Mewaspadai Tuntutan Kesetaraan Gender dalam Ikrar Ulama Perempuan Indonesia

  • Opini

Oleh: Dedeh Wahidah Achmad

Suaramubalighah.com, opini — Kongres Ulama Perempuan (KUPI) yang kedua akan diselenggarakan pada 25 hingga 27 November 2022 di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara.

Kongres lima tahunan tersebut akan diikuti oleh jaringan KUPI di 34 provinsi. Jaringan ini mulai dari ormas sipil keagamaan hingga civitas academica. Bahkan, ada pula peserta undangan dari negara-negara sahabat (beritapantura.id).

KUPI pertama berlangsung lima tahun lalu. Tepatnya 25-27 April 2017 di Cirebon. Salah satu hasil kongres tersebut adalah dicetuskannya lima ikrar Ulama Perempuan. Teks ikrar keulamaan perempuan tersebut kembali diposting oleh mubaddalah.id 27 April 2022. 

Dari lima ikrar tersebut ada tiga yang menarik untuk dicermati, karena sarat dengan asumsi ketidakadilan dan menggambarkan semangat tuntutan kesetaraan yang selama ini getol dikumandangkan oleh para pegiat gender.

Berikut beberapa analisa terkait ikrar Ulama Perempuan:

Poin 1. Perempuan adalah manusia yang memiliki seluruh potensi kemanusiaan sebagaimana laki-laki melalui akal budi dan jiwa raga. Semua ini adalah anugerah Allah SWT yang diberikan kepada setiap manusia yang tidak boleh dikurangi oleh siapa pun atas nama apa pun.

Dalam teks di poin 1 ini seolah ada kondisi yang mengancam dan merampas potensi kemanusian perempuan sehingga perlu ada penekanan agar potensi ini tetap adanya, tidak dikurangi apalagi dihilangkan. Benarkah ada pihak yang mengurangi potensi perempuan sebagai manusia? Siapa pihak yang dimaksud?

Poin 2. Sepanjang sejarah Islam sejak masa Rasulullah saw., ulama perempuan telah ada dan berperan nyata dalam pembentukan peradaban Islam, tapi keberadaan dan perannya terpinggirkan oleh sejarah yang dibangun secara sepihak selama berabad-abad. Kehadiran ulama perempuan dengan peran dan tanggung jawab keulamaannya di sepanjang masa pada hakikatnya adalah keterpanggilan iman dan keniscayaan sejarah.

Benarkah peran ulama perempuan terpinggirkan? Bagaimana bentuk nyata peminggiran peran ulama perempuan tersebut? Sejarah apa yang meminggirkan peran ulama perempuan secara sepihak?

Poin 4. Sebagaimana ulama laki-laki, ulama perempuan bertanggung jawab melaksanakan misi kenabian untuk menghapus segala bentuk kezaliman sesama makhluk atas dasar apa pun, termasuk agama, ras, bangsa, golongan, dan jenis kelamin. Sebagai pengemban tanggung jawab ini, ulama perempuan berhak menafsirkan teks-teks Islam, melahirkan dan menyebarluaskan fatwa serta pandangan keagamaan lainnya.

Mengapa pada poin 4 ini ada penekanan pada menghapus kezaliman sesama makhluk atas dasar apa pun, termasuk agama, ras, bangsa, golongan, dan jenis kelamin?

Jika kita mencermati dan mengkaitkan ikrar 1, 2, dan 4, maka ada benang merah yang bisa diambil yakni, kalimat-kalimatnya mengandung asumsi bahwa eksistensi ulama perempuan ada dalam ancaman, peran dan potensinya terpinggirkan, sehingga perlu ada upaya untuk mengangkat eksistensi mereka sebagai ulama perempuan di antaranya dengan memberikan hak kepada ulama perempuan untuk menafsirkan teks-teks Islam.

Demikianlah yang dinyatakan oleh Ketua Tim Pengarah KUPI pertama Badriyah Fayumi, “Melalui KUPI ini kita ingin nyatakan bahwa ulama perempuan ada, eksis, dan sudah terbukti berkontribusi. Dan inilah saatnya kita mengakui keberadaan mereka, sekaligus memberikan apresiasi atas keberadaan dan kontribusi ulama perempuan teFayumi.”

Benarkah asumsi-asumsi tersebut? Bagaimana sebenarnya Islam memandang peran ulama perempuan?

Islam Memberikan Kesempatan yang Sama pada Laki-Laki dan Perempuan Untuk Menjadi Ulama

Imam Ath Thabari menyatakan  bahwa ulama adalah orang-orang yang Allah Shubhanahu wa Ta’ala menjadikan sandaran manusia kepada mereka dalam bidang fikih dan ilmu (agama), serta berbagai perkara agama dan dunia. [ath-Thabari, Jami’ul Bayan 3/327].

Merujuk pada makna tersebut, maka tidak ada pembatasan bahwa ulama hanya ada dari kalangan laki-laki saja. Perempuan pun bisa menjadi ulama selama mereka memenuhi kompetensi keulamaan, yakni faqih fiddin.

Demikian juga jika dikaitkan dengan kesempatan yang Islam berikan untuk mencapai fakih fiddin, tidak ada pengecualian. Laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama untuk menguasai ilmu agama, yaitu dengan tholabul ilmi. Rasulullah saw. dalam sabdanya,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

 “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah no. 224).

