Berbagi Peran dalam Rumah Tangga, Bagaimana Tuntunan Islam?

Oleh: Najmah Saiidah

Suaramubalighah.com, muslimah dan keluarga — Islam, sebagai din yang sempurna, telah mengatur kehidupan rumah tangga dengan sangat terperinci sehingga terwujud ketenteraman dan kasih sayang di dalam keluarga.

Hanya saja, di tengah gempuran sistem sekuler kapitalistik yang mencengkeram keluarga muslim, kadang kala situasi ini tidak selalu berlangsung ideal. Paham liberalisme demikian kuat mengancam keluarga muslim sehingga mau tidak mau orang tua harus berusaha ekstra menyelamatkan pemahaman keluarganya dari gempuran paham kebebasan ini.

Lebih dari itu, tidak ada jaminan pemenuhan kebutuhan primer oleh negara, menjadikan keluarga muslim harus mencari sendiri dana untuk mencukupinya. Terkadang, pendapatan yang diperoleh ayah tidak mencukupi untuk memenuhi seluruh kebutuhan.

Terlebih, pada situasi sekarang ini, ada kondisi yang menyebabkan ayah kehilangan pekerjaan atau dirumahkan dan akhirnya istri yang harus turun tangan membantu suami agar seluruh kebutuhan keluarga dapat terpenuhi.

Sejatinya, tanggung jawab mengurus keluarga tidak dapat diserahkan pada satu pihak, ibu atau ayah saja, terutama apabila ayah dan ibu sama-sama harus bekerja dan tidak mudah pula bagi pasangan untuk menyerahkan urusan rumah tangga, terlebih pengasuhan dan pendidikan anak-anaknya  kepada orang lain.

Kondisi seperti ini mungkin sedang kita alami; membagi waktu dan konsentrasi untuk bekerja, mengurus anak, sekaligus mengurus rumah tangga bukanlah hal mudah. Oleh karenanya, kerja sama dan kekompakan antara ayah, ibu, dan anak-anak dalam mengurus keluarga sangat diperlukan.

Di samping memiliki aturan terperinci tentang hukum-hukum keluarga, Islam juga memiliki seperangkat aturan yang memastikan hukum-hukumnya tegak secara sempurna, baik oleh individu, masyarakat, maupun negara.

Secara individu, setiap muslim diharuskan memiliki pemahaman yang benar terkait seluruh hukum Islam, termasuk hukum-hukum keluarga, dan wajib terikat dengannya sebagai konsekuensi iman.

Setiap anggota keluarga harus memainkan peran dan fungsinya dengan benar. Dapat kita bayangkan apa yang akan terjadi kalau seorang istri seenaknya pulang dan pergi dari rumah, suami sesukanya berbuat? Kekacauanlah yang akan muncul. Lalu, bagaimana Islam membagi peran ini?

Pembagian Peran dalam Rumah Tangga

Din Islam telah memberikan aturan khusus bagi suami dan istri atau ayah dan ibu untuk mengemban tanggung jawab kepemimpinan dalam rumah tangga. Suami sebagai kepala dan pemimpin keluarga, sedangkan istri sebagai pemimpin rumah suaminya sekaligus menjadi pemimpin bagi anak-anaknya.

Rasulullah saw. bersabda, sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnu Umar, “Setiap kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir (kepala negara) adalah pemimpin rakyatnya, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya; seorang laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya; seorang perempuan adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak-anaknya yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya; seorang pelayan adalah pemimpin atas harta tuannya, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Ingatlah setiap kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari Muslim)

Peran kepemimpinan dalam hadis ini sama sekali tidak menunjukkan adanya legitimasi atau superioritas derajat yang satu atas yang lain. Pemimpin negara tidak dianggap lebih mulia dari rakyatnya. Seorang laki-laki sebagai suami tidak pula dianggap lebih mulia dibandingkan dengan istri dan anak-anaknya.

Kepemimpinan adalah tanggung jawab dan amanah yang dibebankan oleh Allah SWT untuk dilaksanakan, selanjutnya dipertanggungjawabkan sebagai sebuah amal ibadah.

Islam menetapkan peran dan fungsi suami adalah menjadi pemimpin rumah tangga yang memiliki kewajiban untuk menafkahi dan melindungi seluruh anggota keluarganya. Ia adalah nakhoda yang akan mengendalikan ke mana bahtera akan diarahkan, dan kepemimpinan tersebut telah Allah amanahkan ke pundak suami. sebagaimana dalam firman-Nya, QS. An-Nisa [4]: 34,

…الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.”

Sebagai pemimpin keluarga, suami berkewajiban memberi nafkah yang layak kepada istri dan anak-anaknya. Ketentuan ini tampak dalam firman Allah SWT,

“Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” (QS. Al-Baqarah[2]: 233)

Suami yang baik dalam perspektif Islam adalah orang yang sungguh-sungguh dalam bekerja demi memenuhi kebutuhan nafkah keluarganya secara makruf. Ia tidak akan lari dari tanggung jawab ini, apalagi dengan melimpahkan beban nafkah kepada istri atau anak-anaknya.

Sungguh besar balasan yang Allah berikan pada suami yang giat bekerja demi memenuhi kewajiban nafkah keluarga.

Rasulullah pernah menyalami tangan Sa’ad bin Muadz ra. Ketika itu kedua tangan Sa’ad tampak kasar. Nabi saw. lalu bertanya kepadanya, Sa’ad menjawab, “Saya selalu mengayunkan sekop dan kapak untuk mencari nafkah keluargaku.” Kemudian Rasulullah saw. menciumi tangan Sa’ad seraya bersabda, “Inilah dua telapak tangan yang disukai Allah.” (As-Sarkhasi dalam Al-Mabsuth).

