Oleh: Zakiyah Amin
Suaramubalighah.com, opini — Beberapa waktu lalu, masyarakat dibuat heboh dengan adanya sebuah video di Facebook yang memperlihatkan sosok pria di Sukabumi menantang umat Islam dan menginjak Al-Qur’an. CER alias Dika Eka (25) selaku tersangka yang membuat video, mengungkapkan pengakuan di balik pembuatan video tersebut. Dia mengaku perbuatannya itu didasari karena kurang iman. (Detik.com, 05/05/2022)
Akibat video tersebut, warganet pun sangat geram bahkan mengecam karena dianggap sebagai penistaan agama, dalam hal ini Islam. Warganet mendesak agar pihak yang berwajib segera menangani lebih lanjut tindakan pria tersebut.
Kecaman warganet sangatlah beralasan, motif apapun yang melatarbelakangi tindakannya sangat tidak bisa diterima dengan pendekatan apapun. Pasalnya Al-Qur’an sebagai kitab suci yang dimuliakan dan pedoman hidup umat manusia, dinistakan dan dihinakan dengan bebasnya. Manusia yang mengimani Al-Qur’an, sudah pasti terluka karena penistaan tersebut. Ironisnya pun pelaku beragama Islam.
Kasus demi kasus penistaan agama terus terjadi. Ini bukan kali pertama, tapi sudah banyak kasus penistaan lainnya yang terang-terangan dipublikasi. Seolah sudah menjadi tindakan lumrah, karena hukum yang berlaku di negeri ini tidak mampu memberikan efek jera bagi pelakunya. Muncul pertanyaan penting, apa yang terjadi di negeri ini, sehingga aksi penistaan agama begitu subur? Sadarkah jika perbuatannya itu menistakan agama?
Pertanyaan seperti itu sudah sering kali muncul di negeri yang berpenduduk mayoritas beragama Islam. Para penista dan pembenci Islam tidak takut bahkan lebih berani melakukan aksinya. Dan salah satu sebab utamanya ialah karena adanya kebebasan berperilaku di luar syara’ atau liberalisasi yang dianut sebagai sesuatu yang menjadi kiblat bagi sebagian masyarakat. Realitasnya, sistem demokrasi liberal yang mendominasi negeri ini tidak mampu mengatur seluruh urusan manusia.
Liberalisme Merusak Sendi Kehidupan Bermasyarakat
Pada sistem demokrasi liberal, negara melindungi empat kebebasan yaitu kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan bertingkah laku, dan kebebasan untuk memiliki sesuatu. Kebebasan-kebebasan ini dibuat atas dasar prinsip bahwa kekuasaan dan kedaulatan ada di tangan rakyat. Artinya rakyatlah yang punya otoritas membuat aturan atau undang-undang. Jika prinsipnya saja bersumber dari rakyat, sedangkan rakyat adalah manusia yang selalu bertingkah laku salah, maka tidaklah mengherankan jika sering terjadi penistaan atau kekacauan dalam segala lini kehidupan. Seperti kasus penistaan yang terjadi di Sukabumi juga masih banyak lagi kasus lainnya, yang terus bermunculan disebabkan sistemnya membuka peluang.
Terkait dengan kebebasan berperilaku (liberalisme), maka pandangan bagi masyarakat demokrasi adalah kebebasan individu-individu di atas segalanya. Sehingga ikatan perbuatannya serba bebas (liberalisme) dan standar perilakunya adalah kemaslahatan yang bersifat relative dan kondisional. Pandangan seperti ini sangat berbeda jauh dengan pandangan Islam. Yang mana otoritas pembuat hukum adalah Allah SWT sedangkan manusia sekadar memahami dan mengaktualisasikan. Dan segala bentuk perbuatan manusia terikat oleh hukum syara’, jika dilakukan dengan bebas pun tetap harus sesuai hukum syara’.
Liberalisme tidak akan pernah bisa menyelesaikan problematika manusia karena tidak berkesesuaian dengan fitrah manusia. Manusia adalah makhluk yang lemah sehingga tidak layak membuat aturan hidupnya. Aturan Sistem kapitalis-liberal bersumber dari akal manusia yang sangat terbatas dan kepuasan materi yang menjadi tolok ukurnya.
