Khilafah Menyatukan Awal dan Akhir Ramadhan

  • Opini

Oleh: Ummu Kautsar

Suaramubalighah.com, opini — Ramadhan bulan mulia nan agung. Kedatangannya disambut gembira oleh orang beriman, lalu kepergiannya membuat umat Islam bersedih. Namun penentuan awal dan akhir Ramadhan  sering kali menimbulkan kontroversi. Perbedaan penentuan awal dan akhir kadang berbeda antara pemerintah dengan ormas Islam tertentu.

Rasulullah saw. menjelaskan bahwa penentuan awal dan akhir Ramadhan itu dengan cara rukyatul hilal.

 إذَا رَأيْتُمُ الْهِلَالَ فَصُوْمُوا وَإذَا رَأيْتُمُوْهُ فَأفْطرُوْا فإنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُوْمُوا ثَلا ثِيْنَ يَوْمًا

“Apabila kalian melihat hilal (bulan Ramadhan) maka puasalah dan apabila kalian melihat hilal (bulal Syawal) maka berbukalah (lebaran), dan apabila tertutup awan (mendung) maka berpuasalah 30 hari.” (HR. Muslim)

Penentuan awal dan akhir Ramadhan merupakan masalah khilafiyah. Perbedaan itu dikarenakan dua sebab, yakni pertama ialah metode yang dipakai. Kedua, otoritas yang memiliki wewenang menetapkan.

Ramadhan tahun 1443 H pun terjadi perbedaan kembali. Tahun ini, Muhammadiyah mengeluarkan maklumat berisi keputusan penetapan hasil hisab, 1 Ramadhan 1443 H jatuh pada hari Sabtu ( 02 April 2022). Sementara pemerintah untuk tahun ini sudah menggunakan standar baru menentukan awal bulan Hijriyah yaitu dengan standar yang  mengacu kepada MABIMS 2021 ( Menteri- menteri Agama Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura) dengan kriteria kategori hilal 3° elongasi 6,4°. Padahal sebelumnya Kemenag berpedoman 2° elongasi 3° dan umur bulan 8 jam untuk menetapkan awal Ramadhan. Sementara itu Arab Saudi melalui Mahkamah Agung Saudi menetapkan 1 Ramadhan 1443 H jatuh pada hari Sabtu 2 April 2022, ditentukan mulai dari penghitungan bulan dan penampakan fisik bulan. Penetapan ini diikuti oleh 45 negara.

Perbedaan dalam penetapan awal-akhir Ramadhan yang selalu terjadi dan kesulitan menyatukan  umat Islam dikarenakan umat Islam dan negeri-negeri kaum muslimin tersekat oleh nation state, paham kebangsaan yang dipisahkan oleh batasan wilayah dan ashabiyyah (kesukuan). Umat Islam terpecah menjadi 50 negara kecil, ukhuwah terkoyak oleh batas-batas tersebut. Masing- masing negeri kaum muslimin disibukkan dengan urusannya sendiri. Padahal Umat Islam sejatinya adalah satu tubuh. Persaudaraan mereka diikat oleh akidah Islamiyah (tauhid). Apapun latar belakang wilayah, umat Islam adalah saudara seiman.

Umat Islam di bawah naungan Khilafah Islam yang menerapkan aturan syariat secara kaffah telah mampu menyatukan perbedaan terkait masalah ini. Sehingga Ramadhan syahdu dan suasana ketakwaan meliputi seluruh bagian negara Khilafah, tanpa ada konflik horizontal karena perbedaan penentuan awal dan akhir Ramadhan.

Khilafah merupakan kepemimpinan umum kaum muslimin seluruh dunia untuk menjalankan syariat Islam secara kaffah dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Khilafah sebagai otoritas yang berwenang menetapkan awal-akhir Ramadhan, maka saat khalifah mengumumkan sebuah keputusan, keputusan tersebut mengikat dan wajib ditaati oleh seluruh kaum muslimin. Karena khalifah ialah pemimpin yang dibaiat oleh umat untuk menerapkan syariat Islam wajib ditaati baik lahir dan batin.

Khalifah mempunyai hak melakukan adopsi (tabanni) hukum syariah Islam dan melegalisasikannya menjadi undang-undang yang berlaku mengikat bagi publik. Adopsi ini dilaksanakan khalifah jika terdapat khilafiyah dalam hukum syariah hasil ijtihad. Maka ketika khalifah memilih satu pendapat, rakyat wajib mentaatinya sehingga perbedaan pendapat tidak ada lagi. Kaidah fiqih menyebutkan: Amru al-imam yarfa’u al-khilaf fi al-masail al-ijtihadiyah (Perintah imam/khalifah menghilangkan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah hasil ijtihad/khilafiyah). (M. Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah al-Syar’iyah, III/1797; M. Shidqi al-Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, I/268)

Khalifah nanti akan mengadopsi hukum dalam masalah ini. Tentu pendapat yang diadopsi adalah pendapat yang kuat (rajih) yang sejalan dengan persatuan umat dan kesatuan negara. Yaitu pendapat jumhur ulama yang mewajibkan penggunaan rukyatul hilal (bukan hisab) yang diberlakukan seluruh dunia. Kata Wahbah Az-Zuhaili,”Pendapat jumhur inilah yang rajih menurut saya, untuk menyatukan ibadah kaum muslimin dan mencegah perbedaan pendapat yang tak dapat diterima lagi di masa sekarang.” (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/610, Ahmad bin Muhammad Shiddiq al-Ghumari, Taujih al-Anzhar li Tauhid al-Muslimin fi al-Shaum wa al-Ifthar, hal.19).

Jadi ketika khalifah nanti melakukan rukyat, hasil rukyat akan diberlakukan global kepada seluruh umat Islam. Hal ini ditegaskan oleh Imam Al-Maziri ketika mensyarah hadits-hadits Shahih Muslim tentang rukyatul hilal. “Jika hilal telah terbukti oleh khalifah maka seluruh negeri-negeri Islam wajib merujuk hasil rukyat itu…sebab rukyat Khalifah berbeda dengan rukyat dari selain khalifah. Karena seluruh negeri-negeri yang berada di bawah pemerintahannya dianggap bagaikan satu negeri.” (Imam al-Maziri, Al-Mu’allim bi Fawaid Muslim, Tunis : Ad-Dar At-Tunisiyah, II/44-45)

Untuk itu kebutuhan akan Khilafah sangat mendesak. Karena Khilafah-lah yang akan menyatukan umat Islam, termasuk dalam masalah penentuan awal dan akhir Ramadhan di bawah satu kepemimpinan. Lalu menyebar dakwah Islam baik dalam dan luar negeri. Syariat Islam kaffah akan menjadi keberkahan bagi umat manusia. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]