Oleh: Kanti Rahmillah, M.Si.
Suaramubalighah.com, Opini — Peta Jalan Kemandirian Pesantren yang digagas oleh Menag Yaqut pada 2020 lalu masih meninggalkan banyak pertanyaan bagi berbagai kalangan, terutama pesantren. Ini karena peta jalan tersebut berpotensi menghilangkan fungsi utama pesantren sebagai lembaga pendidikan dan dakwah.
Pun UU 18/2019 yang menjadi payung hukum konsep tersebut menuai banyak penentangan dan kritikan. Namun demikian, UU tersebut beserta turunannya (Perpres, Permen, Perda) telah disahkan dan kini menjadi pijakan dalam setiap programnya.
Bantuan Bisnis Pesantren
Salah satu program yang dimaksud adalah bantuan inkubasi bisnis pesantren oleh Kemenag. Bantuan bisnis ini merupakan satu dari sekian program Kemandirian Pesantren di bawah Kemenag dan akan diberikan kepada pesantren yang belum pernah mendapatkan bantuan bisnis.
Direktur Jendral Pendidikan Islam sekaligus Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung Muhammad Ali Ramdhani mengatakan bahwa pada 2022, Kemenag menarget 500 paket proposal inkubasi pesantren untuk pemberian bantuan dan pendampingan. Sebelumnya, pilot project program ini berjalan pada sembilan ponpes pada 2020 dan 105 ponpes pada 2021. (Tempo, 8/3/2022)
Ada empat kategori pesantren penerima bantuan. Pertama, pesantren yang belum punya unit usaha. Kedua, sudah punya unit usaha dengan pengembangan maksimal Rp250 juta. Kedua kategori ini mendapatkan bantuan Rp250 juta.
Kategori ketiga dan keempat adalah pesantren yang memiliki unit usaha maksimal Rp500 juta dan Rp600 juta. Masing-masing mendapatkan Rp500 juta dan Rp600 juta.
Berbagai program serupa pun banyak digulirkan, seperti program OPOP (One Pesantren One Product); juga kerja sama bisnis berbasis pesantren, seperti pembagian 1.000 pertashop di pesantren-pesantren di Pulau Jawa.
Semua program ini diharapkan akan membangun kemandirian pesantren serta mewujudkan replikasi model kemandirian 5.000 pesantren di seluruh Indonesia pada 2024 mendatang.
Kemandirian Pesantren
Kemenag menjalankan bantuan keuangan untuk memandirikan pesantren dalam rangka menjawab tantangan global ekonomi ke depan. Ini karena jangan sampai pesantren–sebagai lembaga pendidikan tertua di tanah air–malah makin terpuruk karena keuangannya yang lemah. Itulah sebab pesantren dianggap harus memiliki kemandirian dari sisi finansial.
Selain itu, pesantren yang awalnya dipandang sebelah mata karena dipandang kurang berkontribusi untuk umat, dengan adanya bantuan ini, diharapkan mampu menjadi entitas yang juga mendorong kondisi masyarakat menjadi makin sejahtera. Inilah alasan pemerintah menyiapkan dana yang begitu besar untuk pemberdayaan ekonomi pesantren.
Namun demikian, kedua alasan latar belakang adanya bantuan bisnis pesantren ini patut kita telaah lebih dalam. Apakah benar bantuan ini menjadikan pesantren makin kuat dan berdaya? Atau jangan-jangan malah menjadikan pesantren makin lemah dan mendistorsi kontribusinya pada umat?
Oleh karenanya, ada tiga hal yang harus kita luruskan untuk menjawab permasalahan ini.
Pertama, menimba ilmu beralih pada menimba harta.
Kita tidak boleh mengabaikan fakta bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang paling mandiri, dalam arti, sebelum ada pendanaan dari pemerintah pun pesantren telah hidup ratusan tahun di negeri ini.
Salah satunya, mengutip dari laman Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Ponpes Al-Kahfi Somalangu di Kebumen Jawa Tengah berdiri sejak 1475. Dari manakah pendanaannya? Swadaya masyarakat. Kaum muslim sangat paham bahwa mewakafkan atau menginfakkan harta pada lembaga pendidikan Islam yang akan melahirkan para ulama adalah investasi besar untuk bekal akhirat. Oleh sebab itu, para hartawan tidak segan-segan menggelontorkan dananya pada pesantren.
Selain itu, kita pun mendapati berbagai lembaga pesantren yang menopang keberlangsungan hidup pesantren. Namun, lagi-lagi, semua ini untuk kelancaran proses belajar mengajarnya sehingga aktivitasnya tidak melibatkan santri. Jika pun santri terlibat, sebatas membantu tanpa mengganggu kewajiban utamanya, yaitu belajar dan berdakwah.
