Oleh: Ust. Yuana Ryan Tresna
Definisi dan Cakupan Tsaqafah Islam
Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Tsaqafah Islam adalah berbagai pengetahuan (ma’arif) dimana keberadaan akidah Islam adalah sebab (asas) dalam pembahasannya. Pengetahuan tersebut bisa mengandung topik akidah Islam, seperti ilmu tauhid; bisa juga berupa pengetahuan yang berpijak pada akidah Islam, seperti fikih, tafsir dan hadits; dan bisa juga berupa pengetahuan yang terkait dengan pemahaman yang terpancar dari akidah Islam, yakni berbagai pengetahuan yang menjadi syarat ijtihad dalam Islam, seperti ilmu bahasa Arab, musthalah hadits dan ushul fikih. Semuanya termasuk tsaqafah Islam, karena akidah Islam menjadi asas dalam pembahasannya.[1]
Sumber rujukan tsaqafah Islam adalah al-Quran dan al-Hadits. Akidah Islam mengharuskan merujuk kepadanya dan terikat dengan keduanya. Al-Quran memerintahkan kaum muslim agar mengambil apa yang telah dibawa oleh Rasulullah. Allah Swt berfirman:
وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. al-Hasyr: 7)
Mengambil apa yang dibawa oleh Rasul tidak mungkin kecuali setelah memahami dan mempelajarinya. Keberadaan pengetahuan-pengetahuan tersebut mengharuskan untuk memahami al-Quran dan al-Sunnah. Darinya akan muncul berbagai macam pengetahuan Islam, yang pada akhirnya tsaqafah Islam memiliki disiplin ilmu tertentu, yaitu al-Quran, al-Sunnah, bahasa, sharf, nahwu, balaghah, tafsir, hadits, mushthalah hadits, ushul fikih, tauhid dan lain-lain yang termasuk dalam pengetahuan-pengetahuan Islam.[2]
Kewajiban Mempelajari Tsaqafah Islam
Mempelajari tsaqafah Islam atau mempelajari ilmu-ilmu Islam adalah kewajiban. Dasar kewajiban tersebut adalah ayat al-Quran dan al-Hadits yang jumlahnya sangat banyak. Diantaranya firman Allah Swt:
قُلۡ هَلۡ یَسۡتَوِی ٱلَّذِینَ یَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِینَ لَا یَعۡلَمُونَۗ إِنَّمَا یَتَذَكَّرُ أُو۟لُوا۟ ٱلۡأَلۡبَـٰبِ
“Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui (tidak berilmu)?’ Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.” (QS. al-Zumar: 9)
Berkaitan dengan ayat di atas, Ibnu Allan al-Makki mengatakan:
أي: لا استواء بينهم، فهو استفهام إنكاري في معنى النفي
“Maksudnya adalah tidak sama antara kedua golongan tersebut. Pertanyaan ini disebut pertanyaan pengingkaran, artinya adalah mengingkari.”[3]
Ayat di atas berbentuk pertanyaan tapi maksudnya adalah pernyataan bahwa kedua golongan tersebut tidak sama. Ini sama dengan mengingkari kesamaan. Ayat ini menunjukkan keutamaan ahli ilmu dan mempelajari ilmu.
