People Power Bukan Jalan Perubahan Hakiki

Oleh: Asma Amnina

Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Berpikir perubahan adalah fitrah pada manusia.  Tuntutan perubahan akan muncul ketika umat mengindera banyaknya kerusakan dan keburukan yang ada disekitarnya.  Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ahmad Athiyath dalam kitabnya, Ath-Thariq (Dirasah Fikriyah fi Kayfiyati al-‘Amal li Taghyiri Waqi’I al-Ummati wa Inhadhiha) “Sesungguhnya manusia tidak akan berpikir tentang perubahan kecuali jika ia mengindera disekelilingnya terjadi realitas kerusakan, keburukan atau kondisi yang seharusnya tidak terjadi.”

Tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai kerusakan dan kezaliman terjadi di negeri ini.  Akibat dari berbagai kebijakan rezim sekuler demokrasi umat mengalami berbagai persoalan multidimensional, mulai masalah krisis kesehatan,  krisis ekonomi,  krisis sosial kemasyarakatan,  hingga Islamofobia yang menzalimi kaum muslimin sebagai penduduk mayoritas di negeri ini. Wajar jika sebagian masyarakat yang dimotori oleh mahasiswa bersuara dan bergerak menuntut perubahan.  Fokus tuntutan mereka menolak rezim  saat ini berkuasa kembali di pemilu 2024. Dengan kata lain mereka menginginkan ganti presiden.

People Power dan Kegagalan Perubahan

Tuntutan perubahan ganti pemimpin (Presiden) yang disuarakan mahasiswa bukan kali pertama dilakukan.  Dalam sejarah Indonesia gerakan perubahan ganti pemimpin sudah kerap terjadi. Sejak NKRI tahun 1945 dipimpin Soekarno,  tahun 1965 terjadi perubahan kepemimpinan oleh Soeharto. Dari Orde lama ke Orde Baru. Setelah Orde Baru, berubah lagi menjadi Orde Reformasi hingga saat ini.

Rangkaian perubahan ganti pemimpin tersebut jika diperhatikan menempuh metode gerakan yang sama yaitu people power.  People power adalah gerakan politik menggulingkan kekuasaan presiden secara paksa melalui jalan aksi demonstrasi rakyat. Seluruh rakyat turun ke jalan agar presiden meletakkan jabatannya karena dianggap melanggar konstitusi.

People power memang cara instan  sebagai gerakan politik untuk mengganti kepemimpinan.  Namun yang harus disadari ada bahaya bagi cita-cita perubahan itu sendiri dengan metode people power.

Pertama,  people power rawan akan adanya pembajakan arah perjuangan,   hal ini dikarenakan beragamnya manusia, serta partai yang terlibat dengan kepentingan dan visi misi politik yang berbeda-beda. Kondisi ini juga bisa memicu terjadinya konflik horisontal,  yang mengakibatkan perpecahan di tengah-tengah

Kedua, people power  hanya fokus pada pergantian rezim, tanpa memahami akar masalah terjadinya berbagai kerusakan dan kezaliman serta solusi menyeluruh atas permasalahan umat hanya berujung menghasilkan perubahan semu yang tak kunjung membuat kehidupan kaum muslim menjadi lebih baik. Sebaliknya hanya akan berpindah dari rezim yang satu ke rezim yang lain.

Kita bisa belajar  bagaimana orde baru yang tumbang karena people power kemudian berganti reformasi, dua puluh empat tahun berjalan reformasi nyatanya tak juga menjadikan negeri ini  menjadi lebih baik. Tetapnya kezaliman, masih menyeruaknya ketidakadilan, masyarakat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, merupakan potret nyata dari kegagalan suatu perubahan.

Ketiga, people power yang tidak didukung oleh ahlu quwah (militer)  maka akan berakibat fatal,  dimana rakyat akan berhadapan dengan kekuatan negara, yang akan berakhir pada kekacauan politik dan pertumpahan darah, hal ini sebagaimana  gerakan people power yang terjadi di Mesir dan Suriah yang berujung penangkapan disertai eksekusi kepada para aktifis dan konflik bersenjata antara rakyat dan penguasa.

