2022)
Surat edaran tersebut dikeluarkan sebagai upaya untuk meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antar warga masyarakat. Namun saat menjelaskan terkait keluarnya surat edaran mengenai pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid dan musala tersebut, Menag menganalogikan speaker azan dengan gonggongan anjing, yakni berisik dan mengganggu. Maka dari itu, menurutnya bunyi toa tersebut perlu diatur melalui surat edaran.
Terang saja pernyataan tersebut menuai polemik. Bahkan ada sejumlah pihak yang melaporkan Menag Yaqut ke aparat kepolisian terkait pernyataannya tersebut. Salah satunya Mantan Menteri Olahraga, Roy Suryo yang mendatangi Mapolda Metro Jaya, meskipun tidak ditanggapi. Tak hanya itu, warga Riau di Pekanbaru juga turut melaporkan. Laporan ini dibuat oleh tokoh masyarakat Riau, Azlaini Agus. Demikian juga Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dan Badan Pengembangan Usaha Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau. (liputan6.com, 26/02/2022)
Dari hal di atas, jelas saja pernyataan Menag tersebut melukai perasaan umat Islam. Bagaimana mungkin suara panggilan untuk menunaikan salat dianalogikan dengan gonggongan anjing? Sungguh sangat tidak pantas pernyataan tersebut dilontarkan, sebuah penghinaan dan penistaan terhadap ajaran Islam. Sudah dipahami dengan baik, bahwa dikumandangkan suara azan dengan volume tinggi untuk mengingatkan umat Islam yang sedang melakukan berbagai aktivitas atau dalam kondisi rehat agar segera melaksanakan salat.
Sebaliknya, dalam menanggapi surat edaran dari Menag tersebut yang dikutip dari tulisan Yulinar Aini Rahmah, para penggiat gender mengatakan bahwa solusinya adalah menahan dan merelakan. Setidaknya dua kata kunci bagi dua yang berbeda, maka jalan terbaik adalah merelakan hak tersebut. Kesalingan inilah yang selanjutnya akan menumbuhkan harmonisasi antar dua yang berbeda. Menurutnya, saatnya umat muslim bertoleransi dengan menahan diri dan berusaha merubah kebiasaan yang dianggap lumrah di kalangan internal umat Islam sendiri. Serta berpendapat bahwa surat edaran Menag itu ingin mengajak umat Islam untuk menyudahi toleransi sepihak yang selama ini terjadi.
Pernyataan tersebut perlu diwaspadai. Pertama, toleransi yang diusung oleh mereka adalah toleransi kebablasan ala moderasi beragama yang berasaskan liberal dan sekuler. Kedua, solusi yang mereka ambil hanya bersifat parsial, tidak mendasar, dan menyeluruh. Jadi tidak bisa digunakan sebagai sebuah asas menuju perubahan. Visinya dangkal dan misinya sementara. Memandang peristiwa ini tidak bisa sesederhana itu dan sesaat.
Sebagai muslim seharusnya kita menyikapi dengan membongkar tendensi atau tujuan sebenarnya surat edaran dan pernyataan Menag tersebut. Ada beberapa hal sebenarnya yang perlu diungkap dalam kasus ini. Yakni semakin masifnya upaya penggiringan umat menuju sekuler radikal yang akut. Dengan bukti diterbitkan surat edaran mengenai penggunaan toa dan pernyataan Menag yang tidak pantas tersebut yang mengibaratkan suara azan dengan gonggongan anjing.
Dengan adanya kejadian ini makin menegaskan posisi negeri ini sebagai negara sekuler radikal. Terjadi pemisahan agama dari kehidupan, memisahkan agama dari negara. Salah satu bentuknya adalah pluralitas, yaitu wajib menyamakan kedudukan semua agama secara merata, tidak boleh ada yang menonjol. Ketika seluruh peraturan perundangan yang berlaku tidak berdasarkan syariat Islam sudah barang tentu dalam perkara ibadah pun ikut diatur dan ditekan tidak boleh menonjol sekalipun pemeluknya mayoritas. Pemisahan dan pengaturan agama di ranah umum oleh negara makin dinampakkan, atas nama toleransi dan keharmonisan di tengah masyarakat yang plural.
