Menghormati yang Berpuasa atau yang Tidak Berpuasa?

  • Opini

Suaramubalighah.com, Opini — Ramadan adalah bulan suci penuh berkah. Amal saleh yang dilaksanakan di dalamnya pun dilipatgandakan pahalanya oleh Allah SWT. Tanggal 17 Ramadan tahun pertama kenabian, Al-Qur’an diturunkan saat bulan suci ini. Allah menjadikan satu malamnya sebagai Lailatulqadar, yakni nilainya lebih baik daripada seribu bulan.

Sebelum ditetapkannya Ramadan sebagai bulan puasa, menurut Ibn Abbas, kaum muslim sudah diperintahkan berpuasa tiap bulan selama tiga hari dan satu hari Asyura. Setelah itu, kewajiban ini dihapus, kemudian diganti dengan puasa sebulan penuh, yaitu saat Ramadan (Lihat, Al-Qurthubi, Al-Jami li Ahkam Al-Qur’an, Tafsir QS 2: 185).

Pada bulan suci ini, umat Islam berlomba-lomba memberikan amalan terbaiknya di hadapan Allah SWT. Namun, sangat disayangkan, ada segelintir oknum yang justru memanfaatkan momen bulan mulia ini untuk menyebarkan pemikiran liberalnya dan hal ini selalu berulang.

Sebuah anjuran nyeleneh datang dari mereka yang mengimbau umat Islam menghormati orang yang tidak berpuasa, tidak boleh ada razia orang-orang yang lagi makan di warung-warung saat siang hari, dan menganggap penertiban warung-warung makan yang buka tengah hari sebagai bentuk kezaliman.

Banyak yang mencibir sikap mereka seperti itu, tetapi tidak sedikit yang mendukung. Sikap moderat menjadi alasan untuk bersikap toleran tanpa batas kepada siapa pun, bahkan tanpa merasa bersalah keluar dari syariat Islam.

Dengan jargon toleransi dan moderasi juga, makin banyak orang yang makin cuek dengan sekitarnya. Apabila banyak terlihat orang yang tidak berpuasa, entah segan menegur ataukah tidak mau ribut, yang pasti suasana Ramadan makin kehilangan “ruh-nya”.

Sungguh, hal ini berbanding terbalik dengan suasana Ramadan pada era kekhalifahan Islam. Suasana malam hari saat Ramadan, kaum muslim melakukan shalat Tarawih di masjid-masjid secara berjemaah. Di ibu kota, khalifah biasanya memimpin langsung shalat tersebut. Malam itu pun menjadi malam penuh berkah.

Pada malam penuh berkah itu, umat Islam tidak seperti malam biasanya. Mereka menghidupkan malam-malamnya dengan memperbanyak zikir, membaca Al-Qur’an, dan mengadakan berbagai halakah (حَلْقَةٌ).

Setelah melewati larut malam, menjelang subuh, mereka bangun untuk melakukan sunah sahur. Sahur ini pun di dalamnya mengandung banyak keberkahan, kata Nabi saw.. Oleh karena itu, waktu sahur tidak pernah terlewatkan begitu saja, kecuali akan mereka gunakan sebaik-baiknya.

Setelah mengambil sahur secukupnya, mereka tidak tidur, tetapi menghidupkan malam-malamnya dengan memperbanyak zikir, membaca Al-Qur’an, dan qiyam al-lail, sebagaimana dituturkan oleh Ibnu ‘Umar.

Tentu tidak kalah semaraknya pada siang hari. Suasana ibadah tampak khusyuk. Tidak ada orang makan, minum, merokok, ataupun aktivitas yang bisa membatalkan puasa terlihat di publik, meski nonmuslim atau musafir yang tidak sedang berpuasa sekalipun. Semuanya menghormati umat Islam yang sedang berpuasa.

Puasa pun menjadi siar yang tidak hanya ditampakkan muslim, tetapi juga nonmuslim. Bukan sebaliknya, orang berpuasa malah diminta menghormati orang yang tidak berpuasa,

Demikianlah, suasana pada saat itu sangat kental dengan fastabiqul khairat, semuanya berlomba menjaring amal saleh sebanyak-banyaknya, bukan malah memamerkan maksiat dengan bangga.

Sungguh suasana seperti itu tidak mustahil bisa kembali kita rasakan jika kesadaran untuk mengembalikan Khilafah Islamiah tumbuh dalam jiwa dan pikiran umat Islam; kesadaran untuk mewujudkan sistem hidup terbaik yang mampu menerapkan syariat Islam kaffah yang tercurah keberkahan dari langit dan bumi bagi umat Islam. Wallahu a’lam Bishshawab. [SM/Stm]

Sumber:muslimahnews.net