Oleh: Rahmi Ummu Atsilah
Suaramubalighah.com, Opini — Salah satu tugas pokok dan terberat para ulama (termasuk mubalighah) adalah memurnikan tauhid (laa ilaha illallah, Muhammad rasulullah) dari segala bentuk kesyirikan, khurafat, dan hal lainnya yang mengotori akidah. Tugas ini semakin berat ketika proyek moderasi beragama berbasis kearifan lokal semakin gencar.
Masih lekat ingatan kita tentang sesajen di Gunung Semeru yang berbuntut panjang. Kini ritual klenik pun dilakukan dalam prosesi kenegaraan dalam proyek IKN dengan sebutan “Kendi Nusantara” pada 14 Maret 2022 lalu. Presiden Jokowi sebagai orang nomor satu di Indonesia juga melakukan prosesi pencampuran air dan tanah dari 34 provinsi Indonesia dalam Kendi Nusantara di titik nol Ibu Kota Negara atau IKN. Penggunaan nama Kendi Nusantara sebagai wadah air dan tanah merupakan simbolis wilayah Indonesia dari Aceh hingga Papua. Sedangkan air dan tanah gambaran kearifan lokal dari setiap daerah di Indonesia yang disatukan dalam Kendi Nusantara. (tempo.co, 15∕03∕2022)
Ritual kesyirikan lainnya pun dipertontonkan pada dunia dalam ritual pawang hujan dalam acara balap motor bergengsi Moto GP Sirkuit Mandalika, Lombok, yang berakhir Minggu 20 Maret 2022. Hal ini menjadi sorotan warganet, baik netizen di dalam negeri maupun dari luar negeri. Bahkan dalam sebuah wawancara, sang pawang hujan mengatakan dirinya diberi kuasa oleh Tuhan untuk mengendalikan langit dengan pengibaratan di langit ada AC besar dan pemegang remote – adalah sang pawang hujan tersebut. Na’udzubillah!
Setali tiga uang dengan ritual “Kendi Nusantara,” aktivitas tersebut dianggap sebagai khazanah kearifan lokal, yaitu pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal untuk menjawab berbagai masalah dalam memenuhi kebutuhan mereka. Dalam persoalan solusi kehidupan sering dihadapkan pada sains dan teknologi modern, sedangkan dalam pengaturan sosial dihadapkan pada agama.
Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubeidilah Badrun kepada kompas.com (13∕03∕2022), menyampaikan bahwa praktik semacam itu dalam terminologi budaya dan sosiologi politik, bisa dikategorikan sebagai politik klenik. Suatu praktik politik yang mengimplementasikan kemauan penguasa (IKN) berdasarkan imajinasi irasionalitasnya yang meyakini semacam adanya mistisisme tertentu. Hal itu adalah mengada-ngada dan diyakini mengandung pesan mistik. Praktik politik klenik menunjukkan kemunduran politik dan bertentangan dengan rasionalitas masyarakat modern. Politik modern hanya akan mengetengahkan pemerintahan modern yang meniscayakan rasionalitas dalam segenap implementasi kebijakan. (kompas.com, 14/03/2022)
Secara saintifik, tidak ada hubungan kausalitas antara aktivitas pawang dengan bergesernya atau terhentinya hujan. Demikian juga ritual Kendi Nusantara, ketua MUI Sumbar Gusrizal Gazahar menyampaikan bahwa ritual tersebut mengandung keyakinan yang tidak sesuai dengan ajaran akidah tauhid. Semua tindakan dan perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban. Tidak bisa dilokalisasi hanya dalam ranah budaya dan diterima dengan dalih dan alasan rasional apapun. (WE Online, Jakarta, 16∕03∕2022)
Dari sini jelas, bahwasanya ritual klenik (kesyirikan) dengan alasan yang kemudian dirasionalkan, baik atas nama kearifan lokal ataupun simbol keberagaman, sejatinya ialah proyek moderasi beragama yang bermuara dari akidah sekuler (memisahkan aturan dan nilai-nilai agama dalam kehidupan). Sekularisme merupakan paham yang digunakan oleh negara Barat untuk menjajah kaum muslimin secara pemikiran. Mereka telah mengembangkan pemikirannya dalam moderasi beragama.
Moderasi beragama terbukti menumbuhsuburkan kesyirikan dari mulai level rakyat hingga negara. Negara yang seharusnya memiliki peran untuk menjaga akidah umat dari penyimpangan, justru mempertontonkan praktik yang menjerumuskan kepada degradasi akidah.
Hal ini sangat berbahaya, bila rakyat kemudian berkaca dan secara meluas mempraktikkannya dengan bentuk yang berbeda-beda. Sehingga kesyirikan justru akan merajalela dengan kedok kearifan lokal dan keberagaman.
Bukan kemustahilan, hal ini dapat menghantarkan pada ketidakberkahan, bahkan mendatangkan murka dari Allah SWT, Sang Pencipta Alam. Sebab kesyirikan adalah dosa besar yang tidak diampuni. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 48,
اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا – ٤٨
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar.”
Mengingat besarnya dosa syirik, mengharuskan para pelakunya untuk segera bertobat sebelum datangnya kematian. Dalam tatanan sistem pemerintahan kita membutuhkan negara yang mampu menjalankan salah satu fungsinya, yakni menjaga akidah umat dari beragam bentuk kesyirikan. Karena sejatinya negara adalah perisai, tempat umat berlindung dari berbagai permasalahan kehidupan yang menyangkut akidah hingga sosial kemasyarakatan. Negara yang secara historis mampu merepresentasikan itu adalah Khilafah. Rasulullah saw. bersabda,
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدْلٌ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ ، وَإِنْ يَأْمُرُ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ
“Sesungguhnya imam∕khalifah adalah perisai orang-orang yang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR. Muslim). Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]