Oleh: Ustazah Rahmah
Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Saat Idulfitri, kita sering mengucapkan selamat Hari Raya Idulfitri “taqabbalallahu minna wa minkum” dan semoga kita termasuk “minal ‘aidin wal faizin“.
Akan tetapi, sering kali masih banyak yang salah dalam memaknai “Idulfitri” dengan ‘kembali ke fitrah atau suci tanpa dosa. Padahal, makna Idulfitri tidak demikian. Lebih jelasnya akan diperinci seputar doa yang diucapkan saat Idulfitri berikut ini.
Makna Idulfitri dan Taqabbalallahu Minna wa Minkum
Secara etimologi kata “ ‘id ” (عيد) yang artinya hari raya terbentuk dari fi’il عاد (mufrad), jika dalam bentuk jamak majrur menjadi العائدين. Sedangkan kata “fitrah” (فطر) bermakna makan atau makanan, (افطر) bermakna berbuka puasa, (Munawir, Ahmad Warson, Al-Munawir (Kamus Arab-Indonesia), Yogyakarta, Pustaka, hlm. 1056 dan 1142).
Perhatikan kata “افطر “ bermakna berbuka puasa dalam hadis berikut:
صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته
“Berpuasalah kalian saat melihatnya bulan (saat awal Ramadan) dan berbukalah (ber-Idulfitrilah) kalian saat melihatnya bulan.” (HR Bukhari-Muslim)
Dengan demikian, “Idulfitri” (عيد الفطر) bermakna hari raya berbuka/makan-makan/menikmati makanan, bukan kembali suci.
Bukan berarti kita tidak boleh berdoa dan mendoakan agar setelah Ramadan kita kembali suci alias tidak mempunyai dosa. Tentu saja boleh, sebagaimana janji Allah, “Barang siapa yang berpuasa Ramadan karena iman dan takwa, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR Ahmad)
Artinya, kalau puasa Ramadan diterima Allah, dosa-dosa kecil pun diampuni. Dosa besar bisa diampuni dengan tobat nasuhah dan dosa sesama manusia diampuni dengan meminta maaf dan dimaafkan. Jika semua dosa sudah dimaafkan, kita pun kembali menjadi suci.
Adapun ucapan “taqabbalallahu minna wa minkum” adalah mendoakan agar seluruh amal ibadah kita diterima dan mendapat pahala berlipat ganda sebagaimana janji Allah mengganjar amal ibadah bulan suci Ramadan. Doa ini sesuai sabda Rasulullah saw.,
تقبل الله منا و منكم
“Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan amal ibadah kalian.” (Sanadnya hasan, Fathul Bari II, hlm. 446; Fikih Sunah bab “Idulfitri”).
Makna “Muttaqin” dan “Minal ‘Aidin wal Faizin”
Ucapan “minal ‘aidin wal faizin” bermakna ‘selamat Hari Raya dan semoga kita termasuk orang-orang yang menang/bertakwa’. Bertakwa mengharuskan kita senantiasa melangkahkan kaki sesuai arahan Al-Qur’an. Hanya dengan berpedoman pada Al-Qur’an inilah menjadikan kita bertakwa dan memperoleh kemenangan.
Sebulan penuh puasa Ramadan telah kita kerjakan, menahan haus dahaga pada siang hari dan menahan hal-hal yang membatalkan puasa. Kita melaksanakan kewajiban sebaik-baiknya. Di samping itu, kita memperbanyak amalan sunah yaitu, iktikaf, sedekah, tadarus, berzikir, berdoa, dan Tarawih
Pada sepuluh hari terakhir Ramadan pun kita tidak mau ketinggalan untuk makin giat beribadah agar memperoleh Lailatulqadar. Semua itu kita lakukan dengan iman dan ikhlas, serta penuh harap agar kita memperoleh target puasa yaitu bertakwa.
Firman Allah Ta’ala dalam QS Al-Baqarah: 183,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٨٣
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Seseorang yang bertakwa akan selalu menjaga diri agar Allah tidak melihatnya di tempat larangan-Nya, ataupun jangan sampai ia tidak didapatkan di tempat perintah-Nya. melaksanakan perintah Allah, dan meninggalkan larangan Allah. (Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyatul Aulat fil Islam, Jakarta, Pustaka Amani, Cetakan kedua, hlm. 339).
