Oleh: Sri Rahayu
Suaramubalighah.com, Opini — Membicarakan perempuan selalu menarik dan tak akan pernah ada habisnya. Karena perempuan memang memegang peran penting, baik dalam keluarga, masyarakat, bahkan negara. Hingga dikatakan perempuan adalah tiang negara, jika perempuannya baik maka baiklah negara. Sebaliknya jika perempuannya buruk, hancurlah negara itu.
Fakta perempuan hari ini tidak bisa dikatakan dalam keadaan baik, karena diterpa berbagai persoalan kemiskinaan, kejahatan seksual, angka kematian ibu yang masih tinggi, dan berbagai persoalan lainnya. Para pengusung feminisme menyimpulkan bahwa problem perempuan ini dikarenakan kurangnya kesempatan perempuan untuk duduk di kursi legislatif dan jabatan strategis lainnya, sehingga aturan dan kebijakan yang dibuat tidak responsif gender yang mengakibatkan ketimpangan. Oleh karena itu, mereka menuntut perempuan mendapatkan porsi yang sama dengan laki-laki di lembaga legislatif dan posisi strategis lainnya, minimal 30% sebagai langkah awal dan akan terus ditingkatkan hingga posisinya setara dengan laki-laki yang mereka sebut dengan planet 50:50.
Dengan porsi yang sama, dinilai perempuan bisa berpengaruh dalam bidang politik untuk membuat aturan dan kebijakan yang pro gender sehingga problem perempuan bisa dituntaskan. Konsep menilai pengaruh politik perempuan dari kuota keterlibatan perempuan, merupakan konsep turunan dari sistem demokrasi yang saat ini sedang diterapkan.
Politik Perempuan dalam Demokrasi
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang lahir dari akidah sekuler yang memisahkan agama dari pengaturan kehidupan dunia, agama hanya untuk urusan akhirat. Demokrasi menempatkan kedaulatan untuk membuat aturan berada di tangan rakyat. Baik-buruk, terpuji-tercela, halal maupun haram, ditentukan oleh manusia. Dengan kata lain, manusialah yang membuat aturan melalui wakil-wakilnya yang duduk di dalam lembaga legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat).
Pengaruh politik dalam demokrasi sangat ditentukan oleh kuota. Semakin banyak suara yang didulang saat pemilu, maka bisa mengantarkannya duduk di lembaga DPR. Proses pengesahan sebuah undang-undang juga ditentukan oleh seberapa banyak fraksi yang menyetujui ataupun menolaknya. Apabila mayoritas anggota dewan menyetujui sebuah rancangan undang-undang, maka akan disahkan meski realitasnya rancangan undang-undang itu hanya menguntungkan segelintir orang dan menyengsarakan mayoritas rakyat.
Keputusan terhadap berbagai perkara tidak ditentukan berdasarkan perkara itu benar atau salah, halal atau haram, menguntungkan atau merugikan rakyat, tetapi ditetapkan berdasarkan kesepakatan atau suara terbanyak. Undang-undang cipta kerja dan minerba yang hanya menguntungkan pengusaha khususnya pengusaha asing dan merugikan rakyat, undang-undang tentang BPJS yang sangat merugikan rakyat, dan masih banyak lagi produk hukum yang tidak berpihak kepada rakyat serta menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah SWT.
Realitanya dalam demokrasi, pemodal (kapital) memiliki peran dominan dalam menentukan peraturan dan kebijakan. Oligarki menjadi penentu pembuatan undang-undang dan kebijakan pemerintahan. Bukan sedikitnya kuota perempuan dalam lembaga politik tersebut.
Akibat yang ditimbulkan adalah kesengsaraan rakyat, baik laki-laki maupun perempuan. Jika demikian, keterlibatan perempuan di dalam lembaga politik dan pemerintahan tidak akan memperbaiki nasib perempuan meski kuota mereka mencapai 30% atau bahkan 50% sekalipun. Jadi perempuan tidak akan memiliki pengaruh politik apapun dalam sistem demokrasi, karena politik ditentukan oleh para kapital (pengusaha) baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Politik Perempuan dalam Islam
Islam memandang problem perempuan adalah bagian dari problem manusia yang harus diselesaikan secara politik sesuai ketetapan syariat Islam. Politik dalam Islam adalah riayah syuunil ummah dakhilian wakharijian, yaitu mengurusi urusan umat di dalam negeri dan luar negeri dengan menerapkan syariat Islam secara kafah baik di dalam maupun luar negeri.