Hal ini berbeda dengan peta jalan kemandirian ekonomi pesantren dalam program pendanaan bisnis pesantren. Program ini menghendaki para santri untuk turut terlibat dengan pengelolaan bisnis pesantren. Bukan tidak mungkin jika pada akhirnya fokus pesantren teralihkan dari menimba ilmu menjadi menimba harta. Mereka akan sibuk mempelajari bisnis yang akan diberikan dalam sejumlah kurikulum yang wajib ada pada lembaga pesantren.
Kedua, tugas pemerintah.
Bagaimana agar pesantren bisa bertahan dalam kondisi perekonomian bangsa yang sedang karut-marut? Tidak sedikit pesantren yang terseok-seok membiayai proses ajar mengajar.
Fungsi negara dalam Islam adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan pendidikan sebagai kebutuhan asasi masyarakat. Namun, sayangnya, fungsi tersebut mandul dalam negara sekuler kapitalisme. Konsep negara ini menyerahkan seluruh urusannya pada swasta. Seluruh kebutuhan dasar umat (sandang, pangan, papan) dan kebutuhan dasar masyarakat (pendidikan, Kesehatan, keamanan) diserahkan pada pihak swasta. Walhasil, lembaga pendidikan, termasuk pesantren, harus berjuang sendiri agar bisa hidup.
Adapun bantuan yang diberikan sejatinya hanyalah perhitungan ekonomi. Ini karena bantuan bisnis serupa dengan investasi yang diharapkan akan mendulang keuntungan melimpah. Individu yang loyal dan berdedikasi adalah aset bagi keberhasilan satu usaha.
Bagi negara sekuler kapitalisme, santri adalah tenaga kerja yang harus diberdayakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa. Oleh karenanya, sungguh penghinaan yang sangat besar bagi para ulama dan calon ulama ketika sekadar menyejajarkan mereka dengan faktor produksi. Para santri akan menjadi serupa “buruh” yang bekerja tanpa upah meski mendulang keuntungan melimpah.
Ketiga, peran pesantren.
Selama ini pesantren kerap menjadi lembaga yang terpinggirkan karena anggapan kurang berkontribusi, baik pada masyarakat dan juga kemajuan negara. Sebenarnya, kondisi ini tercipta oleh sekularisme yang menisbahkan kontribusi riil hanya pada materi. Padahal, kontribusi pesantren khususnya terletak pada proses pembelajaran yang akan melahirkan para ulama, yakni ulama yang mencerdaskan dan menyelamatkan umat dari kesia-siaan hidup di dunia. Itulah sebaik-baik kontribusi, yaitu berdakwah mengajarkan Islam.
Selain itu, negara sekuler kapitalisme pula yang menjadikan lahirnya para ulama yang mandul kontribusinya dalam kemajuan bangsa. Ini karena sistem pendidikan sekuler mendikotomi pendidikan umum dan agama. Seolah-olah yang paham agama tidak usah menjawab tantangan zaman. Sebaliknya, yang paham urusan dunia malah minus pemahaman agama. Dari sini, kemudian lahir pula para pakar yang tidak mengenal agama, serta para ulama yang tidak paham cara menyelesaikan permasalahan dunia.
Khatimah
Maka dari itu, jika kita merujuk pada sistem pendidikan Islam, seluruh lembaga pendidikan akan juga berbasis tsaqafah Islam. Bagaimanapun, manusia butuh ilmu agama dan dunia untuk bisa menjalani kehidupan ini dengan selamat sampai kampung akhirat kelak.
Dalam sistem pendidikan Islam, akan ada pembelajaran tsaqafah Islam, mulai dari akidah hingga syariat. Adapun syariat bukan terbatas pada ilmu ibadah semata, tetapi juga mengajarkan sistem ekonomi Islam, pendidikan Islam, dan politik Islam secara menyeluruh dan tuntas.
Umat akan memahami Islam secara komprehensif. Pemahaman umat yang kafah terhadap Islam akan mengantarkan bangsa ini pada kemajuannya dan pada gilirannya akan membawa peradaban dunia menuju kegemilangan.
Oleh karenanya, jika ingin mengembalikan fungsi pesantren pada semula, yaitu sebagai lembaga ilmu dan dakwah yang berkontribusi besar terhadap kemajuan umat manusia, urgen kiranya untuk menerapkan secara sempurna sistem pendidikan Islam dalam bingkai Khilafah.Wallahu a’lam bishshawab. [SM/St]