Oleh: Arini Retnaningsih
Suaramubalighah.com, Opini — Gerakan antiterorisme selama ini dianggap lebih lekat dengan citra manly alias cenderung berkonotasi pada laki-laki. Gerakan antiterorisme seolah-olah didominasi laki-laki. Dari segi penindakan hingga pencegahan, peran perempuan dirasa sangat sedikit.
Para aktivis gender memandang hal itu merupakan suatu ketimpangan. Ini karena perempuan sebagai bagian dari masyarakat juga berpotensi terlibat dalam membangun narasi kontra- atau antiterorisme.
Potensi pertama, menurut mereka, di lingkup domestik (rumah tangga), perempuan berperan penting dalam pengasuhan anak.
Kedua, dalam lingkup kehidupan sosial, perempuan kiranya bisa berperan membangun kesiapsiagaan dan kewaspadaan bersama dalam menangkal setiap narasi radikalisme dan terorisme yang berkembang. Peran unit-unit kegiatan perempuan, seperti jemaah pengajian, arisan lingkungan, dasawisma, kegiatan PKK, dan sejenisnya, idealnya bisa dioptimalkan dalam membangun kesiapsiagaan mencegah terorisme.
Ketiga, dalam konteks yang lebih luas, perempuan perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan terkait penanganan terorisme. Mereka harus dilibatkan secara aktif dalam merumuskan aturan dan kebijakan pencegahan terorisme. (harakatuna[dot]com).
Perlu Kita Cermati
Program kontraterorisme saat ini memang digencarkan. Upaya melibatkan perempuan secara khusus dalam program ini sebenarnya sudah lama dicanangkan karena dalam aksi terorisme akhir-akhir ini memang melibatkan beberapa pelaku perempuan.
Namun, mengingat program kontraterorisme ini ternyata menyasar umat Islam, bahkan sudah menyimpang dari tujuan semula, yakni melenyapkan tindak terorisme menjadi alat permainan politik untuk menyingkirkan para ulama yang dianggap berbahaya, maka kita perlu mencermati program ini, terutama alasan menargetkan perempuan untuk terlibat aktif.
Agenda Moderasi Islam
Kita melihat berbagai narasi kontraterorisme, kontraradikalisme, deradikalisasi, dan moderasi Islam sudah bertebaran di media massa hari-hari ini. Memerangi ekstremisme dan terorisme dianggap tidak akan berhasil kecuali dengan menyebarkan wasathiyyah. Ada anggapan, jika cahaya wasathiyyah telah tersebar, api ekstremisme akan padam.[1]
Program kontraradikalisme melalui moderasi Islam ini sangat layak untuk kita waspadai karena intinya adalah deislamisasi. Betapa tidak? Program ini banyak mereduksi ajaran Islam, terutama “jihad” yang berusaha untuk diubah makna dan hukumnya. Jihad hanya dimaknai sebagai ‘usaha sungguh-sungguh untuk berhasil’, bukan ‘berperang’.
Begitu pula, umat dijauhkan dari politik, baik secara pemahaman maupun aktivitas politik yang benar. Oleh karenanya, umat boleh salat, zakat, haji, dan melaksanakan kegiatan Islam lainnya, tetapi tidak boleh mengkritik penguasa, tidak boleh menuntut penerapan syariat oleh negara, tidak boleh menolak calon pemimpin kafir, dan harus mau menerima demokrasi dan HAM, serta mau terlibat dalam peringatan hari raya agama lain.
Intinya, ingin mengubah pemahaman umat menjadi sekuler, moderat, liberal, dan toleran. Inilah agenda besar yang diusung musuh-musuh Islam untuk menghalangi kebangkitan Islam secara halus.
Upaya moderasi Islam diyakini menyolusi terorisme dan radikalisme. Namun, faktanya, mengapa sekian tahun program ini dijalankan, kasus terorisme tidak jua berakhir?
Mampukah Moderasi Islam Jadi Solusi?
Moderasi Islam merupakan bentuk penyimpangan pemahaman Islam. Ketika pemerintah menggencarkan ide ini, umat Islam yang memiliki pemahaman yang bertentangan akan menolaknya sehingga justru akan memunculkan perlawanan terhadap ide ini.
Begitu pun islamofobia yang diembuskan rezim, boleh jadi akan berbalik menjadi kebencian terhadap rezim. Tanpa adanya pemahaman yang benar tentang metode dakwah Rasulullah saw., boleh jadi hal ini bisa menjadi motif munculnya terorisme.
