Viral “Agama Tentatif”, Cermin Krisis Agama di Tengah Masyarakat Akibat Moderasi

  • Opini

Oleh: Wiwing Noeraini

Suaramubalighah.com, opini — Baru-baru ini di media sosial, muncul istilah baru, yakni “agama tentatif”. Istilah ini ramai diperbincangkan karena beredarnya biodata beberapa tokoh publik yang menuliskan kolom agama dengan menyematkan kata “tentatif”, seperti “tentatif Kristen” maupun “tentatif Islam”. (Satu Kanal, 13/5/2022).

Berawal dari hal itu, warganet mempertanyakan apa yang dimaksud “agama tentatif” tersebut?

Berdasarkan KBBI, agama bermakna ‘ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta manusia dan lingkungannya’.

Sedangkan tentatif bermakna ‘belum pasti; masih dapat berubah’ atau ‘sementara waktu’. Oleh karenanya, maksud frasa “agama tentatif” sendiri dapat merujuk pada ‘keyakinan seseorang yang masih belum pasti atau dapat berubah di kemudian hari’.

Di Indonesia, bagi orang dewasa, mengubah status agama merupakan hak dan hal ini diatur UU atau peraturan negara. Ini karena hak memeluk agama adalah urusan pribadi. Adapun cara pindah agama cukup mudah dan memiliki dasar hukum, yakni UUD 1945 pasal 29 dan UU 24/2013.

Hal ini mengundang sejumlah tanya, ada apa sebenarnya di balik viralnya frasa “agama tentatif”? Bagaimana pandangan Islam? Bagaimana seharusnya kita bersikap?

Upaya Menggiring Umat

Di balik viralnya frasa “agama tentatif”, tampak jelas ada upaya menggiring umat untuk berpikir bahwa berpindah agama adalah hal biasa, bukan sebuah hal buruk dan tabu.

Demikian juga, ada upaya menggiring umat agar merasa “biasa-biasa saja” menyikapi orang yang berpindah agama sehingga tidak perlu menghujat dan mencela mereka.

Jika kita merujuk definisi “agama tentatif” di atas tadi, jelas pemikiran tersebut lahir dari relativisme kebenaran agama yang dikampanyekan gerakan moderasi beragama. Dalam perspektif moderasi beragama, semua agama adalah benar.

Dengan pemahaman seperti ini, umat pada akhirnya menganggap tidak mengapa beragama apa pun karena semua agama benar, serta tidak mengapa memiliki keyakinan yang berubah-ubah. Hari ini meyakini Islam yang benar, misalnya, beberapa waktu kemudian bisa jadi Kristen yang diyakini benar.

Dengan secara saksama memperhatikan, viralnya “agama tentatif” adalah cermin krisis keagamaan di tengah masyarakat akibat moderasi beragama. Bisa diprediksi, apabila moderasi beragama terus dipropagandakan, akan banyak umat Islam yang tidak mantap dengan agamanya dan memilih beragama secara tentatif.

Jika hal ini kita kaitkan dengan kondisi sekarang, ketika ada sebagian umat Islam yang berpindah agama (murtad) akibat provokasi seseorang atau sekelompok orang, bahkan begitu masifnya proses pemurtadan ini diangkat hingga MUI Sumut berupaya menelusuri kasusnya (berita Suara Sumut, 15/5/2022), maka makin menguatkan dugaan bahwa viralnya “agama tentatif” ini memang sengaja diaruskan agar makin banyak umat Islam yang murtad dan tidak ada yang mempermasalahkan hal tersebut.

Akan muncul pikiran, “Toh semua agama benar, tidak apa-apa kan pindah pindah agama? Semua agama mengajak kepada kebaikan, menyembah Tuhan yang sama, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dan semua pemeluknya juga akan masuk surga.”

Sekularisme yang diterapkan di negeri ini tentu berperan besar dalam melahirkan orang-orang yang berpikiran seperti itu. Sekularisme adalah akidah (keyakinan dasar) yang memisahkan agama dari kehidupan. Sekularisme menjadi dasar ideologi kapitalisme yang juga melahirkan sistem demokrasi.

Dalam sistem demokrasi, dikenal sejumlah kebebasan yang dijamin oleh UU, di antaranya kebebasan beragama. Dalam konteks kebebasan beragama ini, setiap orang memang dibiarkan memeluk agama dan keyakinan apa pun. Mereka dibebaskan untuk gonta-ganti agama. Hari ini Islam, besok Hindu, lusa Buddha, dan seterusnya. Ini tidak ada masalah dalam sistem demokrasi.

Bagaimana Islam memandang hal ini?

Islam tidak mengakui relativisme kebenaran agama. Islam adalah satu-satunya agama yang benar di sisi Allah SWT, sebagaimana firman-Nya,

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ

“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran [3]: 19)

Kebenaran Islam ini bersifat mutlak, tidak tertandingi oleh agama maupun pemikiran selainnya. Islam adalah agama mulia, tinggi, dan tidak ada yang mampu mengunggulinya.

Nabi Muhamad saw. bersabda, “Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.” (HR. Ad-Daruquthni (III/181 no. 3564)

Siapa pun yang berpaling dari Islam dan mencari selainnya sebagai agama maupun ideologi, maka Allah menyebut amalnya sebagai amal yang sia-sia, tidak akan diterima oleh-Nya, dan pada hari kiamat akan merugi.

