Kesyirikan Mengundang Azab Allah (Tafsir QS. Al-Baqarah: 21-22)

Oleh: Hj. Padliyati Siregar, S.T.

Suaramubalighah.com, Al-Qur’an – Dalam sistem kapitalisme-sekularisme, banyak manusia yang bertuhankan lebih dari satu. Dalam Al-Qur’an, hal ini disebut dengan musyrik, yaitu orang-orang yang syirik. Kata syirik ini berasal dari “syaraka” yang berarti mencampurkan dua atau lebih benda, hal yang tidak sama seolah-olah sama.

Pengertian syirik dalam arti mempersekutukan Tuhan dengan menjadikan sesuatu, sebagai obyek pemujaan, dan atau tempat menggantungkan harapan dan dambaan, termasuk dalam kategori kufur. Karena, perbuatan tersebut mengingkari kemahakuasaan dan kemahasempurnaan-Nya.

Syirik adalah muara dari berbagai kejahatan dan penyelewengan. Syirik juga merupakan rusaknya pikiran atau tingkah laku. Syirik pada hakikatnya adalah ucapan atau akidah tanpa ilmu.

Begitulah yang terjadi saat ini, akibat negara menerapkan demokrasi sekularisme liberalisme sebagai sistemnya. Paham yang menjauhkan aturan agama dari kehidupan dan memberikan kebebasan dalam bertingkah laku ini sudah berhasil membuat para pemimpin maupun rakyatnya, menjauh dari aturan Islam. Maka, tidak dipungkiri jika negeri ini tak henti diliputi kesusahan.

Berbagai ritual klenik yang akhir-akhir ini dipertontonkan, sama saja dengan mengundang azab Allah SWT. Padahal seharusnya di tengah berbagai persoalan bangsa, seyogianya negara menguatkan akidah rakyat. Bukan malah sebaliknya, mengajarkan dan mempraktikkan amal-amal yang merusak akidah.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir surat Al-Baqarah ayat 21 dan 22, dijelaskan makna ibadah yang sebenarnya.

يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ اعۡبُدُوۡا رَبَّكُمُ الَّذِىۡ خَلَقَكُمۡ وَالَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُوۡن

“Hai manusia, beribadahlah kepada Rabb-mu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah Ayat 21)

الَّذِىۡ جَعَلَ لَـكُمُ الۡاَرۡضَ فِرَاشًا وَّالسَّمَآءَ بِنَآءً وَّاَنۡزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَاَخۡرَجَ بِهٖ مِنَ الثَّمَرٰتِ رِزۡقًا لَّـكُمۡ‌ۚ فَلَا تَجۡعَلُوۡا لِلّٰهِ اَنۡدَادًا وَّاَنۡـتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ

 “Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah Ayat 22)

Selanjutnya Allah Tabaraka wa Ta’ala menjelaskan tentang keesaan uluhiyah-Nya bahwa Dia yang memberikan nikmat kepada hamba-hamba-Nya dengan mengeluarkan mereka dari tiada kepada ada, serta menyempurnakan bagi mereka nikmat lahiriah dan batiniah, yaitu Dia menjadikan bagi mereka bumi sebagai hamparan seperti tikar yang dapat ditempati dan didiami, yang dikokohkan dengan gunung-gunung yang menjulang, dan dibangunkan langit sebagai atap.

Sebagaimana firman-Nya: “Dan Kami telah menjadikan langit sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka berpaling dari ayat-ayat Kami.” (QS. Al-Anbiyaa’: 32)

Dan Dia telah menurunkan air hujan dari langit bagi mereka. Yang dimaksud (dengan langit) di sini adalah awan yang turun pada saat dibutuhkan oleh mereka. Lalu Dia mengeluarkan bagi mereka buah-buahan dan tanaman seperti yang mereka saksikan sebagai rezeki bagi mereka dan ternak mereka.

Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim disebutkan sebuah hadits dari Ibnu Mas’ud, ia menceritakan: “Aku pernah bertanya: Ya Rasulullah, dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?’ Beliau menjawab: Engkau menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dia-lah yang telah menciptakanmu.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia menceritakan: “Ada seseorang yang berkata kepada Nabi: Atas kehendak Allah dan yang menjadi kehendakmu’. Maka beliau bersabda: Apakah engkau akan menjadikan aku sebagai tandingan bagi Allah?’ Katakanlah: `Atas kehendak Allah saja.”‘

Hadits di atas diriwayatkan Ibnu Mardawaih (ada juga yang menyebut Marduyah) dan diriwayatkan oleh an-Nasa’i serta Ibnu Majah.

