Oleh: Mahganipatra
Suaramubalighah.com, muslimah dan keluarga — Halalbihalal merupakan tradisi unik yang hanya ditemukan di wilayah negeri muslim Indonesia. Kemunculan tradisi ini memiliki berbagai versi sejarah. Namun demikian, pada umumnya masyarakat muslim Indonesia sepakat bahwa tradisi halalbihalal merupakan bagian dari perwujudan untuk menyambung tali silaturahmi dan silah ukhuwah yang dilaksanakan oleh sanak saudara, sekelompok orang, atau bahkan oleh lembaga-lembaga yang ada di tengah-tengah masyarakat selepas pelaksanaan perayaan hari raya Idulfitri atau lebaran.
Di dalam KBBI telah dijelaskan bahwa halalbihalal mengandung arti sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan.” Dengan kata lain, bahwa halalbihalal bermakna saling bermaaf-maafan pada saat lebaran dan dianggap sebagai tradisi hari raya. Sekaligus dimanfaatkan sebagai momen untuk saling bertemu dan berkumpul untuk mempererat hubungan tali silaturahmi dan silah ukhuwah antar sesama saudara, kerabat, dan handai tolan. Baik yang berada di tempat yang dekat maupun di tempat yang jauh, agar dapat saling melepaskan rindu dan memenuhi kewajiban menyambung tali silaturahmi dan silah ukhuwah sesuai dengan perintah Allah SWT.
Tradisi dan Tujuan Halalbihalal bagi Umat Islam
Momen halalbihalal sebagai momen untuk saling maaf-memaafkan sebenarnya tidaklah relevan, karena untuk meminta maaf tidak harus menunggu lebaran. Akan tetapi aktivitas saling memaafkan bagi setiap muslim dapat dilakukan kapan saja dan di mana pun tanpa harus menunggu momen tersebut.
Namun, bagi setiap keluarga dan masyarakat Indonesia, momen halalbihalal merupakan momen yang sangat dinantikan dengan penuh suka cita. Sebab tak dapat dipungkiri bahwa kesibukan, jarak, maupun waktu kadang kala menjadi salah satu kendala yang menyebabkan sulitnya bagi sebagian dari mereka untuk bertemu dan berkumpul. Oleh karena itu, maka keberadaan acara halalbihalal sebagai tradisi khas Indonesia dianggap tidak menyelisihi hukum syariat Islam. Selama tujuannya sesuai dengan syariat dan rangkaian tata cara pelaksanaan acara tersebut masih dalam koridor syariat Islam.
Berbeda halnya ketika acara halalbihalal yang dilaksanakan mengandung nilai dan subtansi yang bertentangan dengan syariat Islam. Karena memiliki tujuan yang melanggar syariat Islam. Bahkan ada unsur politik dan pesan yang justru membahayakan umat Islam di balik perayaan halalbihalal. Hal ini seperti tercermin dalam aktivitas halalbihalal yang diselenggarakan oleh Kemenag kabupaten Rembang, yang dihadiri oleh Wibowo Prasetyo, Staf Khusus Menteri Agama Bidang Media Kominikasi Publik dalam tema acara “Halalbihalal dalam Bingkai Moderasi Beragama” di Kabupaten Rembang, Sabtu (14/5/2022).
Beliau menyampaikan bahwa halalbihalal adalah tradisi masyarakat Indonesia yang harus dinguri-uri dan dilestarikan. Sebab halalbihalal dianggap sebagai tradisi khas Indonesia yang menggambarkan wajah Indonesia yang toleran, saling menghormati antar pemeluk beragama, dan saling memaafkan tanpa ada sekat dan status agama. Momen halalbihalal dianggap sebagai moment untuk memperkuat moderasi beragama dengan menjadikan tradisi halalhihalal sebagai bagian dari tradisi yang lahir dari paham keagamaan yang moderat. Tradisi ini dianggap sebagai tradisi dan budaya baru yang akan mampu menyelesaikan konflik perbedaan antar umat beragama dan meredam konflik komitmen kebangsaan yang berujung pada tindak kekerasan. Bahkan tradisi ini dianggap akan mampu memperkuat kohesi sosial di masyarakat.