Perintah takwa ini juga terdapat dalam QS Ali Imran: 102,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ ١٠٢
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah (dengan) sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”
Imam Zamaksari menafsirkan “haqqa tuqaatih” (حَقَّ تُقَاتِهِ), yaitu benar-benar melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. (Imam Zamaksari, Tafsir al-Kassaf, Juz I, hlm. 306).
Ibnu Katsir menafsirkan dengan ‘hendaklah taat dan janganlah bermaksiat’, sedangkan Imam Jalalain menafsirkan dengan ‘hendaklah taat, maka janganlah bermaksiat; hendaklah bersyukur, maka janganlah kufur, hendaklah ingat (kepada Allah), maka janganlah lupa’. (Tafsir Jalalain, JuzI, hlm. 394).
Mencapai Derajat Takwa
Ramadan tahun ini berlangsung di tengah wabah Covid-19 yang belum berakhir. Seharusnya, kita dapat lebih khusyuk, taqarub pada Allah, bertobat atas segala dosa, introspeksi diri, berikhtiar, bersabar, dan berdoa agar Allah mengangkat wabah ini. Selanjutnya, bersegera menerapkan Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.
Kita melaksanakan shaum Ramadan dengan iman, ikhlas, dan mengharap ridha Allah. Tentu saja dengan harapan memperoleh hikmah puasa, yakni menjadi orang yang bertakwa, yaitu mampu melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya dalam seluruh aktivitas, baik saat beribadah, berekonomi, bergaul, berbudaya, berpolitik, berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, dan bernegara.
Dengan shaum Ramadan, pribadi-pribadi kita ditempa dan dilatih untuk meninggalkan yang mubah, seperti makan minum, apalagi yang haram. Oleh karenanya, pasca-shaum Ramadan akan lahir pribadi-pribadi yang kuat untuk mengekang nafsu syahwat/meninggalkan maksiat.
Imam Al-Qaththan dalam Tafsir Al-Qaththan menafsirkan “agar kalian bertakwa” (لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ), yakni kalian bertakwa dengan meninggalkan syahwat yang mubah. Oleh karenanya, dengan puasa, kita dilatih melakukan keutamaan dan keinginan kuat untuk mengekang nafsu dan meninggalkan syahwat yang diharamkan karena takut pada Allah, baik dalam keadaan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Puasa yang mampu menghasilkan takwa adalah puasa yang mampu meninggalkan maksiat dalam aktivitas apa pun. Syekh Taqiyuddin dalam kitab Syakhshiyyah Islamiyyah II menjelaskan bahwa tidak menerapkan Islam secara kaffah/menyeluruh adalah kemaksiatan terbesar.
Maksiat berupa tidak diterapkannya Islam secara kaffah ini seharusnya disadari sebagai kemaksiatan terbesar dan harus bertobat sebab syarat dikatakan sebagai orang-orang yang bertakwa adalah takut berbuat maksiat.
Hanya dengan cara ini orang-orang yang shaum Ramadan mampu mencapai derajat takwa. Imam Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir dan Imam Tsa’labi dalam Tafsir Tsa’labi senada menafsirkan “agar kalian bertakwa” (لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ), yaitu ibadah puasa menyebabkan takut berbuat maksiat karena sesungguhnya mengekang syahwat dan melemahkan seruan-seruan bermaksiat. Ini sebagaimana dalam hadis sahih,
قَالَ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ : الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنَ النَّارِ، وَهُوَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
“Rabb kita ‘azza wa jalla berfirman, ‘Puasa adalah perisai yang dengannya seorang hamba membentengi diri dari api neraka, dan puasa itu untuk-Ku, Akulah yang akan membalasnya.’” (HR Ahmad)
Harus Kaffah
Memang, takwa merupakan target besar, yaitu perubahan besar yang meliputi multidimensi. Bertakwa berarti melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya di seluruh aspek kehidupan. Dengan kata lain, orang bertakwa harus meninggalkan maksiat, meninggalkan hukum buatan manusia, meninggalkan kapitalisme, materialisme, liberalisme, dan isme-isme lain secara total. Sebagai gantinya, ia harus menerapkan syariat Islam kaffah.