Sejarah Peradaban Islam Menghormati peran Ulama perempuan

Jika asumsi mereka benar, ada sejarah yang meminggirkan peran ulama perempuan, maka pasti bukan sejarah peradaban Islam. Dalam catatan sejarah justru Islamlah yang memberikan peran mulia pada ulama perempuan. Islam melahirkan ulama-ulama perempuan seperti Aisyah ra. yang memiliki julukan Humairah dikenal sebagai perempuan yang sangat cerdas. Tidak kurang dari 1.210 hadis Rasulullah diriwayatkan oleh Aisyah ra., dan sekitar 300 di antaranya bahkan telah diriwayatkan kembali secara bersama oleh ahli hadis Al Bukhari dan Muslim.

Bukti lainnya adalah Zubaidah binti Abu Ja’far al-Manshur. Beliau putri Khalifah Abu Ja’far al-Manshur, Khalifah kedua Dinasti Abbasiyah. Zubaidah adalah sosok ulama perempuan yang jadi panutan pada masanya. Selain menghafal Al-Qur’an, beliau juga menyukai seni dan sastra.

Ibnu Hajar al-Asqalani, seorang ahli hadis terkemuka bahkan dalam buku Al Ishabah fi Tamyiz ajh-Shahabah  menyebutkan, bahwa terdapat 500 perempuan ahli hadis. Imam ad-Dzahabi dan Abu Abdillah Muhammad, ahli hadis masyhur menyebut 4.000 hadis tentang rijal hadis yang terdiri atas laki-laki dan perempuan.

Ia juga mengatakan, ”Tidak ada kabar dari seorang pun ulama bahwa keterangan seorang perempuan ditolak hanya karena ia perempuan. Berapa banyak sudah hadis yang diterima bulat oleh para ulama berasal dari seorang perempuan sahabat Nabi. Hal ini tidak ditolak oleh siapa pun yang mempelajari hadis, meski minimal.”

Jadi jelaslah bahwa Islam tidak memandang rendah peran ulama perempuan. Sebagai  ulama mereka memiliki kedudukan yang sama dengan ulama laki-laki. Mereka pun mempunyai tanggung jawab yang tidak berbeda dengan kaum laki-laki untuk menyampaikan kebenaran, dan untuk melakukan amar makruf nahi mungkar, sebagaimana firman Allah SWT, dalam Al-Qur’an surah At Taubah ayat 71.

Penafsiran Nash Syar’i Bukan Hak Laki-Laki Atau Perempuan

Para ulama adalah para fuqaha Islam, orang-orang yang beredar fatwa terhadap perkataan ini di tengah manusia (umat Islam), orang-orang yang menentukan diri dengan melakukan istinbath hukum-hukum Islam dan memberikan perhatian khusus dengan mencatat kaidah-kaidah halal dari yang haram. [Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqqi’in 1/7].

Ulama tidak menuntut pengakuan, tapi membuktikannya dengan karya-karyanya yang disampaikan kepada umat. Istinbath hukum syara yang dilakukannya cukup menjadi bukti bahwa dia adalah ulama.

Tuntutan untuk memberikan hak menafsirkan teks Islam kepada ulama perempuan adalah tuntutan yang tidak ada dasarnya. Teks-teks Islam adalah nash-nash syar’i yang merupakan khithab, seruan Asy Syaari’, Allah SWT. dan rasul-Nya. Dari nash tersebut akan digali hukum syara’  yang akan mengatur perbuatan manusia. Tidak sembarangan orang boleh melakukannya. Dibutuhkan keahlian khusus, yakni kemampuan untuk melakukan ijtihad. Hanya orang yang mempunyai kecakapan mumpuni bisa melakukannya. Merekalah yang disebut mujtahid. Mereka adalah orang-orang pilihan yang akan diberikan balasan oleh Allah SWT sekalipun hasil ijtihadnya salah, sebagaimana Nabi saw. bersabda,

 إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ، فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ، فَلَهُ أَجْرٌ

“Apabila seorang hakim menghukumi suatu masalah lalu dia berijtihad kemudian dia benar, maka dia mendapat dua pahala. Apabilia dia menghukumi suatu masalah lalu berijtihad dan dia salah, maka dia mendapatkan satu pahala.” [HR Muslim no 1716].

Ulama adalah orang sungguh-sungguh menyampaikan dan mengajarkan hukum Allah, serta paling berani melakukan amar makruf nahi mungkar. Imam Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin mengatakan, “Tradisi ulama adalah mengoreksi penguasa untuk menerapkan hukum Allah, kerusakan masyarakat adalah akibat kerusakan penguasa dan kerusakan penguasa itu akibat kerusakan ulama.”

Mewaspadai Tuntutan Kesetaraan Gender di Balik Ikrar Ulama Perempuan

Syaratnya tuntutan kesetaraan gender dalam ikrar ulama perempuan patut diwaspadai. Para pegiat gender akan terus mencari peluang dalam berbagai kesempatan untuk mengaruskan pemikiran-pemikirannya. Termasuk melalui forum-forum keagamaan.

Umat perlu terus disadarkan bahwa tuntutan kesetaraan gender bukan berasal dari Islam. Muslimah tidak butuh kesetaraan gender karena syariat Islam telah memberikan posisi dan status yang mulia sebagai hamba Allah SWT.

Cukuplah firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah al Ahzab ayat 36 menjadi pengingat kita untuk ridha dengan ketentuan yang sudah Allah dan Rasul-Nya tetapkan,

وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ وَّلَا مُؤۡمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوۡلُهٗۤ اَمۡرًا اَنۡ يَّكُوۡنَ لَهُمُ الۡخِيَرَةُ مِنۡ اَمۡرِهِمۡ ؕ وَمَنۡ يَّعۡصِ اللّٰهَ وَرَسُوۡلَهٗ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيۡنًا

 “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin,apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.”

Wallahu a’lam bishshawab. [SM/LY]

Sumber: Materi Diskusi Online WAG MuslimahNewsID