Semuanya itu dimaksudkan untuk menjaga kemurnian tauhid.

Muhammad bin Ishak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, mengenai firman “Wahai sekalian manusia, beribadahlah kepada Rabb-mu,” seruan itu ditujukan kepada kedua belah pihak, orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Artinya, esakanlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian.

Masih menurut Muhammad bin Ishak, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, “Karena itu, janganlah kalian mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah.” Artinya, janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan mengadakan tandingan-tandingan yang tidak dapat memberikan madarat maupun manfaat, sedang kalian mengetahui bahwa tiada Ilah yang hak bagi kalian selain Dia yang memberi rezeki kepada kalian. Dan kalian juga mengetahui bahwa yang diserukan kepada kalian oleh Rasulullah untuk diesakan adalah Rabb yang haq dan tidak diragukan lagi.

Demikian juga yang dikatakan Qatadah. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, mengenai firman Allah, tandingan-tandingan bagi Allah, ”al-Andaad”  berarti syirik yang lebih samar dari pada semut melata di atas batu hitam pada kegelapan malam. Termasuk menjadikan andaad bagi Allah adalah ucapan, “Demi Allah dan demi hidupmu serta demi hidupku, hai fulan.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari al-Harits al-Asy’ari, bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan Yahya bin Zakaria as. dengan lima perkara yang harus ia amalkan. Dan memerintahkan Bani Israil agar mereka mengamalkannya, namun (Yahya bin Zakaria) hampir saja lamban melaksanakannya.”

Maka Isa as. berkata kepadanya: “Sesungguhnya engkau telah diperintahkan dengan lima perkara agar engkau mengamalkannya dan memerintahkan Bani Israil mengamalkannya, apakah engkau sendiri menyampaikannya atau aku yang menyampaikannya?”

Kemudian Yahya berkata: “Hai saudaraku, sesungguhnya aku takut jika engkau mendahuluiku, aku akan diazab atau aku ditenggelamkan ke dalam bumi.” Setelah itu Yahya bin Zakaria mengumpulkan Bani Israil di Baitul Maqdis sehingga mereka memenuhi masjid, lalu ia duduk di tempat yang tinggi, kemudian memuji dan mengagungkan Allah, dan selanjutnya ia berkata: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku lima perkara, yang harus aku amalkan dan aku perintahkan kalian untuk mengamalkannya; pertama, hendaklah kalian beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, karena sesungguhnya perumpamaan hal itu sama seperti seseorang yang membeli seorang budak dari hartanya yang murni dengan uang perak atau emas. Kemudian orang itu menyuruh budak itu bekerja namun budak itu menyerahkan penghasilannya kepada selain tuannya. Siapakah di antara kalian yang menginginkan budaknya berbuat demikian? Dan sesungguhnya Allah telah menciptakan kalian dan memberi rezeki kepada kalian. Karenanya, beribadahlah kepada Allah dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Allah juga memerintahkan agar kalian mengerjakan shalat, karena sesungguhya Allah mengarahkan wajah-Nya ke wajah hamba-Nya selama ia tidak berpaling. Sebab itu, jika kalian mengerjakan shalat, janganlah memalingkan wajah.

 Dia juga memerintahkan kalian untuk berpuasa, sesungguhnya perumpamaan hal itu sama seperti seseorang yang membawa tempat minyak kesturi berada di tengah-tengah kelompok orang yang semuanya mencium aroma kesturi. Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum dari pada bau minyak kesturi. Allah juga memerintahkan kalian untuk bersedekah, sesungguhnya perumpamaan hal itu seperti seseorang yang ditawan oleh musuh, lalu mereka mengikat kedua tangannya pada lehernya, untuk selanjutnya dibawa ke depan guna dipenggal kepalanya. Kemudian orang itu berkata kepada mereka, `Apakah kalian mengizinkan aku menebus diriku ini dari kalian.’ Maka orang itu pun menebus dirinya dengan segala harta miliknya, sehingga ia berhasil membebaskan dirinya. Allah juga memerintahkan kalian untuk memperbanyak zikir kepada-Nya, karena perumpamaan hal itu seperti seseorang yang dikejar oleh musuh dengan melacak jejak kakinya, lalu ia mendatangi sebuah benteng yang terjaga ketat, kemudian ia berlindung di dalamnya. Dan sesungguhnya seorang hamba itu lebih terlindungi dari syaitan jika ia senantiasa berzikir kepada Allah.”