Dalam Islam, politik adalah aktivitas yang harus dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Keduanya memiliki kedudukan yang sama selama tidak ada nas yang mengkhususkannya. Syariat Islam menetapkan aktivitas politik bagi perempuan, di antaranya muhasabah lilhukam, yaitu menasehati atau mengoreksi penguasa ketika menetapkan kebijakan yang menyimpang syariat sehingga timbul ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan berbagai kezaliman. Aktivitas ini telah dicontohkan seorang muslimah dari suku Qurays yang mengoreksi kebijakan khalifah Umar ibn Khaththab ra. ketika menetapkan kebijakan pembatasan mahar bagi perempuan. Hingga akhirnya Amirul Mukminin Umar ibn Khaththab membatalkan kebijakan tersebut bukan karena ia seorang perempuan, namun karena kebenaran yang disampaikannya sesuai firman Allah SWT,
وَآتَيْتُمْإِحْدَاهُنَّقِنْطَارًا
“… kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak (sebagai mahar)…” (QS. An-Nisa’: 20)
Perempuan juga diperintahkan untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar, karena itu adalah perintah Rasulullah saw.,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ
“Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Bahkan pelakunya mendapat predikat sebagai umat terbaik, sebagaimana yang telah Allah SWT firmankan dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 110,
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
Islam memberi hak pada perempuan untuk menduduki jabatan-jabatan politik seperti menjadi anggota Majelis Umat atau Majelis Wilayah yang mewakili kaumnya untuk menyampaikan aspirasi kepada khalifah atau mengoreksi kebijakan jika bertentangan dengan syariat Islam. Perempuan juga mendapat hak untuk menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan seperti menjadi qadhi hisbah sebagaimana Amirul Mukminin Umar ibn Khaththab mengangkat Syifaa binti Abdullah menjadi qadhi hisbah di Madinah.
Namun demikian ada jabatan yang dikhususkan hanya untuk laki-laki yaitu sebagai penguasa yakni jabatan sebagai kepala negara (khalifah), mu’awin tafwidh, wali, dan amil. Rasulullah Muhammad saw. telah bersabda,
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.” (HR Al-Bukhari)
Larangan ini bukan karena kapasitas perempuan yang tidak memadai menjabat jabatan penguasa, namun semata-mata karena Allah SWT telah melarangnya. Larangan ini pasti membawa kebaikan bagi perempuan itu sendiri, juga bagi umat Islam secara umum sebagaimana dinyatakan dalam satu kaidah syara, “haitsuma yakunu asy-syar’u takunu al-mashlahah”, dimana ada hukum syara di situ pasti ada maslahat.
Peran politik perempuan ini memiliki pengaruh nyata dalam kehidupan Islam tanpa memandang batasan kuota. Tuntutan satu orang sekalipun akan didengar dan dipertimbangkan apabila benar sesuai syariat Islam. Bahkan pada masa Nabi saw., peran politik perempuan untuk memperjuangkan haknya telah terwujud. Di antaranya yang dilakukan Asma bin Yazid yang datang kepada Nabi saw. atas nama rekan-rekannya untuk menuntut kesetaraan upah lelaki dan perempuan walau dengan profesi berbeda. Nabi saw. terkesan dengan ucapannya dan menoleh kepada kaum laki-laki agar mendengar ucapan perempuan yang pandai menyampaikan aspirasi rekan-rekan perempuannya. Pada akhirnya, Nabi saw. menyetujui usul Asma itu.
Perempuan lain, Umaimah binti Rafiqah menceritakan, dia datang kepada Nabi saw. bersama rekan-rekan perempuannya dan meminta agar dibaiat atau diambil janji setia oleh Nabi saw.. Dan beliau pun mengabulkan permintaan itu sambil mengingatkan, baiat harus sesuai dengan kemampuan mereka dalam kedudukan mereka sebagai perempuan (HR. Ibnu Majah).
Dengan ini jelas bahwa Islam telah memberikan hak bahkan kewajiban bagi perempuan untuk melakukan aktivitas politik. Dan aktivitas mereka memiliki pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan Islam tanpa ditentukan batasan kuota sebagaimana yang diperjuangkan pegiat feminisme dalam sistem demokrasi. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]