Lima Bantahan terhadap Pernyataan Menko Polhukam tentang Haram Mendirikan Pemerintahan seperti Nabi

  • Opini

Suaramubalighah.com, Opini — Pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang menyebut haram hukumnya mendirikan sebuah negara seperti yang dibentuk Nabi Muhammad saw. mendapat respons yang cukup luas.

Salah satunya dari pakar hukum fikih kontemporer K.H. Shiddiq al-Jawi yang membantah pernyataan tersebut dalam “Khilafah Hukumnya Wajib, Bukan Haram” di kanal Ngaji Shubuh, Kamis (7/4/2022).

Menurutnya, paling tidak ada lima bantahan. “Pertama. Memang benar setelah Nabi saw. wafat, wahyu tidak diturunkan lagi. Tetapi tidak berarti kita kehilangan bimbingan wahyu karena wahyu sudah terbukukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunah,” jelasnya.

Ia mempertanyakan apakah setelah Nabi saw. meninggal, wahyu yang telah turun kepada Nabi saw. lalu lenyap, tidak berbekas sehingga umat Islam kehilangan bimbingan wahyu?

“Jelas tidak. Al-Qur’an dan As-Sunah itulah sekarang wahyu yang membimbing kita hingga Hari Kiamat. Bukan wahyu yang seperti yang diturunkan secara langsung oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi saw.,” ujarnya.

Rasulullah sendiri yang berpesan, lanjutnya, bahwa pedoman umat setelah Beliau meninggal (satelah wahyu langit terputus) agar tidak tersesat selama-lamanya adalah Kitabullah dan Sunah Nabi-Nya.

Kedua, ia menyebutkan, memang benar banyak hal-hal baru (kontemporer) yang terjadi setelah Nabi saw. meninggal dunia, sementara wahyu tidak diturunkan lagi.

“Namun, tidak berarti kita tidak bisa memberikan solusi terhadap hal-hal baru tersebut berdasarkan wahyu Allah. Ini dilakukan melalui ijtihad oleh para mujtahid dengan merujuk kepada wahyu yang terbukukan, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunah. Rasulullah sendirilah yang mensyariatkan adanya ijtihad,” ungkapnya.

Ketiga, ia menegaskan, pendapat bahwa Khilafah (pemerintahan ala Nabi) haram hukumnya justru bertentangan dengan perintah Rasulullah untuk mengikuti bentuk pemerintahan yang dicontohkan Rasulullah dan dilanjutkan Khulafaurasyidin, yakni Khilafah.

“Bahkan, Rasulullah bersabda sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud bahwa barang siapa hidup di antara kamu, maka akan melihat perselisihan yang banyak. Karenanya, hendaklah berpegang dengan sunahku dan sunah Khulafaurasyidin,” terangnya.  

Khilafah Wajib

Ia menuturkan, hadis ini menunjukkan wajibnya meneladani sunah Khulafaurasyidin, di antaranya mengangkat seorang khalifah. “Sebagaimana diriwayatkan secara mutawatir bahwa para sahabat telah mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah setelah wafatnya Rasulullah,” urainya.

Keempat, imbuhnya, andaikan benar, haram hukumnya Khilafah dengan dalih wahyu sudah tidak turun lagi, maka akan berkonsekuensi sangat serius.

“Ini akan membuka peluang adanya tuduhan bahwa khalifah-khalifah yang sudah dijamin Surga oleh Nabi saw. itu telah berbuat dosa dan keharaman lantaran menjalankan sistem Khilafah yang dicontohkan Nabi saw.,” cetusnya.

Kelima, sebutnya, pendapat yang mengharamkan Khilafah sangat bertentangan dengan pendapat para ulama yang terpercaya di kalangan umat Islam, yang justru mewajibkan Khilafah.

“Imam Al-Qurthubi mengatakan bahwa pendapat yang menolak wajibnya Khilafah merupakan pendapat orang yang tuli dari syariat Islam,” ungkapnya.

Cukup Berbahaya

Hal senada diungkap peneliti balaghah Al-Qur’an dan hadis Ustaz Irfan Abu Naveed dalam “Pemerintahan ala Nabi, Haramkah?” di kanal Peradaban Islam, Kamis (7/4/2022).  

Ia menilai, pernyataan Menkopolhukam merupakan pernyataan yang cukup berbahaya karena mengaburkan hakikat kewajiban meneladani Nabi Muhammad dalam mengatur urusan bernegara.

“Pernyataan tersebut menunjukkan intisari pemahaman sekularistik bahwa agama tidak boleh mencampuri urusan negara. Pemahaman ini jelas sangat bertentangan dengan akidah dan syariat Islam,” tegasnya.

Selanjutnya, ia menyampaikan seseorang tidak boleh menyatakan suatu perkara itu halal dan haram, kecuali atas dasar ilmu yang berasal dari Al-Qur’an, Sunah, ijmak, atau qiyas.

“Padahal, pemerintahan atau al-hukm adalah ikatan Islam yang disandingkan dengan shalat sehingga menunjukkan wajibnya pemerintahan atau konsepsi baku. Yang dimaksud al-hukm sendiri adalah kekuasaan yang berjalan di atas landasan Islam,” jelasnya.

Ia menukil pernyataan Imam Abu Ishaq asy-Syathibi yang mengatakan bahwa telah pasti Nabi saw. tidak wafat hingga datang menjelaskan segala hal yang dibutuhkan berkenaan dengan urusan agama dan dunia. “Tidak ada dari kalangan ahlu sunah yang menyelisihi hal ini,” tukasnya.

Ia pun melontarkan pertanyaan retorik. “Lalu sunah siapa yang mau kita ikuti dalam urusan bernegara? Tentu saja sunah Nabi saw.. Kalau kemudian mengikuti sunah Nabi saw. diharamkan, pertanyaannya, ajaran siapa yang perlu diteladani? Montesque? John Locke? Padahal itu yang dicela Nabi saw. ketika umat Islam mengambil sunah di luar ajaran Islam, termasuk urusan bernegara,” cetusnya. 

Karenanya, ia menekankan, umat harus memiliki pemahaman politik ke mana muara arah pernyataan tersebut, apa dampaknya, dan bagaimana cara mengkritisnya. “Karena seperti sebelum-sebelumnya, ini upaya menstigma negatif Khilafah,” tandasnya. [SM/Stm]

Sumber: muslimahnews.net