Oleh: Zakiyah Amin
Suaramubalighah.com, Opini — Pengarusan moderasi beragama makin masif bahkan liar menyasar pada hal-hal yang sangat fundamental, yakni memaknai keesaan Allah dengan narasi Tuhan tak berbilang. Irfan Hidayat yang dilansir di mubadalah.id getol menderaskan konsep moderasi beragama, mengatakan bahwa narasi Tuhan tak berbilang dimaksudkan mengakomodir semua agama bahkan kepercayaan yang ada di Indonesia. Makna keesaan ditafsirkan sebagai sesuatu yang tak berbilang dengan konsep ketuhanan yang tidak tunggal mengarah pada kekafiran.
Pendangkalan makna keesaan Tuhan atas nama moderasi beragama dengan istilah “kebhinekaan” terus memperdaya umat. Mereka secara halus menjadikan semua agama dan kepercayaan sebagai asas atau pedoman yang dipercaya mampu mempersatukan keberagaman. Posisi Islam selalu menjadi terpojok sebab disamakan dengan semua agama yang katanya mengajarkan kebaikan, kedamaian, kasih sayang, dan cinta sesama.
Secara sepintas maknanya bagus akan tetapi sesungguhnya menyesatkan. Sebab Islam tidak bisa dibandingkan dengan agama lain, hanya Islam agama yang diridai di sisi Allah. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 19,
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ فَاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat hisab-Nya”.
Para penganut moderasi beragama berusaha memaksakan penafsiran yang menyesatkan dengan menjustifikasi kedudukan ketuhanan yang Maha Esa yaitu Tuhan tak berbilang sebagai sesuatu yang sakral. Padahal pemaknaan keesaan sebagai sesuatu yang tak terbilang sangat jauh dari substansi tauhid.
Substansi tauhid diterangkan dalam Al-Qur’an surah Al-Ikhlas,
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴿ ٤
”Katakanlah (Muhammad), ”Dialah Allah Yang Maha Esa, Allah tempat meminta sesuatu, Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tidak ada satupun yang setara dengan Dia.”
Kata ahad diambil dari akar kata wahdah yang artinya kesatuan. Juga kata waahid yang berarti satu. Kata ahad dalam ayat ini berfungsi sebagai sifat Allah yang artinya Allah memiliki sifat tersendiri yang tidak dimiliki oleh selain-Nya. (MuchlisinBK/ Bersama Dakwah)
Ibnu Katsir mengutip riwayat Imam Ahmad dari Ubay Bin Ka’ab mengenai asbabun nuzul surat Al-Ikhlas, bahwa ada orang-orang musyrik yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Hai Muhammad, gambarkanlah kepada kami tentang tuhanmu,” maka Allah menurunkan surat Al-Ikhlas.
Makna yang terkandung dalam surah Al-Ikhlas yaitu “memurnikan keesaan Allah.” Allah Maha Esa dan Tunggal, sehingga keyakinan ini akan memperkuat dan memurnikan tauhid kita. Allah SWT adalah sumber segala hal dan tidak ada yang setara dengan-Nya sehingga segala sesuatu harus dipanjatkan hanya kepada-Nya. Menyifati Allah dengan sempurna dan menafikan segala sesuatu bagi-Nya.
Surah ini merupakan bantahan telak bagi orang-orang kafir baik dari kalangan kaum pagan (musyrik), Yahudi, Nasrani, maupun para pengusung moderasi beragama. Mereka semua telah menyekutukan Allah. Maka Allah menjelaskan tauhid yang benar, yang harus diimani oleh umat Islam.
Konsep ketuhanan dalam perspektif moderasi sudah mengarah kepada kekafiran yakni mendefinisikan Tuhan lebih dari satu. Berbeda dengan tauhid yang mengesakan Allah seperti yang ditegaskan sebelumnya dalam Al-Qur’an surah Al-Ikhlas ayat pertama.
Sudah sangat jelas bahwa seruan kekafiran dengan narasi Tuhan tak berbilang sangat bertentangan dengan seruan Allah di dalam surah Al-Ikhlas. Akan sangat berbahaya jika narasi makna keesaan tuhan tak berbilang dibiarkan begitu saja, terus bergulir seperti bola liar tanpa melakukan counter yang akibatnya bisa merusak akidah umat Islam.
Sejatinya akidah dan syariat Islam yang merupakan subtansi surat Al-Ikhlas yakni mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, otomatis menolak keras seruan kekafiran karena bertentangan dengan surat Al-Ikhlas. Menurut Sayyid Qutb tidak ada wujud yang hakiki kecuali wujud-Nya. Kesempurnaan sifat Allah menafikan segala yang menyekutukan-Nya.
Pengusung moderasi sekaliber apapun tidak akan mampu membuat penafsiran yang sama. Karena sifatnya berubah-ubah yang hanya berpijak pada situasi dan kepentingan sebagian orang. Ikhtiar penguatan moderasi beragama dengan menggunakan jargon “kebhinnekaan” tetap saja tidak mampu menyolusi segala problematika yang ada di Indonesia. Terbukti sudah sejak lama istilah tersebut dipakai untuk mengakomodir agama-agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia, tapi kondisi masyarakat khususnya umat Islam tidak berubah lebih baik atau bahkan semakin menjauh dari memahami akidah Islam.
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menerima konsep ketuhanan dengan narasi Tuhan tak berbilang yang diaruskan oleh moderasi beragama. Karena sesungguhnya dalam Islam, hal tersebut adalah bentuk kekufuran. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]