Wajar saja jika dikatakan bahwa pemerintah lewat kebijakan pejabat publiknya, sudah bersikap memusuhi agama. Padahal pejabat itu sendiri beragama Islam.
Selanjutnya semakin menanamkan islamofobia. Ketika menyamakan suara azan dengan gonggongan anjing, itu menunjukkan sikap kriminalisasi terhadap ajaran Islam. Azan itu hukumnya fardhu kifayah dan merupakan panggilan suci. Mengajak manusia untuk melaksanakan kewajiban salat. Mengeraskan suara azan itu disunahkan.
Sungguh heran dan miris di tengah negeri muslim yang mayoritas, ajaran Islam dikriminalisasi. Azan dianggap mengganggu dan buat gaduh. Serta membuat disharmoni di tengah masyarakat yang plural. Jika menoleh ke belakang, pemerintah telah membangun narasi teroris pada sosok yang berkerudung lebar dan cadar, pada lelaki yang berjenggot dan celana cingkrang, maupun penghapal Qur’an. Pun menghilangkan materi jihad dan Khilafah dalam kurikulum sekolah atau madrasah.
Sudah menjadi rahasia umum, oligarki kapitalis tengah mencengkeram negeri ini. Sejarah membuktikan bahwa para kapitalis menguasai negeri-negeri muslim yang ada di seluruh dunia dengan cara meruntuhkan kekuatan yang menaungi umat Islam yakni Khilafah Islamiyah sejak Maret 1924 lalu. Maka mereka paham betul, bahwa kekuasaan mereka akan berakhir bila umat Islam bangkit dan menerapkan syariat secara total. Jadi untuk menghadang kebangkitan umat, para kapitalis tersebut terus menerus membuat framing negatif terhadap ajaran Islam dan terus menerus meniupkan Islamofobia di seluruh dunia.
Seharusnya pejabat publik di negeri ini juga belajar pada kasus hilangnya jejak azan di Singapura. Jangan sampai terjadi di negeri mayoritas muslim ini. Singapura sebagai negara sekuler yang menjadi sekutu Amerika-Israel pada 14 Juli 2010. Menteri Kanan Goh Chok Tong menjelaskan masjid dan surau di Singapura tidak lagi menggunakan pembesar suara untuk azan dan ceramah sebagai tanda menghormati kenyamanan penduduk yang mayoritasnya terdiri nonmuslim. Penduduk muslim yang minoritas (15 persen) tidak berdaya. (eramuslim.com, 26/02/2022)
Belajar pada kasus tersebut, seharusnya membuat kita tidak boleh mengambil solusi secara parsial. Dan yang sangat penting juga, kita mesti paham siapa yang di balik kasus tersebut. Dengan demikian umat tidak tersulut dalam perangkap perpecahan, melainkan mengambil solusi yang mendasar dan menyeluruh. Yakni tidak hanya mengoreksi personal pejabat, tapi juga pada sistem yang diterapkan saat ini. Maka untuk bangkit kembali, mau tak mau umat berupaya dan memperjuangkan syariat Islam secara total dan mencampakkan sistem kapitalis-sekuler saat ini. Sebagaimana firman Allah SWT,
وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ ۚوَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهٖ ۗذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS.Al An’am(6): 153)
Dan sabda Rasulullah saw. mengingatkan kita,
«اسْمَعُوا، هَلْ سَمِعْتُمْ أَنَّهُ سَيَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ؟ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الحَوْضَ،َ»
“Dengarkanlah, apakah kalian telah mendengar bahwa sepeninggalku akan ada para pemimpin? Siapa yang masuk kepada mereka, lalu membenarkan kedustaan mereka dan menyokong kezaliman mereka, maka dia bukan golonganku, aku juga bukan golongannya. Dia juga tak akan menemuiku di telaga.” (HR. Tirmidzi, Nasai dan Al-Hakim). Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]