Oleh: Siti Murlina, S.Ag.
Suaramubalighah.com, opini — Penista agama terus berulah. Dialah pendeta Saifuddin Ibrahim, seorang residivis. Penista agama belum juga ditangkap, sementara kanal Youtube-nya yang tak henti menyerang Islam belum juga diblokir. Hingga membuat gaduh di ruang publik, menimbulkan kebencian, dan memicu konflik SARA. Selain berstatus mantan narapidana penodaan agama, Saifuddin Ibrahim kini juga telah berstatus tersangka kasus serupa karena meminta 300 ayat Al-Qur’an dihapus, lantaran dianggap sebagai sumber kekerasan.
Kasus terbaru, pendeta yang mantan ustaz itu menilai naik haji ke Makkah hanya akal-akalan Nabi Muhammad saw. untuk memperkaya rakyat Arab Saudi. (Solopos.com, Kamis 21/04/ 2022). Seolah tak jera, pendeta Saifuddin terus menerus melakukan penistaan terhadap agama. Sebelumnya pada Desember 2017 lalu dia pernah ditangkap dan di penjara selama empat tahun, karena ujaran kebencian. Dia telah menghina Nabi saw. dengan mengatakan bahwa Nabi saw. telah melanggar hak Al-Qur’an. Dia juga mengklaim sebagai ustaz yang hafizh Al-Qur’an. (Suara. com, 17/03/2022). Kenyataannya pendeta Saifuddin walau pernah ditangkap dan dipenjara, tapi tak jera malah makin menjadi. Hal ini menunjukkan mandul dan abainya peran negara, para aparat yang berwenang seakan tidak mampu bertindak tegas kepada sang penista. Selain pendeta Saifuddin, sudah ada pelaporan dugaan ujaran kebencian dan penistaan terhadap Islam oleh yang lainnya seperti Deni Siregar, Nikita Mirzani, Abu Janda, dan Ade Armando. Sampai hari ini belum ada tindakan yang tegas dan jelas.
Di Indonesia UU Penodaan Agama untuk menjaga agama ternyata tidak efektif menangkal penghinaan terhadap ajaran Islam. Hukumannya terkategori ringan. Yang berakibat sanksi bagi penista tidak berefek jera. Setelah berulah mereka cenderung dan berpotensi untuk berbuat lagi sebagaimana kasus pendeta residivis ini. Padahal di sinilah urgennya peran negara dalam memberi sanksi hukum yang tegas bagi pihak yang melanggar. Dalam menjaga agama ini, sepertinya peran negara sangat minim dan cenderung berat sebelah. Aparat baru bertindak setelah umat Islam bergerak dan bersuara.
Ketidakadilan ini dapat dirasakan oleh semua pihak. Sudah sepantasnya opini tersebut berkembang di tengah umat. Mereka butuh tindakan yang tegas dan jelas terhadap para penista agama tersebut. Contoh, perlakuan aparat terhadap teroris yang notabene muslim langsung bergerak cepat, bahkan baru status “terduga” langsung ditembak mati. Tapi terhadap penista Islam responnya lambat dan lemah. Pantas saja seorang residivis pendeta ini “berulah” lagi. Sekedar untuk meng-cut kanal Youtube-nya saja tak berdaya. Sepertinya perburuan dan penangkapan terhadap pendeta residivis penista Islam yang sekarang lari ke luar negeri (AS), diduga kuat prosesnya setengah hati. Tidak akan seperti kasus Habib Rizieq Shihab (HRS).
Kasus seperti ini akan terus marak dan berulang, selama sistem kapitalis-sekuler diterapkan. Karena sejatinya perilaku para penista dan ujaran kebencian terhadap Islam lahir dalam sistem ini yang berasas kebebasan. Asas sekularisme yang diterapkan saat ini telah meminggirkan dan memisahkan peran agama untuk mengatur kehidupan. Menganggap syariat bukan standar perilaku dan sesuatu yang penting dan wajib diamalkan, diutamakan, dan dijaga. Jadi dari sekularisme lahir penyebab timbulnya paham lain yang sama batilnya, semisal demokrasi, liberalisme, pluralisme, sinkretisme, dan lainnya. Dianggap radikal dan berlebihan pada umat yang ingin menerapkan syariat secara total. Pun pada umat yang marah ketika agamanya dihina dan menuntut hukuman tegas bagi sang penista. Walaupun ada sebagian para penista ditangkap dan di penjara, tapi tidak menjamin hal tersebut tidak berulang dan tidak akan ada penista lainnya. Sudah dipastikan dalam penerapan hukum sekuler akan berbenturan dengan paham lainnya. Timbul sikap serba salah. Penista agama yang ditindak tegas akan berbenturan dengan HAM dan kebebasan berpendapat. Dan jika tidak dihukum akan menyebabkan kebebasan tidak terkendali dan kebablasan.
Hal ini sebagai akibat dari prinsip atau pandangan yang terpengaruh pada penilaian manusia yang didominasi oleh akal dan hawa nafsu. Bukan pada standar nilai yang tetap dan baku. Hukum cenderung sewenang-wenang dan berat sebelah, hukum bisa dipermainkan dan diperjualbelikan. Akhirnya timbul ketidakadilan dan ketidakpastian dalam penegakkan hukum.
Dalam penegakan hukum, wajib mengikuti pada sesuatu yang baku, tetap dan pasti. Agar terciptanya keadilan dan kebenaran yang hakiki. Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh mempunyai seperangkat aturan yang jelas dan tegas dalam mengatasi para penista agama. Perkara agama adalah perkara utama yang harus dijaga dan dimuliakan. Tidak boleh ada satu orang pun menjadikan Islam dan simbolnya sebagai bahan candaan dan olokan. Syariat Islam dengan tegas melarang segala bentuk penistaan, penghinaan dan pelecehan terhadap Islam, siapapun dia baik muslim maupun kafir.
Dalam Islam, bisa dihukum mati bagi pelaku penista dan penghina agama. Kalau dia muslim dihukumi murtad atau kafir, sanksinya hukuman mati, yang sebelumnya diberikan kesempatan taubat selama 3 hari. Jika tidak tobat, baru disanksi hukuman mati. Jika dia menyesal dan tobat dikembalikan pada kebijakan khalifah.
Selanjutnya bila pelakunya kafir, dihukumi sebagai berikut: pertama, jika kafir dzimmi maka jaminan/dzimmah-nya dicabut dan diusir dari wilayah daulah, bahkan bisa dibunuh juga. Dua, bila bukan kafir dzimmi, ini bisa dijadikan alasan perang daulah terhadap negara yang bersangkutan.
Sudah sepantasnya kita peduli dengan urusan agama ini, berupaya untuk mengkajinya secara mendalam dan berupaya untuk menerapkannya dalam seluruh aspek kehidupan. Karena tak mungkin keadilan itu didapatkan dalam sistem sekuler hari ini. Oleh sebab itu, keadilan hakiki bisa didapatkan hanya dalam sistem Islam yakni Khilafah Islam. Dimana negara, masyarakat, dan individu menerapkan syariat secara total. Agama akan terlindungi. Sistem ini akan mencegah segala bentuk tindakan kriminal, kekerasan, dan akan menerapkan sanksi yang tegas pada pelakunya.
Prinsip peradilan dalam Islam bersifat zawajir (peringatan bagi yang lainnya) dan jawabir (penebus dosa bagi pelakunya). Karena ia datang dari Zat Yang Maha Pencipta dan Maha Mengatur. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]