Dalam ayat yang lain, Allah Swt berfirman:
یَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمۡ وَٱلَّذِینَ أُوتُوا۟ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَـٰتࣲۚ
“Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Ibnu Allan menjelaskan ayat di atas:
(يرفع الله الذين آمنوا منكم) بطاعتهم للرسول (والذين أوتوا العلم درجات) أي: ويرفع الله العلماء منهم خاصة درجات، بما جمعوا من العلم والعمل
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dengan ketaatan mereka kepada Rasul, dan juga mengangkat derajat orang-orang yang berilmu beberapa derajat, yaitu Allah meninggikan derajat para ulama secara khusus karena mereka menggabungkan ilmu dan amal.”[4]
Adapun dalil al-Sunnah, diantaranya sabda Rasulullah Saw:
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقاً يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْماً، سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيقاً إِلَى الجَنَّةِ
“Barangsiapa meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah pasti memudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim)
Maksud ilmu dalam hadits di atas adalah ilmu yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah Swt. Ibnu Allan berkata:
أي: مقرباً إلى الله تعالى
“Yaitu ilmu yang mendekatkan kepada Allah.”[5]
Oleh karena itu, ilmu yang bermanfaat dan dapat mengantarkan ke surga adalah ilmu yang membuat pemiliknya semakin dekat dan takut kepada Allah Swt. Allah Swt berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu (ulama).” (QS. Fathir: 28)
Pada konteks inilah Imam Al Ghazali mengatakan: “Ketahuilah bahwa ilmu yang tidak menjauhkanmu dari maksiat dan mendorongmu untuk beribadah pada hari ini, tidak akan bisa menjauhkanmu dari api neraka esok hari.”[6]
Banyak riwayat yang menunjukkan bahwa kebaikan ada pada ilmu. Orang yang mendapat ilmu berarti mendapat kebaikan. Sebaliknya, orang yang terhalang dari ilmu berarti terhalang dari kebaikan. Misalnya sabda Rasulullah Saw:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْراً يُفَقِّهْهُ في الدِّينِ
“Orang yang akan dikehendaki kebaikan oleh Allah akan diberikan pemahaman agama.” (HR. Muttafaq Alaih)
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa orang yang tidak belajar memahami kaidah-kaidah ilmu agama Islam dan cabang-cabang yang berkaitan dengannya, berarti ia telah terhalang dari kebaikan.
Orang yang tidak tahu ilmu agama, tidak akan disebut berilmu atau pencari ilmu, maka layak disebut sebagai orang yang tidak mendapat kebaikan. Dari situ terdapat keterangan yang jelas tentang keutamaan ulama dibandingkan orang biasa, dan juga keutamaan belajar ilmu agama dibandingkan ilmu-ilmu lain.[7]
Belajar Sebelum Memimpin
Islam mendorong umatnya agar belajar Islam sejak dini. Ada sebuah pesan indah yang disampaikan oleh Sayyidina Umar bin al-Khatthab -semoga Allah meridhainya-. Beliau pernah berpesan:
تَفَقَّهُوا قَبْلَ أَنْ تُسَوَّدُوا
“Belajarlah sebelum kamu diangkat menjadi pemimpin”[8]
Pesan ini diabadikan oleh imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya, lalu ia menambahkan:
وَبَعْدَ أَنْ تُسَوَّدُوا وَقَدْ تَعَلَّمَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي كِبَرِ سِنِّهِمْ
“Dan juga setelah diangkat menjadi pemimpin, dulu para sahabat Nabi Saw pun belajar di usia tua”[9]
Maksudnya, belajarlah ilmu-ilmu Islam, baik sebelum maupun setelah menjadi pemimpin. Maksud Sayyidina Umar adalah belajarlah sebelum disibukkan dengan urusan kepemimpinan. Sebab, orang yang disibukkan dengan urusan kepemimpinan akan semakin sulit meluangkan waktu untuk belajar ilmu agama. Adapun maksud Imam al-Bukhari adalah belajarlah meskipun sudah menjadi pemimpin. Jangan segan untuk datang ke majelis ilmu meskipun sudah menjadi pemimpin. Demikian juga jika sudah tidak lagi menjadi pemimpin, jangan malu untuk kembali ke majelis ilmu.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata:
