Islamofobia di Balik SE 5/2022 tentang Pengaturan Pengeras Suara Masjid-Musala

  • Opini

Oleh: Qisthi Y. Handayani

Suaramubalighah.com, Opini — Polemik terkait pernyataan Menag yang menyerupakan suara azan dengan gonggongan anjing masih terus berlangsung. Bahkan tagar #AksiBelaIslamTangkapYaqut, menjadi trending di Twitter. Alih-alih menciptakan keharmonisan di tengah masyarakat, justru pro-kontra terkait SE 5/2022 tentang pengaturan pengeras suara pun terjadi. Mayoritas umat Islam dan tokoh umat mengecam pernyataan tersebut karena dinilai menyakiti umat Islam dan terkategori penistaan agama.

Namun ada sebagian tokoh yang membela dan menilai apa yang dilakukan Menag itu sudah tepat, karena dia sedang menjalankan tugas negara untuk menyukseskan proyek moderasi. Sebagaimana yang disampaikan oleh Rektor UIN Maliki Malang Prof.Dr.M. Zainuddin dalam wawancara dengan Times Indonesia, bahwa SE 5/2022 bisa dikatakan turunan dari program Jokowi.

Tepatnya seperti ini, sesuai dengan program presiden, yang tertuang dalam Rencana Program Jangka Menengah Nasional 2020-2024, bahwa pemerintah memiliki empat program prioritas. Pertama adalah revolusi mental dan kebudayaan nasional. Kedua, meningkatkan pemajuan dan pelestarian kebudayaan. Ketiga, memperkuat moderasi beragama. Keempat meningkatkan literasi, inovasi, dan kreativitas. (Times Indonesia, 26/02/2022)

Islamofobia di Balik SE 5/2022

Surat Edaran (SE) tentang pengeras suara masjid bukan hal baru. Kemenag era Lukman Hakim Saifuddin sempat mengeluarkan SE 40/2018 yang isinya sama persis dengan SE Tahun 1978. Pengaturan ini sebenarnya sudah cukup, tidak perlu Surat Edaran yang baru. Ada motif apa sebenarnya dengan SE 5/2022?

Menurut Mustofa Nahwawardaya (Pemred Majalah Tablig PP Muhammadiyah) SE No. 5/2022 isinya agak sensitif dan tampaknya kajiannya tidak begitu matang. Kualitasnya downgrade dari SE sebelumnya, karena sebelumnya mengkaji secara geografis juga,” kata Mustofa dalam diskusi “Yaqut, Toa, dan Gonggongan Anjing” pada Jumat (25/02/2022).

Jika kita lihat latar belakang dikeluarkannya SE 5/2022, ada segelintir orang yang merasa suara azan, selawatan, bacaan Al-Qur’an dan syiar dari masjid-musala sebagai “polusi suara”. Didasarkan pada temuan lapangan, katanya terjadi kebisingan yang muncul dari pengeras suara masjid di Jakarta, setidaknya terdapat 4.000 masjid. Adanya keluhan artis Zaskia Adya Mecca yang mempertanyakan keetisan menggunakan pengeras suara masjid untuk membangunkan sahur. (detik.com, 23/04/2021). Kemudian kasus penistaan agama di Tanjung Balai, Sumatera Utara, dengan terdakwa Meiliana yang divonis 18 bulan penjara karena berawal dari pengeras suara masjid. Ditambah dengan keluhan nonmuslim yang bernama Rina yang dimuat oleh media internasional yang berpusat di Perancis, sehingga Indonesia dikecam sebagai negara muslim intoleran. (CNN Indonesia, 14/10/2021). Kemudian dikeluarkan Surat Edaran tersebut.

Padahal di sisi lain, juga banyak orang bahkan nonmuslim yang senang dengan suara azan. Mereka merasa terbantu (membangunkan mereka). SE 5/2022 bukan sekadar mengatur keharmonisan masyarakat, tapi harus diwaspadai adanya agenda politik penjajah, yakni menanamkan Islamofobia (azan, bacaan Al-Qur’an, selawatan yang dianggap “polusi suara”, sumber kebisingan) pada masyarakat. Hal ini tak lepas dari agenda implementasi proyek moderasi beragama yang ditetapkan dalam RPJMN 2020-2024 dengan salah satu indikator keberhasilan toleransi yang tinggi dan hilangnya intoleransi.

Dirjen Bimas Islam Kemenag Kamaruddin Amin, menegaskan bahwa SE tersebut dikeluarkan dalam kerangka pengaturan ekspresi beragama di ruang publik atau yang dalam kerangka hak asasi manusia disebut dengan istilah forum externum. SE 5/2022 juga untuk menyukseskan tahun 2022 sebagai tahun toleransi. Ada 3 poin utama dalam SE 5/2022. Pertama, kekuatan speaker tidak boleh lebih dari 100 desibel. Kedua, suara menjelang salat maksimal 10 menit. Dan ketiga, suara yang dipancarkan bagus, tidak sumbang, dan pelafalannya baik dan benar. Dalam implementasinya SE akan berpotensi menimbulkan konflik horizontal di tubuh kaum muslimin sendiri dalam menerjemahkan SE tersebut.

Terlebih, kekuatan pengeras suara 100 desibel daya jangkaunya terbatas. Dilansir dari Purdue University, 100 dB seperti berkendara sepeda motor, klakson sejauh 5 meter. Padahal azan untuk memanggil orang untuk salat. Ditambah waktu yang dibolehkan untuk menggunakan pengeras suara hanya 10 menit sebelum salat, akan membuat jemaah terlambat salat berjemaah karena singkatnya waktu pemberitahuan. Lambat laun, hal ini akan meredupkan syiar Islam bahkan bisa membuat jemaah enggan ke masjid.

Bahkan SE bisa menjadi alat untuk melaporkan seseorang, mengingat pada poin 5 ada poin pembinaan dan pengawasan. Padahal yang namanya Surat Edaran sifatnya edukasi karena bukan produk undang-undang. Poin 5 dari SE 5/2022 tentang pembinaan dan pengawasan: (a) Terhadap pelaksanaan surat edaran ini menjadi tanggung jawab Kementerian Agama secara berjenjang. (b) Kementerian Agama dapat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dan Organisasi Kemasyarakatan Islam dalam pembinaan dan pengawasan.

Sebenarnya masalah penggunaan pengeras suara sebelum masifnya proyek moderasi, tidak ada persoalan. Sudah menjadi kebiasaan dari masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim. Dimana azan, bacaan Al-Qur’an, selawatan dan ceramah merupakan syiar Islam. Jadi, tidak berlebihan jika kita katakan bahwa SE 5/2022 hakikatnya untuk meredupkan syiar Islam dengan dalih mewujudkan toleransi dan harmoni sosial.

Jelaslah bahwa di balik SE 5/2022 terjadi Islamofobia yang dibungkus dengan proyek moderasi untuk mewujudkan harmoni sosial, tapi realitasnya berpihak kepada minoritas untuk meredupkan syiar Islam dan kebangkitan Islam.

يُرِيْدُوْنَ لِيُطْفِـُٔوْا نُوْرَ اللّٰهِ بِاَفْوَاهِهِمْۗ وَاللّٰهُ مُتِمُّ نُوْرِهٖ وَلَوْ كَرِهَ الْكٰفِرُوْنَ
“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya.” (Ash-Shaff: 8)
Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]