Selain itu, Allah memerintahkan kepada suami agar bergaul secara makruf dengan istrinya, sebagaimana dalam firman-Nya QS. Al-Baqarah: 228,

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوف

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.”

Berkaitan dengan ayat di atas, Ibnu Abbas menuturkan, “Para istri berhak atas persahabatan dan pergaulan yang baik dari suami mereka, sebagaimana mereka wajib taat (kepada suaminya) dalam hal yang memang diwajibkan atas mereka terhadap suami mereka.”

Selain itu, Islam pun memberi kewajiban, peran dan fungsi mulia bagi istri. Ia berkewajiban untuk menaati suaminya. Di samping kewajiban, taat pada suami juga merupakan karakter seorang istri salihah. Allah SWT menegaskan hal tersebut dalam firman-Nya,

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّه

“Maka perempuan-perempuan yang salihah itu adalah mereka yang taat dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada.” (QS. An-Nisa[4]: 34)

Sedangkan perempuan sebagai pemimpin rumah tangga suami dan anak-anaknya mengandung pengertian bahwa ia adalah sebagai ibu dan manajer rumah suaminya (ummun wa rabbah al-bayt). Kepemimpinan yang utama adalah merawat, mengasuh, dan mendidik anak-anaknya agar kelak menjadi orang yang mulia di hadapan Allah. Di samping itu, ia berperan membina, mengatur, dan menyelesaikan urusan rumah tangga agar memberikan ketenteraman dan kenyamanan bagi anggota-anggota keluarga yang lain.

Dengan perannya ini, ia telah memberikan sumbangan besar kepada negara dan masyarakatnya. Ia telah mendidik dan memelihara generasi umat agar tumbuh menjadi individu-individu yang saleh dan mushalih di tengah-tengah masyarakatnya.

Dengan begitulah bisa dikatakan bahwa kepemimpinan perempuan ini berperan melahirkan pemimpin-pemimpin yang adil, jujur, dan tepercaya di tengah-tengah umat.

Adapun dalam kedudukannya sebagai manajer rumah, perempuan berfungsi sebagai mitra utama dari pemimpin rumah tangga, yaitu suami. Hubungan keduanya dalam rumah tangga dibangun atas dasar persahabatan dan kasih sayang dengan persahabatan yang sempurna. Semua ini berkaitan dengan peran dan fungsi suami istri dalam rumah tangga.

Berbagi Peran dalam Pekerjaan Rumah Tangga

Sesungguhnya Islam telah mengaturnya dengan sangat detail. Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Nizhamul Ijtima’iy menjelaskan bahwa seorang istri wajib melayani suaminya, seperti menanak nasi, memasak, membersihkan rumah, menyediakan minuman jika suami memintanya, menyiapkan makanan untuk dimakan, serta melayani suaminya dalam seluruh perkara yang harus dilakukannya di dalam rumah.

Sebaliknya, suami wajib menyediakan apa saja yang dibutuhkan oleh istrinya yang berasal dari luar rumah, seperti menyediakan air, apa saja yang diperlukan untuk membersihkan kotoran, dan keperluan-keperluan lainnya.

Ringkasnya, semua aktivitas yang harus dilakukan di dalam rumah menjadi kewajiban istri, sebaliknya semua aktivitas yang harus dilakukan di luar rumah menjadi tanggung jawab suami.

Ini sebagaimana hadis berkaitan dengan kisah Ali dan Fatimah ra. “Rasulullah saw. telah memutuskan atas putri beliau, Fatimah, wajib mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di dalam rumah dan atas Ali wajib mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan di luar rumah.”

Hanya saja, adanya pembagian peran ini tidak lantas bersifat kaku sehingga suami menjadi tidak boleh membantu istrinya untuk mengerjakan tugas di dalam rumah, atau sebaliknya.

Sekali lagi, kehidupan pernikahan adalah kehidupan persahabatan. Tidak terlarang bagi suami mengepel lantai, menyapu, mencuci pakaian, bahkan memasak. Demikian halnya seorang istri berbelanja ke pasar untuk keperluan memasak. Semuanya bernilai pahala.

Contoh yang cukup masyhur adalah keluarga Ali bin Abi Thalib. Mereka selalu bekerja sama dan saling bantu dalam mengurus keperluan-keperluan rumah tangga. Fatimah membuat tepung gandum dan memutar gilingan dengan tangan sendiri. Ia membuat roti, menyapu lantai, dan mencuci. Hampir tidak ada pekerjaan rumah-tangga yang tidak ditanganinya sendiri.

Pada suatu hari, Rasulullah datang menjenguk Fatimah ra., tepat pada saat ia bersama suaminya sedang menggiling tepung. Beliau terus bertanya, “Siapakah di antara kalian berdua yang akan kugantikan?” “Fatimah!” Jawab Ali. Fatimah lalu berhenti diganti oleh ayahandanya menggiling tepung bersama Ali ra..

Khatimah

Demikianlah pengaturan Islam dalam kehidupan keluarga dan gambaran kehidupan keluarga Rasulullah saw. dan para sahabat. Islam telah mengatur dengan sangat terperinci tentang peran masing-masing anggota keluarga.

Islam juga memberikan keleluasaan untuk saling berbagi peran, saling membantu satu sama lainnya tanpa mengabaikan tugas dan peran utamanya.

Kehidupan keluarga yang ideal hanya akan terwujud ketika Islam diterapkan secara kaffah dalam naungan Khilafah Islamiah. Keluarga yang kukuh hanya akan terwujud melalui metode yang sesuai tuntunan syariat Islam dan dukungan sistem politik Islam. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/LY]

Sumber: muslimahnews.net