Bagaimana Hukum Membaca Al-Qur’an di Trotoar?

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb.

Suaramubalighah.com, Tanya Jawab — Ustadzah, mohon diberikan penjelasan tentang maraknya ngaji on the road yang cukup viral dan menyita perhatian publik akhir-akhir ini. Satu sisi, ini adalah sesuatu yang sangat menggembirakan karena syiar islam semakin kental dalam suasana Ramadhan, lebih-lebih diikuti banyak dari kalangan muda-mudi. Namun di sisi lain, muncul fatwa ulama yang menyatakan bahwa mengaji di jalan hukumnya makruh, bahkan bisa menjadi haram. Bagaimana sebenarnya penjelasan terkait dengan hal tersebut?

Jazakillah khoiran katsiran atas penjelasannya.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Ibu yang dirahmati Allah SWT,

Alhamdulillah tsumma alhamdulillah, kita masih diberikan Allah SWT nikmat dipertemukan Ramadhan di tahun ini. Semoga di penghujung Ramadhan, amalan ibadah kita semakin berkualitas dalam berlomba-lomba mendapatkan lailatul qadr.

Ramadhan adalah bulan yang istimewa. Bagi mukmin yang bertakwa, pastilah tidak akan menyia-nyiakan sedetik pun dalam mengisi Ramadhan. Apakah dalam hal ibadah wajib maupun ibadah sunnah, seperti bersedekah, shalat tarawih, hingga memperbanyak membaca Al-Qur’an. Inilah yang mendorong sebagian komunitas di tengah-tengah masyarakat untuk menyemarakkan Ramadhan sekaligus syiar Islam, salah satunya ialah melakukan program ngaji on the road yang diikuti ratusan bahkan ribuan masyarakat. Di Yogya (Malioboro), Bandung, Riau, Serang-Banten, dan di tempat-tempat lain marak ngaji on the road ini.

Satu sisi ini sesuatu yang baik, namun tampaknya ini juga memicu adanya kontroversi. Beberapa waktu lalu, MUI Banten mengeluarkan fatwa tentang hukum mengaji di jalan sebagai hal yang  makruh dan bisa jatuh ke haram. Ringkasnya menurut mereka, karena mengaji di jalan bisa mengganggu para pejalan kaki dan ihanah (tidak mengagungkan Al-Qur’an), bahkan jika itu sampai memunculkan mudharat (kecelakan) maka bisa menjadi haram hukumnya.

Dalam menyikapi hal ini, paling tidak ada 2 hal yang perlu untuk kita perhatikan:

Pertama, terkait dengan kapan dan tempat mana saja yang boleh bagi kita membaca Al-Qur’an. Membaca Al-Qura’an dibolehkan kapan pun jika ingin dibaca. Namun ada waktu-waktu utama yang dapat dikerjakan untuk membaca Al-Qur’an.

Dikutip dari buku Tajwid Lengkap Asy-Syafi’i karya Abu Ya’la Kurnaedi, ada waktu-waktu yang perlu diperhatikan umat, karena ini lebih diharapkan untuk mendapatkan rahmat Allah SWT.

Dia menukillkan pendapat Al-Hafizh Jalaludin As-Suyuthi dalam Al-Itqan fi-Ulumil Quran, bahwa waktu yang paling utama yakni ketika shalat (setelah membaca surat Al-Fatihah), kemudian pada 1/3 malam terakhir, membaca pada malam hari, sewaktu fajar, ketika subuh, dan di waktu-waktu siang.  

Begitu juga disukai membaca Al-Qur’an di tempat yang bersih, jauh dari hal-hal yang bisa mengganggu tilawah. Sebaik-baik tempat membacanya adalah masjid, sebagaimana dikatakan Imam An-Nawawi. Karena selain bersih, ia juga tempat yang paling mulia di atas muka bumi ini. 

Imam Al-Qurthubi dalam At-Tibyan fi Afdhali Adzkar, berkata: “Jangan membaca di pasar-pasar, di tempat-tempat permainan dan hiburan, dan di perkumpulan orang-orang pandir. Tidakkah Anda perhatikan bahwa Allah menyebutkan sifat hamba-hamba-Nya (Ar-Rahman), serta memuji mereka seperti dalam firman-Nya:  وَإِذَا مَرُّوا۟ بِٱللَّغْوِ مَرُّوا۟ كِرَامًا

“Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS Al-Furqan: 72). Ini sekadar berlalu, lantas bagaimana apabila berlalu dengan membaca Al-Qur’an Al-Karim di antara orang-orang yang suka melakukan perbuatan yang sia-sia dan kumpulan orang-orang pandir?”