Selanjutnya Al-Harits Al-Asy’ari menuturkan, sedang Rasulullah sendiri bersabda: “Aku memerintahkan kepada kalian lima perkara -sebagaimana Allah telah memerintahkan kepadaku-, yaitu: jama’ah, patuh, tunduk, hijrah, dan jihad di jalan Allah. Karena sesungguhnya, orang yang keluar dari jama’ah sejengkal, berarti ia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya kecuali jika ia kembali. Dan barangsiapa menyeru dengan seruan jahiliah, maka ia termasuk penghuni Jahanam.” Para sahabat bertanya: “Meskipun ia mengerjakan shalat dan berpuasa?” Beliau menjawab: “Meskipun ia shalat dan berpuasa serta mengaku bahwa ia muslim. Karena itu, serulah orang-orang Islam dengan nama mereka masing-masing sebagaimana Allah menyebut orang-orang muslim yang mukmin sebagai hamba Allah.” (Hadits ini hasan)

Dan yang menjadi syahid mengenai ayat di atas adalah ucapan Yahya bin Zakaria, “Dan sesungguhnya Allah telah menciptakan kalian dan memberi rezeki kepada kalian. Karenanya, beribadahlah kepada Allah dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.”

Ayat di atas menjadi dalil yang menegaskan perintah bertauhid dengan hanya beribadah kepada Allah SWT tanpa menyekutukan-Nya. Dan banyak para mufasir, misalnya Ar-Razi dan juga lainnya yang menjadikan ayat ini sebagai dalil yang menunjukkan adanya Sang Pencipta (Allah SWT). Ayat tersebut tentu saja menunjukkan hakikat itu, karena barangsiapa memperhatikan semua ciptaan yang ada di alam ini baik yang berada di bawah (bumi) maupun yang di atas (langit), perbedaan bentuk, warna, karakter, dan manfaatnya serta menempatkan semuanya itu pada tempat yang mendatangkan manfaat dengan tepat, maka ia akan mengetahui kekuasaan penciptanya, hikmah, ilmu, ketelitian, dan keagungan kekuasaan-Nya.

Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang Arab badui, ketika ditanya: “Apakah dalil yang menunjukkan adanya Rabb?” Mereka menjawab: “Subhanallah, kotoran unta menunjukkan adanya unta, dan jejak kaki menunjukkan adanya orang yang pemah jalan. Bukankah langit mempunyai gugusan bintang, bumi mempunyai jalan-jalan yang luas, dan lautan mempunyai gelombang. Tidakkah yang demikian itu menunjukkan pada kalian akan adanya “Al-Lathiiful khabiir” (Allah yang Maha Lembut lagi Maha Mengetahui)?”

Ar-Razi menceritakan dari Imam Malik, bahwa (Harun) Ar-Rasyid pernah bertanya kepadanya mengenai hal itu, maka ia pun memberikan bukti tentang hal itu, yaitu dengan adanya berbagai macam bahasa, suara dan nada suara.

Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa sebagian orang-orang Zindiq pernah bertanya kepadanya mengenai keberadaan Allah, maka ia pun mengatakan kepada mereka, “Tinggalkkan aku di sini, aku sedang memikirkan suatu hal yang telah diberitahukan kepadaku, mereka memberitahukan ada sebuah kapal di laut yang sarat dengan beraneka ragam barang dagangan, dan tidak ada seorang pun yang menjaga dan mengendalikannya. Namun demikian, kapal itu tetap berlayar tanpa nakhoda, terombang-ambing oleh derasnya ombak hingga akhirnya berhasil melalui gelombang tersebut dan terus melaju tanpa nakhoda. Maka mereka pun berkata, “Ini merupakan suatu hal yang tidak mungkin dikatakan oleh orang yang berakal.”

Lalu Abu Hanifah berkata, “Aduhai kalian, jika demikian apakah alam jagat raya ini berserta isinya yang teratur disebut sebagai suatu yang tidak ada pembuatnya.”

Maka orang-orang itu tercengang keheranan, hingga akhirnya mereka kembali kepada kebenaran dan masuk Islam di bawah bimbingannya.

