Oleh: K.H. Rokhmat S. Labib
وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ ﴿٤٨﴾ وَإِنْ يَكُنْ لَهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ ﴿٤٩﴾أَفِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ ۚ بَلْ أُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴿٥٠﴾ ٠
“Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku dzalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS An-Nur [4]: 48-50).
Suaramubalighah.com, Al-Qur’an – Di antara ciri orang munafik adalah kerasnya penolakan mereka terhadap penerapan syariat. Cukup banyak ayat Al-Quran yang menggambarkan sikap demikian. Di antaranya adalah QS An-Nur [24]: 48-50.
Menolak Syariat
Allah SWT berfirman,
وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ
“Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul mengadili di antara mereka”
Kata ganti mereka pada kata du’û merujuk kepada ayat sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya diberitakan mengenai orang-orang yang menyatakan diri mereka sebagai orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan Rasul saw., serta bersikap taat. Sehingga, sebagaimana dikatakan al-Alusi, ‘mereka yang dipanggil’ di sini mencakup semua orang yang mengaku beriman, baik mukmin maupun munafik.
Panggilan kepada Allah dan Rasul-Nya dalam ayat ini bermakna panggilan kepada Kitab-Nya dan Rasul-Nya. Sehingga, frasa idzâ du’û ilâLlâh wa rasûlih bermakna idzâ du’û ilâ KitâbiLlâh wa Rasûlih (jika mereka dipanggil kepada Kitab Allah dan Rasul-Nya). Demikian penjelasan al-Thabari dan al-Baghawi dalam tafsir mereka. Bisa pula bermakna Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw sebagaimana diuturkan al-Qinuji dan al-Qasimi.
Dhamîr ghâib (kata ganti orang ketiga) pada kata liyahkuma kembali kepada Rasulullah saw. Sebab, kata al-Syaukani dalam Fath al-Qadîr, beliaulah yang secara langsung menetapkan keputusan hukum, kendati pada hakikatnya hukum yang diterapkan adalah milik Allah.
Ayat ini menceritakan, kendati pada awalnya mereka semua mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta bersedia untuk taat, namun ketika mereka diseru untuk memutuskan perkara sikap di antara mereka dengan syariah, tidak semua menyanggupinya. Ada sebagian dari mereka yang menolak dan berpaling. Allah SWT berfirman,
إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ
“Tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang”
Menurut al-Thabari, maksud dari mu’ridhûn (berpaling atau menolak) di sini adalah berpaling dari menerima kebenaran dan ridha terhadap hukum Rasulullah saw. Atau dengan kata lain, mereka menolak untuk berhukum dengan syariat.
Frasa farîq[un] minhum (sebagian dari mereka) menunjukkan bahwa tidak semua orang yang menyatakan beriman itu bersikap demikian. Kelompok yang berpaling itulah yang ditegaskan dalam ayat sebelumnya bukan orang mukmin:
Sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang mukmin.
Jika mereka bukan mukmin, berarti kafir. Sebab, dalam aqidah, hanya ada dua alternatif: mukmin atau kafir (lihat QS At-Taghabun [4]: 2). Oleh karena mereka mengaku dan berlagak sebagai Mukmin, namun sejatinya kafir, maka mereka tergolong sebagai munafik. Sebagai bukti bahwa mereka bukan mukmin adalah sikap penolakan mereka terhadap syariat. Padahal, aqidah Islam meniscayakan penerimaan dan ketundukan total terhadap syariat-Nya (lihat QS An-Nisa’ [4]: 65).
Di samping ayat ini, penolakan kaum munafik terhadap syariat juga digambarkan dalam banyak lainnya. Seperti dalam firman Allah SWT,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
“Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu” (QS An-Nisa’ [4]: 61).
Diskriminatif terhadap Syariat
Sebagaimana telah terpapar, sikap dasar kaum munafik itu adalah menolak syariat. Jika suatu saat mereka terlihat bersedia tunduk terhadap keputusan syariat, bukan berarti mereka telah berubah sikap. Namun ketundukan mereka disebabkan karena kesuaian mereka dengan keputusan syariat. Sikap itu dideskripsikan dalam ayat selanjutnya. Allah berfirman,
وَإِنْ يَكُنْ لَهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ
“Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh)”
Kata lahum al-haqq berarti hak buat mereka. Sementara kata mud’inîn, menurut al-Thabari berarti tunduk kepada hukumnya, membenarkannya, dan tanpa tanpa paksaan. Al-Zujjaj, sebagaimana dikutip al-Syaukani, mengartikannya sebagai bersegera untuk taat. Dengan demikian, frasa ini memberikan makna: apabila seruan kepada syariat itu menguntungkan mereka, maka mereka bersedia tunduk datang kepada Rasulullah saw atau keputusan syariat. Sebaliknya, demikian kata Ibnu Katsir, jika keputusan itu merugikan mereka, maka mereka segera berpaling dan mengajak kepada selain yang haq dan bertahkim kepada selain Rasulullah saw. Hal itu disebabkan karena ketundukan mereka tidak didasarkan kepada keyakinan bahwa keputusan syariat itu benar, namun karena kesesuaiannya dengan hawa nafsu mereka. Sehingga jika keputusannya bertabrakan dengan hawa nafsunya, mereka menolak dan berpaling kepada yang lain.