Allah SWT berfirman,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran [3]: 85)

Ayat ini menjelaskan dengan gamblang tentang kesudahan atau akhir dari orang yang mencari agama selain Islam. Sangat jelas dan tegas, Islam tidak memperbolehkan muslim mengganti agamanya dengan alasan apa pun. Islam menghukuminya sebagai orang yang murtad (keluar dari agama Islam) sehingga berlakulah sanksi hukum bagi orang yang murtad tersebut.

Hukum Islam tentang Murtad

Islam mengharamkan setiap muslim berpindah agama. Murtad atau meninggalkan keyakinan dan keimanan dari Allah SWT berkonsekuensi hukum dalam Islam. Salah satu Imam Mazhab, Imam Syafi’i, menjabarkan tentang hukum murtad dengan menyandarkan pada dalil-dalil yang ada.

Dalam kitab Al-Umm, Imam Syafi’i berkata bahwa seseorang yang berpindah meninggalkan kemusyrikan menuju keimanan, kemudian ia berpindah lagi dari keimanan menuju kemusyrikan, maka jika orang itu adalah orang dewasa (laki-laki maupun perempuan), ia diminta untuk bertobat. Jika ia bertobat, tobatnya itu diterima. Namun, jika ia tidak bertobat, ia harus dihukum mati.

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 217,

“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Siapa saja yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”

Imam Syafi’i juga berkata, “Seorang tsiqah (adil dan sabit dalam periwayatan hadis) dari kalangan sahabat kami mengabari, dari Hammad, dari Yahya bin Sa’id, dari Abu Umamah bin Sahl Hanif, dari Utsman bin Affan, bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidaklah halal darah seorang muslim kecuali dengan salah satu di antara tiga, yakni kafir setelah iman, berzina setelah menikah, dan membunuh seseorang bukan karena nyawa seseorang (maksudnya bukan karena orang yang dibunuh itu memang harus dibunuh karena ia membunuh seseorang).’”

Imam Syafi’i menjelaskan pengerti kalimat “kufur setelah iman” dan “yang menukar agamanya harus dihukum mati” dalam hadis yang dikabarkan melalui Sayidina Utsman bin Affan bahwa hal itu menunjukkan siapa saja yang menukar agamanya yang merupakan agama yang benar (Islam), bukan orang yang menukar agamanya dari agama selain Islam.

Hukuman mati atas orang murtad juga ditegaskan di dalam sabda Nabi Muhammad saw.,

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

“Siapa saja yang mengganti agamanya (murtad dari Islam, pen.), bunuhlah ia!” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas)

Hukum Islam tentang murtad ini telah diberlakukan sejak masa Rasulullah saw. hingga masa kekhalifahan Islam selama berabad-abad lamanya.

Jika seseorang murtad sekali, negara harus memintanya untuk bertobat dan memberi waktu padanya selama tiga hari. Jika ia mau kembali, ia harus diterima. Namun, jika tetap tidak mau, ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus dihukum mati oleh negara.

Inilah yang dipraktikkan Khalifah Umar bin Khaththab. Kepada utusan walinya, Umar menginstruksikan, “Mengapa kalian tidak memenjarakannya selama tiga hari, memberinya makan setiap harinya dengan roti, dan memintanya bertobat agar ia bertobat dan kembali kepada ajaran Allah?” 

Hukuman mati atas orang murtad ini harus dilakukan penguasa kaum muslim (imam/khalifah) dengan berbagai ketentuan.

Pertama, penetapan hukuman mati atas orang murtad hanya bisa diputuskan oleh pengadilan syariat.

Kedua, harus ada penundaan hukuman jika pelaku murtad ada harapan untuk kembali ke pangkuan Islam. Imam Ats-Tsauri berpendapat, “Ditunda hukumannya jika ada harapan pelaku murtad mau bertobat.” (Ibnu Taimiyah, Ash-Sharim al-Maslul, hlm. 328).

Ketiga, selama penundaan hukuman, pelaku murtad didakwahi dengan hikmah dan nasihat yang baik, diajak berdialog/berdebat supaya ia mau bertobat dan kembali ke pangkuan Islam.

Sungguh jelas, begitu tegasnya sistem Islam memperlakukan siapa pun muslim yang mengganti agamanya. Betapa jauh bedanya dengan kondisi umat Islam hari ketika hidup dalam sistem sekuler sehingga tidak ada yang menjaga akidah umat.

Murtad menjadi hal biasa dan memang diopinikan di tengah umat agar dianggap sebagai hal biasa. Padahal, hakikatnya adalah sebuah keharaman dan pelakunya mendapat sanksi yang sangat berat.

Khatimah

Kembali pada Islam adalah solusi atas semua masalah umat. Viralnya “agama tentatif” tidak seharusnya membuat umat Islam ikut-ikutan mengadopsinya. Pemikiran tentang “agama tentatif” jelas bertentangan dengan Islam. Tentu kita harus mewaspadai betapa berbahayanya moderasi beragama yang telah mengaruskan pemikiran yang rusak semacam ini.

Sudah seharusnya setiap muslim memegang erat keimanannya dan senantiasa taat pada semua aturan dan hukum Allah SWT hingga akhir hayatnya agar mendapatkan kebahagiaan di kehidupan akhirat kelak sebagaimana firman Allah SWT,

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah Surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 7—8). Wallahu a’lam bishshawab. [SM/LY]

Sumber: muslimahnews.net