Tafsir Moderat (Maqashidi) Menjauhkan Kaum Muslimin dari Islam Kaffah

Oleh: Rohmah Rodhiyah

Suaramubalighah.com, Al-Qur’an – Upaya mempromosikan Islam moderat terus digaungkan. Untuk menghasilkan hukum-hukum dan pemikiran-pemikiran yang moderat maka dibutuhkan metode tafsir moderat atau tafsir maqashidi, yaitu sebuah metodologi untuk memahami dan menafsirkan Al-Qur’an dan hadis secara moderat.

Tafsir maqishidi itu sendiri adalah sebuah pendekatan tafsir yang mencoba menengahi dua ketegangan epistimologi tafsir antara yang tekstualis dengan yang liberalis.

Menurut Syekh Muhamad Ali ash-Shabuni, definisi tafsir adalah ilmu untuk mengetahui pemahaman yang terdapat dalam Al-Qur’an yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., menjelaskan makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmahnya. (Syekh Muhamad Ali ash-Shabuni,  Al Tibyan fi Ulumi Alquran, hlm. 65).

Tafsir merupakan bagian terpenting dari tsaqofah Islam (ilmu-ilmu Islam), yaitu pengetahuan-pengetahuan yang yang menjadikan akidah Islam sebagai dasar pembahasannya. Oleh karena itu, pembahasan tsaqofah Islam semuanya kembali kepada akidah Islam, yaitu kepada Al-Qur’an dan hadis. (Taqiyyuddin an-Nabhani, Al Syakhshiyah al-Islamiyah Juz I, bab “Tsaqofah Islamiyah”).

Karenanya, dalam menafsirkan Al-Qur’an harus sesuai Al-Qur’an dan hadis. Tidak dibenarkan jika berlandaskan selain akidah Islam, seperti berdasarkan kepada moderasi Islam.

Untuk menafsirkan Al-Qur’an membutuhkan ilmu tafsir atau metode penafsiran Al-Qur’an karena Ilmu tafsir merupakan tsaqofah Islam, yaitu salah satu cabang ilmu –ilmu Islam maka harus bersumber dari akidah Islam. Artinya, harus bersumber dari Al-Qur’an, hadis, dan sesuai Al-Qur’an-hadis.

Metode menafsirkan Al-Qur’an yang sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis meliputi: 

Pertama, tafsir bi al riwayah yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, atau dengan sabda Rasulullah, atau dengan perkataan Sahabat, sebagai penjelasan apa yang dikehendaki Allah dalam Al-Qur’an.

Dengan demikian,  tafsir bir riwayah ini adakalanya menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau menafsirkan Al-Qur’an dengan hadis atau menafsirkan Al-Qur’an dengan atsar dari para Sahabat. Tafsir ini disebut juga sebagai tafsir ma’tsur. (Syekh Muhamad Ali ash-Shabuni, Al Tibyan fi Ulumi Al-Qur’an, hlm. 67-70).

Keduatafsir bi al dirayah yaitu tafsir yang disusun dengan menyandarkan pada bahasa Arab dan berdasarkan pendapat/ijtihad. Yang dimaksud pendapat disini adalah ijtihad yang didasarkan pada kaidah ushul (kaidah penafsiran) yang sahih, kaidah-kaidah yang selamat-lurus, bukan menjadikan penafsiran berdasarkan pendapatnya yang disandarkan pada akal semata, atau sesuai dengan apa saja yang dikehendaki mufasir, atau bahkan berdasarkan hawa nafsu. Tentu tafsir seperti ini membahayakan umat Islam.

Akan tetapi, yang dimaksud ijtihad adalah upaya sungguh-sungguh menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan bahasa dan bersandarkan pada Al-Qur’an. Jadi bukan menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan pendapatnya semata atau hawa nafsunya semata.

Bahkan, banyak sekali hadis yang mengingatkan bahwa kita tidak boleh main-main dalam menafsirkan Al-Qur’an. Sekalipun, penafsiran yang bersumber dari pendapatnya itu ternyata benar maka ini tetap dinilai sebagai suatu kesalahan. (Syekh Muhamad Ali ash-Shabuni, Al Tibyan fi Ulumi Al-Qur’an, hlm. 155-156).

Rasulullah saw. bersabda,

عَنْ جُنْدَبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ

Dari Jundab ibn Abdillah berkata, Rasulullah saw. bersabda, ”Barang siapa berkata tentang Al-Qur’an (menafsirkan Al-Qur’an) dengan akalnya, ternyata benar, maka sungguh dia telah berbuat salah.” Abu Musa berkata bahwa hadis ini gharib. (HR Turmudzi dan Abu Dawud). [Hadis riwayat Turmudzi dari Jundab, kitab tafsir al Qur’an ‘an Rasulillah, bab ma ja’a fi alladzi yufassiru al Qur’ana bi al ra’yi, hadis no. 2876 dan riwayat Abu Dawud hadis no. 2167]

Berkaitan dengan tafsir maqashidi, yaitu sebuah pendekatan tafsir yang mencoba menengahi dua ketegangan epistimologi tafsir antara yang tekstualis dengan yang liberalis. Tafsir maqashidi ini sebagai basis dari moderasi Islam.

Kemudian melakukan kontekstualisasi sehingga kita bisa meraih dimensi moderasi di dalam menerapkan nilai-nilai Al-Qur’an dan hadis dalam konteks keindonesiaan yang sangat multi agama, multietnis.

Dengan mengkaji tafsir maqashidi, terdapat beberapa konsep penafsiran dalam tafsir maqashidi tidak sesuai dengan metode penafsiran Al-Qur’an yang berdasarkan Al-Qur’an dan hadis.