Sedangkan Imam Syafi’i pernah ditanya mengenai adanya Allah, Rabb Pencipta. Maka ia pun menjawab, “Ini adalah daun murbai yang memiliki satu rasa. Jika dimakan oleh ulat sutera, maka akan keluar menjadi serat sutera.

Dan jika dimakan oleh lebah, akan menjadi madu. Jika dimakan oleh kambing, sapi, dan binatang sejenisnya, akan keluar menjadi kotoran. Dan jika dimakan kijang akan menjadi wewangian, padahal itu berasal dari satu materi.

Mengenai hal tersebut, Imam Ahmad bin Hanbal juga pernah ditanya. Maka ia menjawab, di sini terdapat benteng yang sangat kokoh dan halus yang tidak berpintu dan tidak ada jalan masuk (yang dimaksud adalah telur). Bagian luarnya tampak seperti perak dan bagian dalamnya tampak seperti emas murni. Dan ketika sedang dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba dinding benteng pecah, dari dalamnya keluar binatang yang dapat mendengar dan melihat serta memiliki bentuk yang sangat elok dan suara yang sangat indah, yaitu telur dikala keluar dari dalamnya seekor anak ayam.

Abu Nawas pernah ditanya mengenai hal itu, maka ia pun langsung melantunkan sya’ir: Perhatikanlah tumbuh-tumbuhan di bumi, lihatlah apa yang telah diperbuat oleh al-Malik (Allah)

Air jernih bagaikan perak memenuhi parit parit, bagaikan emas cetakan

Mengairi lahan-lahan yang indah, bagaikan batu permata zabarjad

Semuanya merupakan saksi yang membuktikan, bahwa tiada sekutu bagi-Nya

Sedangkan ulama lainnya mengatakan, orang yang memperhatikan ketinggian dan keluasan langit serta berbagai bintang, komet, dan planet. Juga merenungkan bagaimana semuanya itu berputar di falak yang luar biasa besarnya pada setiap siang dan malam hari. Yang pada saat yang sama, masing-masing berputar sendiri menurut porosnya. Kemudian juga memperhatikan lautan yang mengelilingi bumi dari segala sisi, serta gunung-gunung yang diletakkan di bumi agar bumi seimbang/stabil, dan penduduknya dapat menghuninya walaupun dengan bentuk permukaan bumi yang bermacam-macam dan berwarna-warni.

Sebagaimana firman-Nya: “Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Al-Faathir: 27-28)

Demikian pula sungai-sungai itu yang mengalir dari satu negeri ke negeri yang lain untuk memberikan berbagai manfaat. Juga diciptakannya berbagai macam binatang, tumbuh-tumbuhan yang mempunyai rasa, bau, bentuk dan warna yang bermacam-macam, -padahal- dalam satu tanah dan air yang sama alamnya. Maka semuanya itu menunjukkan adanya Rabb Sang Pencipta, kekuasaan-Nya yang agung, hikmah, rahmat, kelembutan, dan kebaikan-Nya kepada semua makhluk ciptaan-Nya, tiada Ilah yang hak selain Dia, kepadanya kami bertawakal dan kembali. Ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas mengenai masalah ini cukup banyak.

Maka dengan demikian, harus ada segolongan umat yang menyeru pada kebaikan (Islam) dan mencegah dari kemungkaran dengan menyampaikan hanya Islamlah yang mampu menyolusi atas semua permasalahan yang ada saat ini, sekaligus menjaga akidah umat agar tetap pada akidah Islam.  Sehingga, tidak mudah tergoda dengan hal-hal di luar nalar yang akan menggerus keimanan hingga menghantarkannya pada kebinasaan.

Sebagai kaum muslim kita patut menyayangkan jika penguasa negeri ini malah menampakkan kesyirikan dalam agenda kenegaraan ataupun yang lainnya yang berkaitan dengan pengurusan rakyat. Jangan sampai hal tersebut malah mengundang murka Allah SWT. Padahal, seharusnya di tengah berbagai persoalan bangsa, seyogianya negara menguatkan akidah rakyat, bukan malah sebaliknya mengajarkan dan mempraktikkan amal-amal yang merusak akidah. Tentu saja kita berharap agar seluruh  aktivitas yang menuai azab tidak lagi dilakukan para penguasa negeri dan rakyatnya. Walhasil, keberkahan pun senantiasa dirasakan oleh seluruh penduduk negeri dan akidah generasi umat selanjutnya akan selalu terjaga dan kokoh. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]