Waspadai Islamofobia dalam RUU Sisdiknas

  • Opini

Oleh: Mahganipatra

Suaramubalighah.com, Opini — Sejak dilakukan uji publik revisi Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang tidak mencantumkan kata madrasah, telah menuai banyak kritik dan protes dari berbagai pihak. Walaupun Mendikbudristek Nadiem Makarim beserta Menag Yaqut Cholil Qoumas telah turun tangan untuk menjelaskan folemik ini. Namun sebagian pihak yang terkait, telah terlanjur menduga bahwa penghapusan kata madrasah merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk melemahkan keberadaan madrasah dengan menghapus legal standing madrasah sebagai lembaga pendidikan formal di negeri ini.(liputan6.com, 31/3/2022)

Tentu dugaan ini bukan tanpa alasan, mengingat bahwa pemerintah selama ini telah banyak membuat kebijakan yang dinilai merugikan umat Islam dan memicu munculnya Islamofobia di tengah-tengah masyarakat. Sehingga RUU Sisdiknas yang telah menghapus prasa madrasah, dianggap sebagai bentuk i’tikad tidak baik pemerintah terhadap keberlangsungan lembaga pendidikan madrasah. Padahal sejak ratusan tahun lalu, lembaga pendidikan madrasah sudah di kenal di negeri ini. Lembaga pendidikan ini pertama kali dibangun atas dasar swadaya masyarakat sebagai bentuk kepedulian serta kesadaran masyarakat terhadap pentingnya peran pendidikan.

Di masa awal berdirinya, madrasah identik dengan masjid. Kemudian berkembang dalam sistem khanqah masjid atau penginapan para santri (pondok pesantren). Hingga akhirnya madrasah menjadi institusi yang berdiri sendiri sebagai lembaga pendidikan formal. Madrasah pertama kali dibangun di Sumatera tahun 1908. Kemudian menyebar ke berbagai pelosok seperti, Jawa, Padang Panjang,Jambi dan lain-lain.

Madrasah terus mengalami perkembangan dan lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan ilmu- ilmu keislaman, seperti fiqih, akidah, akhlak, tafsir Al-Quran dan hadis serta tsaqofah Islam lainnya. Selain itu selama keberadaannya di tengah-tengah masyarakat, madrasah telah menunjukkan perannya yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan karakter generasi bangsa ini.

Bahkan di era penjajahan Belanda lembaga pendidikan ini telah menimbulkan keresahan sekaligus dianggap sebagai ancaman bagi penjajahan Belanda. Karena kemampuan madrasah dalam merealisasikan peran dan fungsinya sebagai lembaga pendidikan yang bertugas mencerdaskan umat dalam membentengi moral generasi. Serta mendidik masyarakat agar memahami nilai-nilai serta ajaran agama Islam yang bersifat spiritual dan politik. Sehingga dari lembaga ini muncul para ulama dan cendikia muslim yang terjun langsung ke masyarakat untuk menentang dan mengusir penjajah Belanda.

Selanjutnya, untuk menghadang perlawanan dan kebangkitan umat, kemudian Belanda membuat aturan yang menetapkan madrasah sebagai “sekolah liar” yang dibatasi dan diawasi/dilarang dalam setiap aktivitasnya.

Jadi, jika kita menilik pada sejarah bangsa ini, sesungguhnya madrasah telah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap lahirnya semangat perjuangan untuk membebaskan negeri ini dari penjajah Belanda. Sayangnya para pemangku kebijakan negeri ini telah melupakan sejarah. Lembaga pendidikan madrasah kini justru diabaikan. Bahkan Kemendikbud telah menghapus kata madrasah dalam RUU Sisdiknas. Adakah tujuan lain dibalik penghapusan kata madrasah?

RUU Sisdiknas Cermin Pendidikan Sekuler Melahirkan Islamofobia

Uji materil draft revisi RUU Sisdiknas yang diajukan kepada publik telah menghapus kata madrasah. Hal ini dianggap sebagai bentuk upaya pemerintah mereduksi sistem pendidikan yang telah ada. Dengan tujuan untuk mengokohkan program temporer Kemendikbud yang berorientasi pada pencapaian yang bersifat materi dan mengacu pada penyediaan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh korporasi.

Selain itu, hilangnya kata madrasah pada batang tubuh RUU Sisdiknas juga dianggap akan melahirkan sikap dan pandangan dualisme peran pendidikan. Dengan memisahkan pendidikan agama dari pendidikan formal akan memicu sikap abai pemerintah pada pembentukan karakter generasi yang berdasarkan agama.

Sehingga cita-cita pendidikan bangsa ini yang bertujuan untuk membentuk karakter generasi bangsa berdasarkan iman dan takwa akan semakin sulit diraih. Mengingat sistem pendidikan saat ini menerapkan sistem pendidikan sekuler sebagai peta jalan pendidikan, sehingga cenderung melahirkan generasi yang berkarakter makin sekuler.

Oleh karena itu, sangat penting bagi para tokoh mubalighah untuk mengingatkan pemerintah dan masyarakat terhadap tujuan dan cita-cita utama pendidikan yang harus diwujudkan. Yaitu mengembalikan fitrah generasi pada spirit dan paradigma Islam agar tetap menjadi muslim yang taat kepada Allah SWT di tengah-tengah gempuran budaya sekuler liberal, yang telah menumbuhsuburkan Islamofobia serta menghadang kebangkitan Islam menuju umat terbaik di alam semesta ini.

Para tokoh mubalighah harus terus berupaya menjadi ‘uyunul ummah yang terus berusaha menjadi mercusuar umat. Untuk membimbing penguasa dan umat meraih keberhasilan pendidikan. Sebab keberhasilan pendidikan sebuah negara tergantung kepada sistem pendidikan yang diterapkan. Apalagi di negeri ini masyarakatnya adalah mayoritas muslim. Sudah selayaknya sistem yang di terapkan adalah sistem pendidikan Islam. Yang telah terbukti sejak jaman Rasulullah saw. sampai masa kegemilangannya di masa kekhilafahan Abbasyiah telah mampu mewujudkan tujuan dan cita-cita pendidikan berdasarkan tujuan keagamaan. Yang menjadikan aktivitas mengajar dan belajar semata-mata karena Allah dan mengharapkan keridaan Allah SWT. Sehingga gelar umat terbaik yang Allah SWT sematkan kepada umat Islam akan segera terwujud. Allah SWT berfirman di dalam surat Ali Imran ayat 110,

{ كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ وَلَوۡ ءَامَنَ أَهۡلُ ٱلۡكِتَٰبِ لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۚ مِّنۡهُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَأَكۡثَرُهُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ }

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik (QS. Ali ‘Imran: 110). Wallahu a’lam bishshawab. (SM/Stm)