Menghargai Budaya atau Merusak Agama Demi Moderasi Beragama?

Oleh: Najmah Saiidah

Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Moderasi beragama tidak pernah berhenti digaungkan dalam berbagai kemasan agar menarik minat umat Islam. Dalam Simposium Moderasi Beragama, Menag Yaqut mengatakan, “Moderasi beragama berakar pada budaya lokal. Jadi, penghormatan terhadap budaya lokal merupakan indikator dari konsep ini.”

Menag menjelaskan bahwa moderasi beragama bukanlah memoderasi agama, tetapi memoderasi cara umat memahami dan mengamalkan agama. Ada empat indikator seseorang dikatakan memiliki pemahaman keagamaan yang moderat, yaitu komitmen kebangsaan yang kuat, toleransi beragama, menghindari kekerasan, dan penghargaan terhadap budaya lokal.

Konsep moderasi beragama, kata Menag, dapat diterapkan dalam konteks semua bangsa karena nilai-nilai moderasi bersifat universal. Toleransi dan antikekerasan, misalnya, sangat dibutuhkan untuk meresolusi konflik. Penguatan komitmen persatuan bangsa dan penghormatan terhadap tradisi suatu bangsa juga merupakan keharusan untuk membangun kerukunan. Selanjutnya, kearifan lokal provinsi-provinsi lain di Indonesia juga bisa terus dielaborasi untuk memperkuat konsep moderasi beragama. (kemenag.go.id)

Salah Standar

Sebenarnya, kaidah relasi Islam dan budaya lokal itu sudah jelas. Islam sebagai standar, sedangkan budaya lokal adalah objek yang distandarkan. Jadi, kalau suatu budaya lokal sesuai dengan Islam, kita tidak terlarang untuk mengambilnya, semisal memakai “iket” (penutup kepala khas lelaki Sunda). Sebaliknya, jika suatu budaya lokal tidak sesuai dengan Islam, kita tidak boleh mengamalkan, misalnya mengenakan kemben bagi perempuan Jawa. Hal tersebut diharamkan karena jelas menampakkan aurat seorang muslimah.

Nah, masalahnya, Menag dan para pengusung moderasi justru memosisikan budaya lokal sebagai standar; sebaliknya, ajaran Islam menjadi objek yang distandarkan, yakni Islam harus tunduk dan kalah di bawah budaya lokal.

Inilah sesungguhnya kekeliruan yang nyata dan fatal sehingga tidak bisa kita terima. Ini karena ajaran Islam harus diposisikan sebagai furqân (pembeda antara hak dan batil) bagi budaya lokal. Akan tetapi, penganut moderasi justru membalikkan posisi budaya lokal sehingga menjadi furqân, yakni standar atau tolok ukur menilai ajaran Islam. Jelas ini merupakan penyimpangan!

Dengan demikian, inilah salah satu bahaya yang harus umat pahami. Atas nama moderasi beragama, keyakinan pada ajaran agama dan ketaatan pada syariatnya harus tunduk dengan budaya lokal. Umat dipaksa membiarkan sesuatu yang bertentangan dengan agamanya.

Kedudukan Budaya dalam Pandangan Islam

Adat istiadat atau budaya (bahasa Arab: al-‘adat atau al-‘urf) adalah produk pemikiran. Tidak dalam bentuk materi, melainkan nonmateri. Oleh karenanya, adat/budaya adalah bagian dari hadharah (peradaban), bukan madaniyah (produk materi).

Sebagai produk pemikiran, adat/budaya lahir dari akidah tertentu. Sebab itu, ketika suatu budaya bertentangan atau tidak sesuai dengan syariat Islam, budaya tersebut lahir dari akidah lain, bukan dari akidah Islam. Misalnya, sesajen yang beberapa waktu lalu ramai diperbincangkan, ini termasuk budaya yang bertentangan dengan Islam. Alhasil, umat Islam tidak boleh mengambilnya.