Mengembangkan moderasi juga akan berbahaya bagi keberlangsungan umat Islam sendiri. Ini karena generasi penerus Islam akan kehilangan izahnya, mereka tidak tahu cara mempertahankan agama dan negaranya dari musuh. Kasus yang terjadi pada masyarakat Rohingya di Myanmar, misalnya, yang memilih lari daripada berjihad sehingga terhina di negaranya dan terhina di negeri orang, cukuplah menjadi pelajaran bagi umat.
Hal itu tidak terjadi saat seorang muslim memiliki pemahaman Islam yang benar. Dengan dalil dan hujah yang kuat, ia akan tunduk dan mengambil pemahaman ini. Pemahaman yang benar terhadap jihad akan membuatnya menolak bom bunuh diri atau bentuk teror lainnya. Pemahaman yang benar terhadap proses pengambilan hukum Islam akan membuatnya memahami perbedaan dan menyikapinya dengan benar. Ia akan mengembangkan toleransi yang benar. Ia akan memahami seperti apa Islam sebagai rahmatan lil ’alamiin.
Selain itu, perlu dipahami bahwa terorisme bukan sekadar pemahaman, ada faktor-faktor lain yang memicunya. Sosiolog Musni Umar menyebutkan di antaranya adalah ketakadilan ekonomi, ketakadilan hukum, penjajahan, intervensi asing, pemahaman agama yang sempit, dan keinginan mengubah negara atau sistem.[2] Tentu faktor-faktor ini tidak akan bisa diselesaikan dengan Islam wasathiyyah.
Solusi Terorisme Bukan Pelibatan Perempuan
Merupakan tugas seluruh pihak yang terkait dengan dakwah untuk mengajarkan umat tentang Islam kafah. Menanamkan akidah yang lurus dan membentuk kepribadian Islam. Mengajarkan bahwa makna toleransi adalah “lakum dinukum waliyadiin”. Mengajarkan untuk menerima pluralitas tetapi menolak pluralisme. Mengajarkan untuk menerima Islam secara keseluruhan dan memperjuangkannya, bukan menerima sebagian dan menolak sebagiannya. Islam kaffah yang seperti ini, tentu tidak bisa dikatakan sebagai Islam radikal dengan makna terorisme.
Benar bahwa perempuan memiliki peran penting dalam pendidikan keluarga dan masyarakatnya. Bahkan bisa dikatakan bahwa inilah aktivitas politik perempuan yang hakiki. Perempuan yang dididik dengan Islam kafah akan menjadi ibu yang sholihah, menjaga kehormatan dirinya, mendidik anak dan keluarganya dengan benar, menjadikan keluarganya sebagai basis bagi dakwah Islam dan ikut menjaga kebaikan di masyarakatnya.
Sedangkan faktor lain seperti ketidakadilan ekonomi, hukum dan seterusnya, maka persoalan ini tidak akan mampu dihilangkan selama diterapkannya sistem kapitalis. Hanya Islam yang mampu memberikan solusi sempurna, karena syariat Islam diturunkan dari sang Maha Pencipta, yang mengetahui secara detil karakter ciptaan-Nya dan apa yang terbaik bagi mereka. Dan pada faktor ini, sama sekali tidak terkait dengan pelibatan perempuan sebagai pengambil kebijakan. Sekalipun pengambil kebijakan laki-laki semua, namun ketika yang mereka terapkan hanya hukum Allah, maka akan membawa kebaikan pada seluruh umat baik laki-laki maupun perempuan.
Isu pelibatan perempuan dalam kontra terorisme adalah bagian dari upaya menyeru kepada ide kesetaraan gender. Mengeluarkan perempuan dari pemahaman Islam kafah dengan memanfaatkan agen perempuan. Menjauhkan perempuan dalam fungsi utamanya sebagai pendidik anak dan sesama perempuan sehingga terputuslah pemahaman Islam kafah dari generasi dan umat. Inilah yang harus kita waspadai dari upaya pelibatan perempuan dalam gerakan kontra terorisme.
Maka tak perlu takut menjadi radikal dengan mengajarkan Islam kafah pada perempuan. Justru inilah yang akan menghantarkan perempuan menjadi ibu yang melahirkan umat terbaik bagi manusia. Insyaallah. Sebagaimana firman Allah Swt., “Kalian (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh berbuat yang makruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS Ali Imran[3]: 110). Wallahu a’lam bishshawab.
Sumber: muslimahnews.net