وَإِنَّمَا عَقَّبَهُ الْبُخَارِيُّ بِقَوْلِهِ وَبَعْدَ أَنْ تُسَوَّدُوا لِيُبَيِّنَ أَنْ لَا مَفْهُومَ لَهُ خَشْيَةَ أَنْ يَفْهَمَ أَحَدٌ مِنْ ذَلِكَ أَنَّ السِّيَادَةَ مَانِعَةٌ مِنَ التَّفَقُّهِ وَإِنَّمَا أَرَادَ عُمَرُ أَنَّهَا قَدْ تَكُونُ سَبَبًا لِلْمَنْعِ لِأَنَّ الرَّئِيسَ قَدْ يَمْنَعُهُ الْكِبْرُ وَالِاحْتِشَامُ أَنْ يَجْلِسَ مَجْلِسَ الْمُتَعَلِّمِينَ
“Maksud al-Bukhari menambahkan pesan ‘dan setelah menjadi pemimpin’ adalah untuk menjelaskan bahwa ucapan Umar tidak boleh dipahami sebaliknya. Ia khawatir ada orang yang memahami bahwa menjadi pemimpin berarti berhenti dari belajar ilmu agama. Jadi yang dimaksud Umar hanyalah kepemimpinan berpeluang besar menjadi sebab penghalang dari belajar ilmu agama. Sebab, seorang pemimpin bisa jadi merasa malu (gengsi) untuk duduk di majelis para santri.”[10]
Abu Ubaid dalam kitabnya, Gharib al-Hadits, menafsirkan ucapan Umar sebagai berikut:
مَعْنَاهُ تَفَقَّهُوا وَأَنْتُمْ صِغَارٌ قَبْلَ أَنْ تَصِيرُوا سَادَةً فَتَمْنَعُكُمُ الْأَنَفَةُ عَنِ الْأَخْذِ عَمَّنْ هُوَ دُونَكُمْ فَتَبْقُوا جُهَّالًا
“Maknanya adalah belajarlah ilmu agama ketika kamu masih kecil (muda) sebelum kamu menjadi pemimpin lalu rasa gengsi menghalangimu belajar dari orang yang berada di bawahmu sehingga kamu pun tetap menjadi orang bodoh selamanya.”[11]
Mendalam Adalah Satu Metode Mempelajari Tsaqafah Islam
Tsaqafah Islam harus dipelajari secara mandalam, sehingga dipahami hakikatnya dengan pemahaman yang benar, karena tsaqafah Islam bersifat fikriyah (pemikiran), mendalam, mengakar, dan memerlukan kesabaran dan keteguhan dalam mempelajarinya.[12]
Mengkaji tsaqafah Islam merupakan aktivitas berpikir yang membutuhkan pengerahan seluruh upaya (pemikiran) untuk memahaminya. Hal itu memerlukan pemahaman yang menyeluruh, dan membutuhkan pemahaman tentang faktanya serta kaitannya dengan berbagai informasi yang dapat memberikan pemahaman terhadap fakta tersebut. Karena itu, prosesnya harus dengan cara talaqqiyan fikriyan (pemikiran yang disampaikan melalui perjumpaan).
Seorang yang belajar tsaqafah Islam harus meyakini apa yang sedang dipelajarinya agar dia beraktivitas dengannya. Demikian juga seorang yang mempelajari tsaqafah Islam harus bersifat praktis dalam rangka memecahkan problem kehidupan.
Inilah metode Islam dalam belajar tsaqafah Islam, yaitu mendalam dalam pembahasan, meyakini apa yang dipelajari, serta mengambilnya secara praktis untuk diterapkannya dalam kancah kehidupan.
Ketika metode ini dijalankan dalam proses pembelajaran maka seorang muslim yang memiliki tsaqafah Islam berdasarkan metode tersebut akan mendalam pemikirannya, peka perasaannya dan mampu memecahkan segala problematika kehidupan. Metode ini mampu menjadikan seorang muslim berjalan menuju kesempurnaan dengan penuh keta’atan dan kepasrahan.
Karena itu dia menerjuni petualangan kehidupan dalam keadaan (mempunyai) bekal dengan sebaik-baiknya perbekalan, yaitu pemikiran yang cemerlang, takwa dan pengetahuan yang dapat menuntaskan segala problematika kehidupan.[13]
Hukuman Bagi yang Lalai dalam Belajar dan Mengajar
Al-Hafizh al-Mundziri dalam al-Targhib wa al-Tarhib dalam Kitab al-‘Ilm Bab al-Tarhib min Katm al-‘Ilm, dan al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawa’id Kitab al-‘Ilm Bab Ta’lim Man La Ya’lam[14] menyebutkan hadits Riwayat Imam al-Thabarani dari Alqamah bin Sa’ad bin Abdurrahman bin Abza dari ayahnya dari kakeknya, tentang celaan bagi kaum yang meninggalkan mengajarkan ilmu. Hadits yang sangat panjang tersebut menceritakan celaan Rasulullah kepada kaum Asy’ariyyun yang tidak memahamkan orang di sekitarnya, tidak mengingatkan mereka, tidak menyuruh kepada yang makruf, dan tidak mencegah dari kemunkaran.