Memang ada sebagian fukaha menjadikan adat/budaya sebagai dalil. Alasannya karena Allah SWT memerintahkan,

خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ

“Jadilah pemaaf, suruhlah orang mengerjakan yang makruf, dan jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS Al-A’raf: 199)

Mereka menggunakan frasa “wa’mur bi al-urf” (suruhlah mengerjakan berdasarkan kebiasaan) sebagai justifikasi. Padahal, klaim ini justru keliru. Jika kita mendalami ayat ini, sebenarnya tidak ada relevansinya dengan adat/budaya.

Ayat tersebut merupakan Ayat Makkiyah yang diturunkan sebelum Nabi saw. hijrah ke Madinah. Makna ayat ini adalah, “Ambillah perbuatan, akhlak masyarakat, dan apa saja yang datang dari mereka yang dibenarkan untukmu (Muhammad). Kamu pun mudah berinteraksi dengan mereka, tanpa beban. Kamu tidak meminta jerih payah dari mereka dan apa saja yang bisa memberatkan mereka sehingga mereka lari.”

Mengenai perintah “wa’mur bi al-‘urfi” maknanya adalah wa’mur biljamili minal af’aal (perintahkanlah perbuatan baik). Konotasi ‘urf di sini adalah al-ma’rûf (perbuatan yang terpuji). (an-Nabhani, Syekh Taqiyuddin. Ash-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah. Juz 3).

Di samping itu, adat/budaya tidak memiliki akar (ushûl), baik dalam Al-Qur’an, Sunah, maupun ijmak sahabat. Oleh karenanya, adat/budaya sama sekali tidak bernilai sebagai dalil syariat. Hal apa pun tidak diakui sebagai dalil syariat kecuali dinyatakan oleh nas Al-Qur’an dan Sunah.

Lebih dari itu, ‘urf atau budaya adalah perbuatan yang dilakukan terus-menerus. Telah kita pahami bersama bahwa semua perbuatan—apa pun bentuknya—harus kita laksanakan berdasarkan syariat Islam. Setiap muslim wajib melaksanakan perbuatannya mengikuti perintah dan larangan Allah SWT.

Artinya, syariat Islam wajib menjadi patokan adat/budaya, bukan sebaliknya. Dengan demikian, adat/budaya tidak bisa menjadi dalil maupun kaidah syariat.

Bagaimana Seorang Muslim Bersikap terhadap Budaya?

Posisi adat/budaya telah sangat jelas dalam pandangan Islam. Tidak dapat kita mungkiri terkadang adat/budaya di tengah masyarakat kita ada yang menyalahi syariat, ada juga yang tidak.

Nah, jika adat/budaya tersebut menyalahi syariat, syariat datang untuk membersihkan atau mengubahnya. Contoh yang sangat nyata adalah budaya pada masa Jahiliah, yakni membunuh atau mengubur anak perempuan hidup-hidup. Ketika Islam datang, perbuatan ini pun dicela dan Allah melarangnya. 

Allah SWT berfirman dalam QS At-Takwir: 8—9,

وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ * بِأيّ ذَنْبٍ قُتلَتْ

“Dan tatkala bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah ia dibunuh?”

Di antara tugas syariat adalah mengubah adat/budaya rusak, bukan memeliharanya. Sedangkan jika adat/budaya tersebut tidak menyalahi syariat, hukumnya ditetapkan berdasarkan dalil dan ilat syariat, bukan berdasarkan budaya tersebut. Syariatlah yang menjadi patokan adat/budaya, bukan sebaliknya.

Dengan demikian, jika adat/budaya tidak bertentangan dengan akidah dan hukum Islam, boleh saja untuk kita ambil dan amalkan. Sebaliknya, adat/budaya yang bertentangan dengan Islam dan/atau lahir dari akidah serta hukum non-Islam, Allah SWT melarang kaum muslim untuk mengambil maupun menerapkannya.