Dalam pandangan Islam,  people power bukanlah metode yang sahih dalam meraih kekuasaan, apalagi kekuasaan Islam.

Taghyir Atau Ishlah

Penting untuk dipahami khususnya kaum muslimin sebelum melakukan arah perubahan suatu negara maka harus mengetahui terlebih dahulu realitas persoalan negara tersebut. Apakah kerusakan dan kezaliman yang ada disebabkan karena penyimpangan hukum oleh penguasa dan para pejabatnya sementara asas negara serta sistem yang diterapkan sudah benar, maka perubahan yang dilakukan dengan cara ishlah .

Ishlah adalah usaha untuk mereformasi hal-hal yang sudah hancur,  serta memperbaiki yang rusak (Ahmad Mahmud. “Dakwah Islam” Bab 16). Dalam Islam boleh melakukan ishlah hanya dalam perkara furu’ atau cabang,  dalam memperbaiki kerusakan di tengah masyarakat.   

Jika kerusakan dan kezaliman tersebut disebabkan karena kesalahan asas bernegara dan sistem yang terlahir darinya, maka cara perubahan yang dilakukan adalah taghyir yaitu mengubah asas kehidupan bermasyarakat dan bernegara serta mengganti sistemnya.

Berbagai kerusakan dan kezaliman yang terjadi di negeri ini sejatinya bukan sekedar persoalan pada personel rezim yang berkuasa semata. Karena faktanya meski beberapa kali negeri ini berganti wajah rezim dan penguasa, kondisi kehidupan masyarakat tetap tidak bergeser dari keterpurukan.

Faktor utama yang menjadi penyebabnya adalah sistem yang digunakan oleh rezim, yakni sistem sekuler demokrasi . Sistem yang menjauhkan agama (Islam)  dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Oleh karena itu perubahan yang harus dilakukan adalah taghyir yaitu menumbangkan sistem sekuler demokrasi yang kufur dan menggantinya dengan sistem yang paripurna yaitu Islam kaffah.  Menerapkan hukum Allah SWT dalam naungan khilafah, karena telah terbukti sistem Khilafah Islam telah mampu mensejahterakan rakyat sebagaimana pernah berjaya 2/3 dunia  dengan kekuasaan selama 13 abad lamanya.

Sebagaimana firman Allah SWT,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96).

Dari sini kita dapat pahami,  bahwasanya dalam mewujudkan perubahan hakiki tidak cukup bermodalkan semangat atau kesadaran akan adanya fakta kezaliman atau kerusakan semata. Tapi juga kesadaran mengenai kemana perubahan itu harus diarahkan.

Inilah yang disebut sebagai kesadaran ideologis. Rakyat tidak hanya menyadari pentingnya mengganti orang dan sistem yang rusak,  tetapi juga memahami bahwa sistem pengganti yang lebih baik dan seharusnya yang diperjuangkan itu hanyalah sistem yang diturunkan oleh Allah zat yang Maha Baik.  Itulah sistem Islam.

Rasulullah saw. dan Perubahan Hakiki

Bagi seorang muslim,  Sesungguhnya telah ada  pada Rasulullah saw. sebagai suri teladan dalam melakukan perubahan hakiki.

Sebagaimana Allah SWT berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَة

Sungguh telah ada pada (diri)  Rasulullah itu suri teladan yang baik”. (QS Al-Ahzab: 21)

Rasulullah telah mencontohkan kepada kita bagaimana melakukan proses perubahan hakiki. Sejak diutus menjadi Rasul, aktivitas utama beliau adalah dakwah. Secara ringkas  metode yang ditempuh Rasulullah saw. dalam merubah masyarakat Makkah yang jahiliah penuh kerusakan dan kezaliman hingga beliau berhasil mendirikan sistem negara Islam di Madinah melalui beberapa tahapan dakwah  yang khas sebagai berikut,

Pertama, tahap pembinaan (Marhalah tatsqif).