Ketaatan pada Allah tidak akan bisa sempurna manakala ketakwaan yang diraih hanyalah ketakwaan individu. Takwa pada Allah mengharuskan menaati-Nya di seluruh aspek kehidupan, baik ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah. Tentu saja orang yang bertakwa tidak hanya sesuai aturan Allah saat shalat, shaum, dan berhaji. Akan tetapi, saat menjalankan aktivitas lain juga harus sesuai aturan Allah.
Guru dikatakan bertakwa pada Allah jika melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan maksiat kepada-Nya dalam setiap aktivitasnya. Ibadah mahdhah-nya sesuai perintah Allah. Di samping itu, dalam aktivitas sehari-hari yang ia jalankan harus sesuai aturan Allah, termasuk saat ia menjadi guru. Materi yang ia ajarkan kepada siswa harus berdasarkan pada Islam, bukan pada sekularisme liberalisme, bukan sebatas mengajarkan taat Allah dalam urusan akhirat, tetapi bebas membuat aturan untuk mengurus kehidupan dunia.
Begitu pula seorang pejabat, tidak bisa dikatakan bertakwa jika hanya rajin shalat, shaum, haji, zakat, bahkan menyantuni fakir miskin dan rajin shaum Senin-Kamis. Sedangkan dalam melaksanakan tugasnya dan amanahnya tidak berdasarkan syariat Islam, bahkan ia mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis.
Walhasil, bertakwa tidak sebatas takwa secara individu, tetapi menuntut kita melaksanakan perintah Allah dengan ikhlas hanya karena Allah, dan meninggalkan larangan-Nya atau meninggalkan maksiat, baik sebagai individu dan amanah yang ada di pundak kita.
Melalui shaum dan amal ibadah saat Ramadan, insyaallah akan mencapai ketakwaan. Inilah yang mengantarkan kaum muslim menjadi ٱلۡفَآئِزُونَ (orang-orang yang memperoleh kemenangan).
Ciri-ciri orang yang menang adalah menaati hukum Allah dan Rasul-Nya, takut kepada-Nya, dan bertakwa kepada-Nya dengan melaksanakan seluruh perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Ini sebagaimana disebut dalam QS An-Nur: 52,
وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَخۡشَ ٱللَّهَ وَيَتَّقۡهِ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَآئِزُونَ ٥٢
“Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.”
Ibnu Abbas dalam Tanwir Miqbas menafsirkan “ٱلۡفَآئِزُونَ” (orang-orang yang memperoleh kemenangan), “Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam penerapan hukum syara’ (melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya) dan takut pada Allah (terhadap dosa yang telah dikerjakan) dan takut melakukan dosa/bermaksiat kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan dengan masuk surga dan dijauhkan dari neraka.”
Orang-orang yang memperoleh kemenangan adalah mereka yang berpegang teguh terhadap Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai pedoman hidup.
Rasulullah saw. bersabda,
“إنَّ هَذَا الْقُرْآنَ هو حَبْلُ اللهِ الْمتِينُ، وهو النور المبين وهُوَ الشِّفَاءُ النَّافِعُ، عِصْمةٌ لِمَنْ تَمَسَّكَ بِهِ، ونَجَاةٌ لِمَنِ اتَّبَعَهُ”
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah tali Allah yang kokoh, ialah cahaya yang nyata, ia juga obat yang bermanfaat, pencegah dosa bagi siapa pun yang berpegang teguh kepadanya, dan kemenangan bagi siapa saja yang mengikutinya.” (HR Hakim)
Dengan demikian, agar shaum kita dapat mencapai derajat takwa, kita harus melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya. Bertakwa juga mengharuskan kita memperjuangkan berbagai hal: persatuan kaum muslim, Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, dan tegaknya Islam secara kaffah. Inilah yang akan mengantarkan kita menjadi orang-orang yang memperoleh kemenangan. Insyaallah. [SM/LY]
Sumber: muslimahnews.net