Adapun membaca di jalan atau di kendaraan, hal itu dibolehkan dan tidak makruh berdasarkan keterangan berikut: 

Dari Abdullah bin Mughaffal ra. dia berkata, “Aku melihat Rasulullah saw. pada hari pembebasan kota Makkah, dan saat itu beliau membaca surat Al-Fath di atas tunggangannya.” (HR. Bukhari)

Kedua, terkait dengan trotoar sebagai salah satu sarana umum. Sarana umum, dalam konsep kepemilikan menurut Islam masuk dalam kategori kepemilikan umum. Kepemilikan umum adalah izin Asy-Syari’ kepada suatu komunitas masyarakat untuk sama-sama memanfaatkan suatu barang atau harta. Benda-benda yang termasuk kedalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh Asy-Syari’ (Allah) memang diperuntukan untuk suatu komunitas masyarakat. Dan Asy-Syari’ melarang benda tersebut dikuasai oleh hanya satu orang/satu komunitas tertentu (An-Nabhani, Nizham al iqtishad fi al-islam).

Trotoar atau jalan umum, digunakan secara bersama-sama oleh setiap individu masyarakat, artinya mereka berhak untuk berlalu-lalang di atasnya. Rasulullah saw. melarang duduk-duduk di jalanan, karena sama dengan menghalangi orang lain untuk berlalu-lalang atau mempersempit mereka. Sebagaimana sabda beliau: “Kalian semua dilarang duduk-duduk di jalan” (Zallum, Al Amwal fi Daulah Al-Khilafah).

Dari paparan di atas, jalan/trotoar adalah masuk fasilitas umum yang siapapun berhak menikmati fasilitas tersebut tanpa ganguan. Menghambat orang yang berlalu-lalang sama saja dengan berbuat zalim. Misal berkendaraan di jalan trotoar atau berjualan di atas trotoar itu juga bisa dikategorikan mengganggu lalu lalangnya orang.

Nah, persoalannya kemudian adalah apakah aktivitas ngaji on the road sudah terkategori mengganggu masyarakat untuk berlalu-lalang ataukah tidak? Jika itu mengganggu lalu-lalang orang-orang maka tinggal diatur saja posisinya, sehingga tidak menghambat peruntukan dari jalan umum. Jadi, jika difatwakan makruh atau bahkan haram aktivitas ngaji on the road karena dianggap mengganggu, maka seharusnya juga diharamkan aktivitas berjualan di jalan tersebut, namun realitanya belum ada keluar fatwa tentang hal tersebut,

Maka, intinya adalah di pengaturan negara. Bagaimana aktifitas masyarakat dalam penggunaan fasilitas umum bisa berjalan secara optimal. Jika ada persoalan, tentu harus diberikan solusi sebaik-baiknya. Lebih-lebih lagi jika terkait dengan syiar Islam, maka negara harus memberikan fasilitas dan sarana terbaiknya agar syiar Islam benar-benar meyebar ke tengah-tengah masyarakat.

Pada dasarnya, mermbaca Al-Qur’an adalah ibadah sunnah yang dianjurkan dalam Islam, lebih-lebih di bulan yang mulia ini, dimana Allah SWT akan lipatgandakan pahala bagi yang membaca maupun yang mendengarkan. Namun memang ada adab dan ketentuan yang perlu untuk diperhatikan agar ibadah ini mendatangkan pahala di sisi Allah SWT. Namun tentunya yang utama dari ini semua adalah bagaimana pelaksanaan/implementasi syariat Islam secara kaffah yang dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an. Justru hal ini sering dilupakan atau bahkan diabaikan. Saat dibacakan ayat tentang keharaman riba, keharaman zina, keharaman menerapkan sistem kufur, dan lainnya, maka harusnya keharaman tersebut benar-benar diterapkan secara konstitusional oleh negara.

Jika hal itu terwujud, maka sungguh keberkahan langit dan bumi akan tercurah untuk umat manusia, tidak hanya umat Islam. Oleh karena itulah sudah semestinya kita semua tidak mencukupkan membaca Al-Qur’an, namun harus menyiapkan segala kemampuan yang kita miliki untuk berjuang mewujudkan sistem Islam yakni Khilafah Islamiyah, yang dengan keberadaannya Insyaa Allah semua perintah dan laramgan Allah SWT di dalam Al-Qur’an dapat terealisasi. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah].