Tela’ah Hadis Kepemimpinan Perempuan

  • Hadis

Oleh: Kartinah Taheer

Suaramubalighah.com, Hadis — Berbagai persoalan yang menimpa perempuan hari ini, seperti kemiskinan, keterbelakangan, ketidakadilan, kekerasan, beban berat karena berperan ganda bahkan pelabelan negatif pun dialamatkan pada perempuan. Kaum feminis menganalisa persoalan yang menimpa perempuan tersebut karena ketidaksetaraan gender. Hal ini disebabkan adanya perlakuan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan baik  karena faktor budaya patriarki maupun agama.

Islam kerap kali menjadi tertuduh melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Hukum Islam dianggap misoginis (membenci perempuan). Diantaranya hukum tentang pakaian, waris, safar perempuan, ketaatan istri terhadap suami, dan kepemimpinan laki-laki. Untuk menyelesaikan persoalan tersebut menurut pandangan feminis mutlak harus ada keseteraan gender, sehingga kiprah perempuan bisa setara dengan laki-laki. Perempuan bisa berperan seperti laki-laki baik sektor domestik ataupun publik. Maka hukum agama (Islam) yang berbau misoginis dalam pandangan mereka perlu dilakukan rekonstruksi dengan melakukan penafsiran ulang   terhadap ayat-ayat (teks-teks) Al-Qur’an dan hadis yang dianggap lebih berpihak pada laki-laki. Tidak hanya rekontruksi fikih, kaum feminis juga menyudutkan perowi hadis yang tsiqoh.

Diantaranya adalah hadis yang berkaitan dengan larangan kepemimpinan perempuan. Hadis dari Abi Bakrah, Nabi ketika sampai kepadanya berita bahwa Persia dikuasai oleh binti Kisra’ (Anak perempuan Persia), Rasulullah bersabda,

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَة

 “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (kekuasaannya) kepada perempuan” (HR. Bukhari)

Menurut kaum feminis , Hadis ini lemah karena perowi hadisnya tidak terpercaya (tidak tsiqah) sehingga tidak bisa dijadikan sebagai rujukan dalil syara’.  Mereka menuduh bahwa Abu Bakrah melakukan sumpah palsu. Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab ra., Abu Bakrah pernah dicambuk delapan puluh kali, karena telah dianggap  menuduh zina atas sahabat Syu’bah bin Mughirah ra. tanpa ada bukti yang cukup oleh pengadilan. Fatimah Mernissi menggolongkan sebagai hadis misoginis.

Pandangan kaum feminis ini tidak benar. Karena status hadis ini adalah sahih.

Selain diriwayatkan dalam Sahih Al-Bukhari, hadis ini juga diriwayatkan dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan At-Tirmidzi, Musnad At-Thabarani, juga Sunan An-Nasai. Para muhadditsin  menyepakati kesahihannya. Hadis-hadis yang lain adalah,

لن يفلح قوم تملكهم إمرأة

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang dikuasai oleh wanita” (HR. Ibn Hibban, Ahmad)

لن يفلح قوم أسندوا أمرهم إلى إمرأة

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menggantungkan urusannya kepada kaum wanita” (HR. Abu Dawud, Ahmad)

لن يفلح قوم يملك أمرهم إمرأة

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang urusannya ditangan kaum wanita”. (HR Thabrani)

Adapuntuduhan mereka bahwa Abu Bakrah tidak tsiqoh karena telah melakukan qazaf, maka menukil dari Kitab Al-Bidayah wan an-Nihayah (Ibnu Katsir),

“Abu Bakrah adalah seorang sahabat Rasulullah memiliki martabat yang tinggi. Bersama Ziyad, Sahl (Sybl) bin Ma’bad dan Nafi’ bin al-Harits pernah menyaksikan al-Mughirah berzina. Tapi kemudian Ziyad ragu-ragu dan mencabut kesaksiannya. Sehingga saksi yang dihadapkan tidak mencapai empat orang. Umar meminta tiga orang lainnya utk mencabut kesaksiannya, namun  Abu Bakrah tidak mau menarik kesaksiannya” sehingga tidak benar jika Abu Bakrah bersumpah palsu seperti yang dituduhkan kaum feminis, yang terjadi adalah saksi yang tidak cukup, karena salah seorang yang mencabut kesaksiannya.

Makna Hadis

Hadits ini sekalipun bentuknya al ikhbar (pemberitahuan) atau khabar (kalimat berita)  tetapi berfaedah larangan untuk memberi kekuasaan kepada perempuan (imraatan), karena merupakan salah satu bentuk kalimat tuntutan (shighat al Talab), dan  adanya “dzam”(celaan ) berupa “lan yufliha”(tidak akan pernah beruntung/berjaya) sebagai qarinah atau indikasibahwa larangan tersebut larangan yang tegas (al nahyu al jazim) atau  tolab al al tarki jaziman/ tuntutan meninggalkan  dalam hadis tersebut bersifat pasti. Dengan demikian haram bagi perempuan menjabat sebagai hukkam (kekuasaan).

Kata لَنْ lebih kuat maknanya daripada  لا, sebagaimana penjelasan para pakar ulama bahasa, Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi dalam kitab Al-’Ain, “Bukankah engkau melihat bahwa  kata Lan menyerupai kataLaa dalam pemaknaannya, akan  tetapi kataLan lebih kuat, maknanya  Al-Syaikh al-Adib Musthofa al-Ghulayaini dalam kitab Tahdzib al-Lughah, “huruf lan adalah huruf penafian kejadian di masa datang dan  berfaedah menegaskan  penafian”

Sedangkan Lafal qawmun dalam hadis dalam bentuk nakirah yang berkonotasi luas (mubham),  umum cakupannya.  Kaum manapun yang menjadikan wanita sebagai penguasa, maka tidak akan beruntung.  Ia tidak dibatasi pada satu kaum tertentu  dan menafikan kaum yang lain.  Kata inipun menyangkal dalih mereka yang mengklaim hadis ini khusus hanya untuk kaum Persia saja yang mengangkat anak perempuan Kisra sebagai penguasa.

Kata wallaw  (وَلَّوْا) adalah kata kerja lampau (fi’il madhi) menunjukkan bahwa hadis ini berbicara tentang aktivitas rakyat mengangkat penguasa , memberikan mandat perwalian, yakni kekuasaan (wilayah), ketika mendefinisikan al-tauliyyah  (Prof. Dr Muhammad Rawwas Qal’ah dalam Mu’jam Lughat al-Fuqaha)

Kata amrohum (أَمْرَهُم)  urusan mereka.  Untuk mengetahui hadis ini berkaitan dengan masalah apa, maka bisa dilihat dari asbabul wurud hadis ini.  Adanya pengangkatan Buran putri Raja Kisra untuk menggantikan posisi ayahnya. Maka nampak jelas bahwa berkaitan dengan kekuasaan, bukan yang lain.

Larangan ini berlaku bagi perempuan. Hal ini nampak jelas dari bunyi hadis ini, yaitu kata  imraatan yang artinya perempuan, bukan laki-laki.  Dan tidak dalam bentuk kata sifat, sehingga tidak bisa diambil pemahaman lain selain apa yang disebutkan dalam nash tersebut, yaitu imraatan – perempuan. Bukan karena sifat perempuannya, sehingga bisa disimpulkan boleh kalau perempuannya mampu, kalau tidak mampu tidak boleh.  Karena tidak ada keterangan yang menjelaskan demikian.

Dari penjelasan hadis ini larangan perempuan menjadi pemimpin/penguasa khusus dalam hal pemerintahan. Seperti  larangan menjadi seorang Khalifah/kepala negara, Muawin Tanfidz, Wali, dan Amil. Atau aktivitas yang bersentuhan dengan kekuasaan seperti Qadhi Madzalim, Qadhi Qudhat, Muawin Tanfidz, dan Amirul Jihad. Selebihnya perempuan bisa menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi atau perusahaan.

Larangan perempuan menjadi penguasa tidak menjadikan perempuan tidak bisa berperan politik. Karena makna politik dalam pandangan Islam bukan hanya urusan kekuasaan. Makna politik pandangan Islam adalah ri’ayatu asyu’uunil ummah (Pengurusan/pengaturan  urusan umat). Perempuan berhak dan wajib melakukan baiat terhadap khalifah, melakukan muhasabah terhadap penguasa. Perempuan bisa beraktivitas dalam partai politik Islam. Bahkan peran perempuan sebagai ummun warobbat al bait adalah peran politik yang sangat strategis karena mencetak generasi yang dimasa depan yang akan menjadi calon pemimpin peradaban. Wallahu a’lam bishshawab[SM/Stm]