Allah SWT berfirman dalam QS Ali Imran: 85,

وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

“Barang siapa mencari din (agama dan sistem hidup) selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima apa pun darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”

Nabi saw. pun bersabda, “Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan agama kami ini yang tidak ada dasar darinya, maka itu tertolak.” (HR Bukhari dan Muslim)

Jangan Mudah Dijebak

Demikianlah cara Islam memandang adat/budaya. Jika suatu adat/budaya tidak bertentangan dengan Islam, kita diperbolehkan untuk mengambil atau menerapkannya.

Hanya saja, harus kita pahami, ketika kita mengambil atau menerapkannya, ini bukan karena didasari budaya itu sendiri, melainkan didasari dalil syara’, yaitu Al-Qur’an, Sunah, dan/atau ijmak sahabat karena budaya bukan dalil syara’.

Dengan bekal pemahaman inilah, sudah selayaknya umat Islam waspada terhadap pernyataan Menag, “Moderasi beragama berakar pada budaya lokal. Jadi, penghormatan terhadap budaya lokal merupakan indikator dari konsep ini (moderasi).”

Pernyataan ini cukup jelas memperlihatkan bagaimana sang Menag memosisikan syariat. Sepintas lalu seolah tampak bahwa seseorang dinilai negatif ketika tidak menghargai budaya lokal dan sebaliknya dituntut untuk menghormati budaya lokal. Padahal, belum tentu budaya lokal itu sesuai Islam. Kalaupun tidak bertentangan dengan Islam, tetap saja syariat Islam yang harus menjadi pijakan atau standar, bukan budaya tersebut.

Umat Islam harus hati-hati dengan jebakan ini. Umat Islam sedang digiring untuk sedikit demi sedikit menjauh dari syariat Islam dengan mengatasnamakan budaya lokal yang dibungkus rapi dalam kemasan moderasi beragama. Na’udzubillaahi min dzalik!

Terlebih jika kita telusuri lebih jauh terkait indikator konsep moderasi beragama, yaitu komitmen kebangsaan yang kuat, toleransi beragama, menghindari kekerasan, dan penghargaan terhadap budaya lokal. Kita bisa melihat bahwa konsep moderasi beragama tidak sejalan dengan Islam.

Konsep toleransi beragama yang diusung pun merupakan toleransi kebablasan karena berawal dari pemahaman dasarnya, yakni ‘semua agama benar dan semua agama sama’. Padahal, hal ini jelas bertentangan dengan nas Al-Qur’an (lihat QS Ali-Imran: 19 dan 85).

Khatimah

Makin jelas bahwa konsep moderasi beragama sebagaimana digembar-gemborkan saat ini—termasuk oleh Menag dan jajarannya—tidak dikenal dalam Islam. Demikian halnya terkait adat/budaya, termasuk budaya lokal, sesungguhnya Islam telah memberikan penjelasan sangat terperinci bahwa umat Islam tidak dilarang untuk menerapkan budaya di daerahnya selama tidak bertentangan dengan Islam. Ketika pun kita mengambilnya, bukan karena budaya itu sendiri, tetapi karena syariat Islam telah mengaturnya.

Walhasil, sudah seharusnya umat Islam berhati-hati terhadap jebakan yang tampaknya membela Islam, tetapi sesungguhnya makin menjauhkan umat dari pemahaman Islam yang benar.

Jebakan ini menyuntikkan racun pemikiran ke dalam berbagai pemikiran Islam sehingga Islam jadi terdistorsi. Islam menjadi tidak murni lagi, tetapi sudah terasuki pemikiran dan ide yang tidak sesuai Islam. Bahkan, ide-ide tersebut tidak sekadar disuntikkan ke dalam Islam, melainkan telah menjadi standar untuk menerima atau menolak ajaran Islam.

Hanya dengan bersungguh-sungguh belajar dan mengkaji Islam kaffah, umat Islam akan makin paham tentang Islam yang benar. Dengan begitu, umat tidak mudah terkecoh atau terjebak tipu daya orang-orang yang hendak menjauhkan umat dari pemikiran Islam yang lurus. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Stm]

Sumber: muslimahnews.net