Jelaslah bahwa menolak syariat merupakan sikap dasar kaum munafik. Kalaupun mereka mau menerima, sikapnya amat diskriminatif. Ada hukum-hukum yang diterima, dan ada yang ditolak. Penetapan atasnya ditentukan oleh selera hawa nafsu dan kepentingannya. Jika cocok dengan selera hawa nafsu dan kepentingannya, mereka bersedia mengambilnya. Sebaliknya, jika bertentangan dengan selera dan kepentingannya, sudah pasti akan ditinggalkan. Bahkan, tak menutup kemungkinan mereka mencerca dan menistakannya.
Sikap tersebut jelas berbeda dengan sikap kaum mukmin. Kaum mukmin tidak pernah menolak syariat, apa pun keputusannya. Apakah menguntungkan diri mereka atau tidak, mereka tetap tunduk dan patuh terhadapnya. Bagi mereka, ketetapan syariah pasti benar dan wajib diterima. Sikap itu digembarkan dalam firman Allah SWT,
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan.” “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (TQS An-Nur [24]: 51).
Hatinya Sakit, Ragu, atau zalim
Penolakan mereka terhadap syariat itu muncul bukan tanpa sebab. Sikap itu disebabkan karena dalam hati mereka terdapat penyakit. Allah SWT berfirman,
أَفِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَمِ
“Apakah itu (karena) dalam hati mereka ada penyakit”?
Sebagaimana dinyatakan al-Baghawi, istifhâm (kalimat tanya) dalam ayat ini mengandung makna celaan terhadap mereka. Artinya, dalam hati mereka benar-benar terjangkit penyakit. Menurut al-Razi, penyakit di dalam hati mereka itu adalah kemunafikan. Keberadaan penyakit dalam hati kaum munafik ini juga dikemukakan dalam beberapa ayat, seperti dalam firman Allah SWT,
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta (QS Al-Baqarah [2]: 10).
Allah SWT berfirman,
ارْتَابُوا
“Atau (karena) mereka ragu-ragu”?
Termasuk menjadi penyebab sikap mereka adalah karena ada keraguan dalam hati mereka. Tentang ini, juga diberitakan dalam firman Allah SWT,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah ‘alâ harf (dengan berada di tepi); maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, an jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat”. (QS al-Hajj [22]: 11).
Makna frasa ‘alâ harf (berada di tepi) dalam ayat ini menurut Mujahid adalah ‘alâ syakk (dalam keraguan).
Allah SWT berfirman,
أَمْ يَخَافُونَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ ۚ
“Ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka”?
Ini juga menjadi penyebab lainnya sikap mereka. Mereka amat takut jika keputusan syariat itu merugikan kepentingan mereka. Sebagai orang kafir, tentu saja banyak sekali selera mereka yang bertentangan dengan syariat. Riba, zina, miras, korupsi, dan berbagai larangan syariat amat mungkin menjadi kegemaran mereka.
Sebaliknya, shalat, zakat, puasa, dakwah, jihad, dan berbagai kewajiban syariat lainnnya dirasakan mereka amat memberatkan. Mereka pun menuduh semua ketetapan hukum itu menzalimi mereka; dan oleh karenanya mereka pun menolak ketentuan itu.
Tuduhan itu jelas salah. Seluruh hukum-Nya pasti benar dan adil (lihat QS Al-An’am [6]: 115). Allah SWT juga sama sekali tidak pernah menzalimi hamba-Nya (lihat QS Ali Imron [3]: 182, Al-Anfal [8]: 51). Jika demikian, maka sesungguhnya bukan Allah SWT dan Rasul-Nya yang zalim, namun merekalah yang justru orang yang zalim. Allah SWT berfirman,
بَلْ أُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ٠
“Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim”
Sebagaimana ditegaskan dalam QS Al-Maidah [5]: 45, orang-orang yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan-Nya, adalah orang-orang zalim. Demikian juga kekafiran mereka. Sesungguhnya kemusyrikan adalah kezaliman yang amat besar (lihat QS Luqman [31]: 13).
Sungguh sangat disayangkan, ciri-ciri orang munafik ini sekarang banyak dijumpai di tengah kita. Meskipun mengaku muslim, namun bagi mereka penerapan syariat menjadi momok menakutkan yang harus dijauhi. Berbagai propaganda pun mereka lancarkan untuk meredupkan perjuangan syariat. Tanpa takut dosa, mereka selalu bersikap nyinyir dan negatif terhadap syariat. Di antara mereka, misalnya, ada yang mengatakan bahwa jika Islam diterapkan maka kalangan miskin dan wanita menjadi korban pertamanya. Ada pula yang menyatakan, penerapan syariat dalam kehidupan modern hanya akan membalik sejarah ke zaman unta. Kalau hendak diterapkan, maka cukup nilai-nilainya saja. Dan masih banyak lontaran yang memerahkan telinga kaum mukmin.
Semoga kita dijauhkan dari sifat ini, Jika menemui orang-orang yang memiliki sifat ini, nasihatilah jika bisa. Jika tidak, waspada dan berhati-hatilah terhadap mereka.
Wallahu a’lam Bishshawab. (SM/Stm)
Sumber: tsaqofah.id