Yaitu  tahap pengokohan dan penancapan pemikiran yang diemban (marhalah ta’sisiyyah). Pemikiran baru yang diemban ini harus benar-benar diyakini dan tertancap secara mendalam dalam benak mereka yang ingin melakukan perubahan. Bahkan rahasia keberhasilan perubahan yang berlandaskan sebuah pemikiran ada pada tahapan ini. Rasul saw. menancapkan akidah Islam ke benak para Sahabat tidak kurang dari 13 tahun selama di Makkah. Pemikiran yang jernih, selaras dengan akal, menenteramkan jiwa dan kalbu akhirnya terhujam dengan kokoh di benak para Sahabat. Ini adalah modal paling dasar untuk kemudian melakukan tahap yang kedua.

Kedua, tahap interaksi dengan masyarakat (Marhalah tafa’ul ma’al ummah). 

Tahapan kedua ini adalah menyampaikan pemikiran atau ide perubahan kepada masyarakat dengan terang-terangan. Dilakukan dengan shira’ al fikri (perang pemikiran) dan kifah as-siyasiy (perjuangan politik). Setiap pemikiran dan ide yang rusak, ragam kebijakan politik yang menyengsarakan rakyat, harus dikritik dan dijelaskan kelemahan, kekeliruan dan akibat buruk terhadap kehidupan ber-masyarakat. Pada era Rasulullah, Al-Qur’an mengecam dengan tegas dan gamblang ragam keyakinan dan kebiasaan buruk kaum jahiliah. Seperti Firman Allah SWT yang mengecam perilaku Abu Lahab.

Ketiga, tahap transformasi kepemimpinan (Marhalah istilamul hukmi).

Hijrah Rasulullah saw. adalah bentuk keberhasilan langkah yang ketiga ini. Saat itu masyarakat dan tokoh-tokoh Madinah (ahlul quwwah wal mana’ah) sudah siap memberikan kekuasaan mereka kepada Rasulullah saw. Peresmian penyerahan kepemimpinan itu adalah ditandai dengan Baiat Aqabah kedua.

Peristiwa baiat ini diawali dengan datangnya rombongan haji  dari Madinah ke Makkah dengan jumlah yang cukup banyak. Mereka terdiri dari 75 orang kaum Muslim, yaitu 73 laki-laki dan dua orang wanita.

Rasul saw. menemui mereka secara rahasia dan membicarakan baiat yang kedua ini. Pembicaraannya tidak sebatas masalah dakwah dan kesabaran dalam menghadapi semua kesengsaraan saja, tetapi juga mencakup kekuatan yang akan mampu mempertahankan kaum Muslim. Bahkan lebih jauh dari itu, yaitu mewujudkan cikal-bakal yang akan menjadi pondasi dan pilar pertama dalam mendirikan Negara Islam. Sebuah negara yang akan menerapkan Islam di dalam masyarakat, mengembannya sebagai risalah universal ke seluruh umat manusia dengan membawa serta kekuatan yang akan menjaganya dan menghilangkan semua rintangan fisik yang menghalangi di jalan penyebaran dan penerapannya (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islamiyyah).

Sangat jelas bahwa perubahan yang dibawa oleh Islam saat terjadi perubahan masyarakat jahiliah ke masyarakat Islam di Madinah adalah perubahan yang sangat mendasar dan secara inqilabiyah (revolusioner). Karena realitas masyarakat yang ada memerlukan perubahan yang mendasar, menyeluruh dan revolusioner. Perubahan yang hakiki, perubahan dari masyarakat jahiliah ke masyarakat Islam. Bukan sekadar perubahan kepemimpinan atau rezim. Namun, perubahan yang berasal dari akar dan sistemik.

Dan yang juga menjadi catatan penting bahwa semua aktifitas perubahan tersebut tidak akan terwujud jika dilakukan dalam gerakan individual,  gerakan mengubah sistem meniscayakan dilakukan dalam amal jama’i dalam sebuah kelompok dakwan politik atau partai politik.  Ini lah yang dilakukan oleh Rasulullah.

Arus perubahan inilah yang sejatinya harus terjadi pada dunia dan kaum Muslim saat ini. Perubahan dari kondisi sistem sekuler demokrasi  menuju masyarakat Islam. Perubahan yang akan benar-benar memberikan kebaikan pada masyarakat dan kehidupan alam semesta. Insya Allah. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Stm]