Seruan Memerangi Islamofobia Sebatas Lips Service

  • Opini

Oleh: Mahganipatra

Suaramubalighah.com, Opini — Islamofobia bukan fenomena baru. Pro dan kontra terus bermunculan seiring dengan maraknya ujaran kebencian. Tindakan diskriminasi, permusuhan, serta kekerasan terhadap individu dan komunitas muslim yang terus berkembang biak layaknya epidemi di beberapa negara dunia. Kaum muslim dipaksa untuk memikul tanggung jawab kolektif atas tindakan teror minoritas kecil yang mengatasnamakan muslim. Terutama setelah kasus serangan WTC di New York pada 11 September 2001.

Stigma dan stereotif negatif sering kali disematkan kepada kaum muslim. Sehingga rasa malu dan perasaan sebagai tersangka pelaku kriminal harus rela disandang tanpa ada bukti. Lebih dari itu, di beberapa negara Barat seperti Eropa, Amerika, Kanada, dan negara-negara lainnya kaum muslim minoritas sering kali mengalami kekerasan fisik yang berujung pada kematian.

Hal inilah yang mendorong Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dengan 57 negara anggotanya. Mengutus Munir Akram, Duta Besar Pakistan sebagai wakil tetap di PBB untuk mengajukan resolusi islamofobia terhadap muslim yang sangat mengkhawatirkan pada sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA). Sehingga pada akhirnya MU PBB mengadopsi konsensus resolusi dengan menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia.

Islamofobia, Alat Politik Barat Mencengkeram Dunia Muslim

Islamofobia adalah ketakutan, kebencian, atau prasangka komunitas masyarakat Barat terhadap agama Islam atau muslim pada umumnya, terutama jika dilihat sebagai kekuatan geopolitik dan tuduhan sebagai sumber terorisme.

Di negara-negara Barat, gagasan islamofobia telah menjadi bahan penelitian dan diskusi yang sangat menarik. Bahkan menjadi isu yang sangat penting terutama jika ditinjau dari aspek politik. Eskalasi politik dunia yang terus berubah seiring dengan tumbuh dan berkembangnya kesadaran politik kaum muslim terhadap kepemimpinan global. Yaitu kembalinya negara Khilafah Islamiyah sebagai insitusi negara global yang akan melindungi dan menjaga kaum muslim dari kekuasaan tirani Barat yang menerapkan sistem kapitalisme-sekuler. Kepemimpinan global ini, bertumpu pada sistem syariat Islam kaffah yang akan memberikan perlindungan komprehensif terhadap seluruh kepentingan kaum muslim di muka bumi.

Oleh karena itu, Barat menganggap bahwa bentuk kesadaran ini sebagai salah satu ancaman atas hegemoni kepentingan dan kekuasaan mereka terhadap negeri-negeri muslim. Maka, isu islamofobia menjadi salah satu pilihan dalam rangka polarisasi politik Barat dalam menghadang kebangkitan Islam politik.

Barat dan negara-negara sekutunya terus berupaya melakukan penyebaran islamofobia dalam berbagai aspek. Baik dalam bentuk studi akademis maupun melalui media-media sekuler yang mengeksploitasi dan membangun ketakutan umum masyarakat Barat terhadap Islam untuk keuntungan elektoral. Dengan narasi mendiskreditkan Islam, Barat membangun resonansi yang kuat di bidang politik. Sehingga dengan bantuan negara pembebek yang menjadi anteknya, mereka telah berupaya melahirkan seruan penyebaran Islamofobia melalui undang-undang dan kebijakan baru.

Sebagai contoh Indonesia, melalui Kementerian Agama (Kemenag), Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas langsung menanggapi dan mendukung ketetapan tanggal 15 Maret sebagai Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia. Beliau mengatakan bahwa segala bentuk prasangka dan ketakutan yang dialamatkan kepada agama harus diperangi. Salah satu di antaranya adalah segala bentuk yang mengancam kerukunan dan harmoni antarumat beragama, baik berupa gelombang prasangka, diskriminasi, ketakutan, dan ujaran kebencian terhadap Islam dan muslim. (detiknews.com 18/03/2022)

Akan tetapi di sisi yang lain, Menag justru telah merilis SE no. 5 tahun 2022 yang mengatur tentang pengaturan suara toa masjid dan musala dalam rangka mengatur volume suara azan. Sementara pengaturan untuk pengeras suara konser musik dan aktivitas lain yang sejenis, tidak mendapatkan pengaturan yang sama.

Bukankah ini salah satu bentuk diskriminasi? Selain itu Menag juga sedang berpolemik dengan komunitas muslim terkait ujaran kebencian dan penistaan agama. Menag sedang dituntut karena telah menyerupakan suara azan sebagai simbol syiar Islam dengan suara gonggongan anjing. Pernyataan Menag yang menyambut baik sekaligus mendukung ketetapan PBB tanggal 15 Maret 2022, sebagai Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia hanya sebatas lips service. Dukungan ini patut diduga mengandung unsur politik, sekadar untuk menyenangkan tuannya.

Maka sudah semestinya seluruh elemen masyarakat senantiasa waspada dan terus menggalang persatuan. Karena Barat dan sekutunya akan terus berusaha menyebarkan teror dan politik belah bambu. Sehingga perasaan dan pemikiran umat Islam teracuni oleh islamofobia. Melalui tangan putra dan putri kaum muslim umat akan didorong untuk saling benci dan berpecah belah. Sudah saatnya umat mengenal siapa kawan dan siapa lawan sehingga perjuangan akan lebih mudah untuk meraih tujuan dalam bingkai akidah dan silah ukhuwah islamiyyah. Allah SWT berfirman,

{ إِنَّمَا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ قَٰتَلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَأَخۡرَجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ وَظَٰهَرُواْ عَلَىٰٓ إِخۡرَاجِكُمۡ أَن تَوَلَّوۡهُمۡۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمۡ فَأُوْلَٰئِكَ هُمُ ٱلظَّلِمُونَ }
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawan orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu, serta membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah: 9).
Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]