Liberalisme terus menyasar umat Islam dan ajarannya. Kalaupun diproses oleh kepolisian tetap saja tidak ada jaminan akan selesai masalah karena hukum yang dipakai sangat lemah. Justru memunculkan banyak polemik. Polemik penistaan agama yang baru saja terjadi seakan menginformasi betapa jargon “Pancasila harga mati” tidak terbukti sakti, karena pelaku dengan bebasnya melakukan bahkan memviralkan di media sosial dan berani menantang umat Islam.
Kasus penistaan agama Islam ini merupakan buah busuk dari sistem kapitalisme-liberal. Penegakan hukum masyarakat kapitalisme terpecah-pecah secara individualistik dan peraturannya terus berubah-ubah tidak mengikat sehingga bebas tidak ada saling mengontrol, mengawasi, serta mengoreksi tingkah laku masyarakat karena tidak memiliki standar penegakan hukum yang mengikat. Bisa dibayangkan betapa berbahayanya liberalisme membius individu dan merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Menawarkan pola berperilaku liberal dan tanpa sadar manusia dibuat terlena dengan kehidupan yang tidak jelas arahnya. Problematika ini tentu tidak bisa kita biarkan, dibutuhkan solusi tuntas untuk penyelesaiannya.
Masyarakat Islam Kaffah, Solusi Tuntas
Masyarakat individualistik-liberal jelas berbeda dengan masyarakat Islam. Dimana masyarakat Islam memiliki karakteristik tersendiri dalam membentuk perasaan takwa dalam diri individu. Hal ini dijelaskan dalam firman-Nya,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
_“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar sebagai penegak keadilan dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berbuat tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat dengan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8)
Lebih dari itu, masyarakat Islam memiliki kepekaan indera yang tajam terhadap berbagai gejolak masyarakat apalagi terhadap adanya kemungkaran yang mengancam keutuhan masyarakat. Dari sisi inilah maka amar makruf nahi mungkar menjadi bagian yang paling esensial sekaligus yang membedakan masyarakat Islam dengan masyarakat lainnya. (Al Azhar Press, Arief Iskandar, 2020)
Allah SWT berfirman,
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah SWT.” (QS. Ali Imran: 110)
Oleh karena itu ketakwaan individu dapat dipengaruhi dan dituntun oleh pandangan masyarakat. Model masyarakat inilah individu yang berbuat maksiat tidak berani terang-terangan berbuat, bahkan berpikir berulang kali untuk berulah. Kalaupun terdesak mau melakukannya, akan berusaha sembunyi-sembunyi. Dengan secara sadar akan kembali ke jalan yang benar dan bertobat atas kekhilafannya. Sehingga pengawasan masyarakat dalam amar ma’ruf nahi munkar dijadikan salah satu asas untuk menopang kehidupan masyarakat Islam.
Di masa Nabi Muhammad saw., kaum munafik sekalipun tidak berani menampakkan apa yang mereka sembunyikan. Di zaman kekhilafahan Abbasiyah ada orang-orang fasik, dalam jumlah sedikit, mendatangi rumah-rumah Nasrani (kafir dzimmi) secara diam-diam hanya untuk meminum seteguk khamr. Hal ini terjadi bukan karena takut terhadap penguasa saja tetapi mereka takut menghadapi perlawanan masyarakat. Tekanan keras dari masyarakat yang melakukan amar makruf nahi mungkar inilah yang menjadi faktor kuat untuk mendorong sekelompok kecil penyeleweng bersembunyi dan tidak berani terang-terangan di muka umum. (Al-Azhar press, cetakan III, 2020)
Dengan demikian tidak ada solusi terbaik dalam mengatasi kerusakan akibat liberalisme kecuali dengan sistem Islam. Dimana dengan sistem Islam, negara mempunyai bangunan yang kokoh dan menyatu dengan tingkah laku individu dan masyarakat. Negara berwewenang penuh untuk menerapkan hukum-hukum syara’ secara adil dan menyeluruh serta ummat menjadi penyangganya. Sehingga para pembenci dan penista agama tidak bernyali melakukan tindakan di luar batas atau melakukan tindakan melanggar aturan syara’. Tidak akan membiarkan penista agama tumbuh subur, karena pemahaman liberalisme pasti akan mendapatkan sanksi yang memiliki efek jera. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]