Pandangan Islam terhadap Tradisi dan Budaya Halalbihalal
Islam merupakan agama yang sempurna yang memiliki pandangan yang khas baik yang berkaitan dengan kohesi sosial maupun yang berhubungan dengan hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan akidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan seluruh aspek kehidupan yang lainnya. Termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan perayaan hari raya dan tradisi-tradisi yang muncul di sebagian negara-negara muslim.
Hal ini disebabkan karena dalam Islam, hukum-hukum syariatnya bersifat pasti dan tidak pernah berubah. Standar yang menjadi dasar dalam penetapan hukum sebuah aktivitas yang bersifat amali (perbuatan) selalu disandarkan pada standar hukum yang bersifat jazm (pasti). Dengan sumber hukum yang pasti pula, yakni berdasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, ijma, serta qiyas.
Adapun terkait hukum dalam memperingati dan melaksanakan hari raya, jika hukum perayaannya telah dijelaskan oleh syariat, maka hukum dan tata cara pelaksanaannya akan dilaksanakan sesuai dengan yang telah diperintahkan dan dicontohkan oleh Rasulullah saw.. Dalam hal ini, beliau telah menganjurkan kepada umat muslim untuk bergembira pada dua hari raya yaitu hari raya Idulfitri dan Iduladha. Diriwayatkan dari Anas ra., ia berkata, “Sekali waktu Nabi saw. datang ke suatu kawasan di Madinah, di sana penduduknya sedang bersuka ria selama dua hari. Lalu Nabi bertanya ‘Hari apakah ini (sehingga penduduk Madinah bersuka ria)?‘ Mereka menjawab, ‘Dulu semasa zaman jahiliah pada dua hari ini kami selalu bersuka ria.’ Kemudian Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya Allah SWT telah menggantikannya dalam Islam dengan dua hari yang lebih baik dan lebih mulia, yaitu hari raya kurban (Iduladha) dan hari raya fitri.’”
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw. Bersabda,
«ﺇِﻥَّ ﻟِﻜُﻞِّ ﻗﻮﻡ ﻋﻴﺪا، ﻭَﺇِﻥَّ ﻋﻴﺪﻧﺎ ﻫَﺬَا اﻟﻴَﻮْﻡُ»
“Sungguh bagi setiap kaum memiliki hari raya. Dan ini adalah hari raya kita.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan mengenai tradisi dan perayaan-perayaan hari raya yang sejenis yang tidak dijelaskan di dalam syariat Islam, maka terdapat perbedaan pendapat. Setiap tradisi dan khazanah kebudayaan hari raya yang muncul di tengah-tengah umat Islam pada setiap wilayah akan dinilai keberadaannya dengan standar hukum syara. Sebab Islam memiliki pandangan yang khas. Sejak masa Rasulullah saw. dan sepanjang sejarah kehidupan Islam, hampir di seluruh belahan negeri-negeri muslim yang lain, kaum muslim memiliki berbagai tradisi perayaan.
Di dalam Islam, perayaan hari raya yang lahir sebagai wujud untuk tujuan mengimplementasikan rasa syukur dan kebahagiaan memiliki dua pandangan dan pendapat yang berbeda. Sebagian pendapat membolehkannya karena dianggap tidak ada dalil yang mengharamkannya. Sementara yang lain menganggapnya sebagai aktivitas bid’ah karena tidak ada tuntunan yang dicontohkan Rasulullah saw..
Menurut fatwa ulama Al-Azhar, Syekh Athiyyah, mufti Mesir, apapun bentuk perayaan yang baik adalah tidak apa-apa, selama tujuannya sesuai dengan syariat dan rangkaian acaranya masih dalam koridor dalam Islam. Boleh saja setiap peringatan itu disebut perayaan. Sebab yang dinilai adalah subtansinya, bukan namanya (Fatawa Al-Azhar, 10/160).
Jadi halalbihalal jika sekadar bersilaturahmi ke tetangga dan kerabat dengan tujuan untuk mempererat persaudaraan dan saling bermaaf-maafan maka hal tersebut tidaklah bertentangan dengan syariat Islam. Justru momen ini harus dijadikan momen terbaik untuk semakin mempererat tali persaudaraan sesama muslim untuk semakin memperkokoh perjuangan agar kebangkitan umat Islam segera terwujud. Menjadikan Islam sebagai satu-satunya jalan dalam meraih semangat menjalin persatuan dan kesatuan umat Islam di seluruh dunia dalam naungan Khilafah Islamiyyah. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]