Al-‘Allamah Musthafa al-Zarqa dalam kitabnya al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am, ketika mengomentari hadits tersebut mengatakan bahwa penyikapan yang tegas atas kelalaian dari aktivitas mengajar dan mempelajari ilmu merupakan kejahatan sosial (jarimah ijtima’iyyah) dan pelakunya pantas mendapatkan hukuman di dunia, merupakan sikap yang belum pernah ada bandingannya dalam sejarah baik sebelum Nabi Saw maupun setelahnya.
Termasuk dalam perbuatan kemunkaran dan berhak mendapatkan hukuman ta’zir atasnya adalah sikap menelantarkan kewajiban-kewajiban agama, diantaranya adalah mengajarkan dan mempelajari ilmu. Jika orang berilmu sudah melalaikan kewajiban mengajarkan ilmu dan orang bodoh sudah lalai dari mempelajari ilmu syar’i yang wajib dipelajari, maka keduanya berhak mendapatkan hukuman ta’zir karena kelalaian tersebut.[15]
Bahkan Imam al-Nawawi dalam kitabnya Riyadh al-Shalihin membuat sebuah bab “Keutamaan Ilmu: Belajar dan Mengajarkannya“. Ibnu Allan menjelaskan dalam kitabnya Dalil al-Falihin bahwa yang dimaksud ilmu di sini adalah ilmu agama (al-ilm al-syar’i), yaitu hadits, tafsir, fikih dan alat-alatnya. Allah Swt berfirman:
وَقُل رَّبِّ زِدۡنِی عِلۡمࣰا
“Katakanlah (wahai Muhammad): Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.” (QS. Tha-Ha: 114)
Ayat ini termasuk dalil terbesar yang menunjukkan keutamaan ilmu, belajar dan mengajarkannya. Sebab, Rasulullah Saw tidak pernah diperintahkan meminta tambahan kepada tuhannya kecuali tambahan ilmu.
Abu Hurairah berkata, “Rasulullah Saw selalu berdoa:
اللَّهُمَّ انْفَعْنِي بِمَا عَلَّمْتَنِي وَعَلِّمْنِي مَا يَنْفَعُنِي وَزِدْنِي عِلْمًا
“Ya Allah, jadikanlah ilmu yang Engkau ajarkan kepadaku bermanfaat bagiku. Ajarkanlah kepadaku ilmu yang bermanfaat bagiku. Tambahkanlah kepadaku ilmu.” (HR. Ibnu Majah)
Penutup
Dengan demikian, setiap muslim wajib mempelajari tsaqafah Islam secara mendalam dan mengakar sampai didapatkan hakikatnya. Banyak dalil dari al-Quran dan al-Hadits yang memberikan penegasan kewajiban belajar ilmu-ilmu Islam. Kita wajib mendakwahkan Islam dan menerapkannya dalam kehidupan, dan hal itu mengharuskan mengkaji Islam secara mendalam dan menyeluruh. Jadi jika ada pernyataan “mempelajari agama tidak perlu mendalam”, maka dapat dipastikan itu adalah pernyataan bodoh dan membodohi serta menghendaki langgengnya kebodohan. Pernyataan tersebut seharusnya tertolak dengan sendirinya. Allahu a’lam bishshawab.
Sumber: yuanaryantresna.id
[1] Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz I, hlm. 265.
[2] Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, hlm. 265.
[3] Lihat Muhammad bin Allan al-Shidiqi al-Makki, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadh al-Shalihin, juz 4, hlm. 130.
[4] Lihat Muhammad bin Allan, juz 4, hlm. 130.
[5] Lihat Muhammad bin Allan, juz 4, hlm. 160.
[6] Lihat Abu Hamid al-Ghazali, Ayyuha al-Walad, hlm. 40.
[7] Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, juz 2, hlm. 150.
[8] Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, juz 2, hlm. 151.
[9] Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, juz 2, hlm. 151.
[10] Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, juz 2, hlm. 151.
[11] Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, juz 2, hlm. 151.
[12] Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, hlm. 266
[13] Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, hlm. 269.
[14] Lihat al-Mundziri, al-Targhib wa al-Tarhib, juz 1, hlm. 86; al-Haitsami, Majma’ al-Zawa’id, juz 1, hlm. 64. al-Suyuthi menyebutkannya dalam al-Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Qur’an bi al-Ma’tsur, juz 2, hlm. 301.
[15] Lihat Musthafa al-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm, juz 2, hlm. 641.