Ketidaksesuaian ini terdapat pada beberapa hal:

Dasar penafsiran bukan akidah Islam, tetapi moderasi Islam; tafsir maqashidi senada dengan tafsir kontekstual, tidak bisa dimasukkan dalam tafsir bi al-riwayah, karena tafsir maqashidi tidak menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau sabda Rasulullah atau perkataan Sahabat.

Di samping itu, tafsir maqashidi juga tidak termasuk tafsir bi al-dirayah, karena tafsir maqashidi tidak disusun dengan menyandarkan pada bahasa Arab dan berdasarkan pendapat/ijtihad. Yang dimaksud pendapat di sini adalah ijtihad yang didasarkan pada kaidah ushul (kaidah penafsiran) yang sahih, kaidah-kaidah yang lurus, sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis.

Misalnya, dengan memakai metode penafsiran moderat/tafsir maqashidi maka penafsiran terhadap QS Al-Maidah ayat 47 bahwa penerapan hukum Islam secara kaffah tidak wajib, karena jika diwajibkan, berarti tidak toleran terhadap agama lain padahal Indonesia itu multiagama. Bukan berarti bebas dari hukum Islam sebagaimana paham liberalisme.

Pengusung tafsir maqashidi menganggap kedua paham yang ekstrem—yaitu Islam kaffah dan Islam liberal—tidak sesuai dengan prinsip Islam moderat. Oleh karena itu, yang tepat adalah yang sesuai dengan prinsip moderat.

Hasil penafsiran moderat atau tafsir maqashidi adalah hukum Islam wajib diterapkan pada urusan kehidupan akhirat saja. Dengan kata lain, sebagian hukum saja yang berkaitan langsung dengan agama, misalnya hukum yang berkaitan dengan salat, puasa, zakat, nikah, mengurus jenazah dan haji.

Mengenai hukum yang mengatur tentang kehidupan dunia, misalnya hukum Islam yang berkaitan dengan ekonomi, politik, dan pemerintahan maka manusia berhak bersepakat untuk membuatnya atau mengambil hukum warisan Belanda atau yang lain, tanpa memperhatikan lagi apakah sesuai dengan syariat Islam atau tidak.

Dalam menafsirkan Al-Qur’an, tidak boleh mengikuti prinsip moderat atau yang lain dan melakukan pengangkangan terhadap agama Allah. Namun, dalam menafsirkan wajib tetap berdasarkan kepada Al-Qur’an dan hadis.

Misalnya dalam menafsirkan surah Al-Maidah ayat 47:

وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٤٧

Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.”

Karenanya, dengan pertimbangan tertentu (moderasi Islam), mufasir tidak boleh menafsirkan Al-Maidah ayat 47 bahwa kaum muslimin boleh mengambil dan tunduk kepada hukum kufur dalam urusan kehidupan dunia. (Taqiyyuddin an-Nabhani, Al Syakhshiyah al- Islamiyah Juz I, hlm. 298).

Hasil tafsir maqashidi QS Al-Maidah ayat 47 tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 208 tentang kewajiban menerapkan syariat Islam harus menyeluruh dan tidak boleh memilih-milih yang dinilai dibutuhkan dan relevan.

Allah mewajibkan kepada kaum muslimin untuk menerapkan syariat/aturan/hukum Islam secara menyeluruh (kaffah), yaitu mengambil seluruh pegangan/pedoman Islam dan seluruh syariat, serta menjalankan seluruh perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-Nya.

Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (208) فَإِنْ زَلَلْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْكُمُ الْبَيِّنَاتُ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (209) }

يقول تعالى آمرًا عباده المؤمنين به المصدّقين برسوله: أنْ يأخذوا بجميع عُرَى الإسلام وشرائعه، والعمل بجميع أوامره، وترك جميع زواجره ما استطاعوا من ذلك.

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah: 208).

Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang beriman kepada-Nya, membenarkan Rasul-Nya, agar mengambil seluruh pegangan Islam dan seluruh syariat, dan menjalankan seluruh perintah-Nya, serta meninggalkan seluruh larangan-Nya sesuai dengan kemampuannya. (Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Juz I, hlm. 565)

Dengan demikian, dalam menafsirkan Al-Qur’an harus tetap mengacu kepada dua sumber dalil kaum muslimin yaitu Al-Qur’an dan hadis bukan menjadikan akal/pendapatnya sebagai acuannya, apalagi hawa nafsunya. Terdapat ancaman keras bagi orang-orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapatnya/akalnya atau tidak disertai ilmu.

Dari Ibn Abbas Rasulullah saw. bersabda,

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Dari Ibn Abbas ra., Rasulullah saw. bersabda, ”Barang siapa berbicara tentang Al-Qur’an tanpa disertai ilmu, maka hendaklah bersiap-siap mengambil tempat duduknya dari api neraka.” Abu Musa berkata ini hadis hasan-shahih (HR Turmudzi). [Hadis riwayat Turmudzi dari Ibn Abbas, kitab tafsir Alqur’an ‘an Rasulillah, bab ma ja’a fi alladzi yufassiru Al Qur’an bi ar ra’yi, hadis no. 2874 dan riwayat Ahmad hadis no. 1965].

Dengan demikian, dalam menafsirkan Al-Qur’an harus berlandaskan kepada Al-Qur’an dan hadis, tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan moderasi Islam karena moderasi Islam akan menjauhkan umat dari penerapan Islam secara kaffah. Wallahu a’lam Bishshawab [SM/Stm]

Sumber: muslimahnews.net