Menaati Ulil Amri (Tafsir QS. An-Nisa: 59)

Oleh: Shafiyyah Raihanah

Suaramubalighah.com, Al-Qur’an – Nama Habib Husein Baagil sempat viral di media sosial karena pernyataannya yang kotroversial dalam sebuah wawancara Podcast. Ia menyatakan tentang pembelaannya terhadap pemerintah, baik pemerintah benar ataupun salah. Ia mengaitkan dengan pernyataan Rasulullah yang mengatakan jika pemerintah datang dengan membawa cambuk dan kalian dicambuk, maka kalian harus tetap taat kepada pemerintah.

Untuk menyikapi pernyataan ini, sebaiknya kita melihat QS. An-Nisa: 59, Allah berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Konteks ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya di dalam ayat ini bersifat mutlak, sedangkan ketaatan kepada ulil amri itu ada pembatasan dan persyaratannya. Ulil amri yang ditaati adalah ulil amri yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dengan menerapkan hukum-hukum Islam. Jika tidak, berarti ulil amri tersebut bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana penjelasan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam perkara maksiat kepada Al-Khaliq (Allah).”

Imam Ath-Thabari, dan sebagian besar ulama tafsir, menjelaskan mengenai makna kembali kepada Allah dan Rasul dalam ayat ini adalah kembali pada Al-Quran dan As-sunah. Bahkan, Imam Ibnu Katsir rahimahullah menegaskan bahwa siapa saja yang tidak berhukum pada Al-Qur’an dan As-Sunah pada hakikatnya dia bukanlah orang yang benar-benar mengimani Allah dan hari akhir.

Di dalam pandangan Islam, relasi penguasa dan rakyat seperti perkataan Kaab Al-Akhbar rahimalullah yang dikuti Ibnu Qutaibah (w.276H): “Perumpamaan antara Islam, Kekuasaaan dan rakyat adalah laksana tenda besar, tiang dan tali pengikat serta pasaknya. Tenda besar adalah Islam. Tiangnya adalah kekuasaan. Tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya.” Perumpamaan tersebut diartikan bahwa tiang (kekuasaan), tali dan pasak (rakyat) tidak ada maknanya jika tidak diberdayakan untuk menegakkan tenda (Islam). Sebaliknya, tenda tidak bisa berdiri tegak tanpa adanya tiang yang dikuatkan oleh tali dan pasaknya.

Rasulullah saw. bersabda,

فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Dia akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Hadis tersebut menjelaskan bahwa penguasa wajib mewujudkan kemaslahatan bagi siapa saja yang berada di bawah kepemimpinannya. Jika kemaslahatan duniawi rakyat wajib diperhatikan, apalagi kemaslahatan ukhrawi rakyatnya. Ia wajib mengarahkan rakyat agar taat kepada Allah SWT.

Sedangkan rakyat, selain wajib taat kepada penguasa dalam perkara yang merupakan wewenang mereka dan bukan kemaksiatan. Rakyat juga wajib menjaga agar penguasa tetap tegak di atas hukum syariat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

أَفْضَلُ الْجِهَاد كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ، أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ

“Jihad yang paling utama adalah kata-kata yang adil (haq) di depan penguasa yang zalim atau amir yang zalim.” (HR. At-Tirmidzi)

Jika rakyat tidak mempunyai kemampuan untuk mengubah kemungkaran penguasanya, minimal yang harus mereka  lakukan adalah dengan membenci dan menampakkan sikap tidak rela/ridha terhadap kemungkaran tersebut. Kemungkaran bukan berarti harus berupa perbuatan maksiat secara langsung yang lumrah diketahui masyarakat luas seperti berzina, mabuk, dan lain-lain. Tetapi kemungkaran juga bisa berupa kebijakan maupun pemikiran, seperti memberikan izin lokalisasi perzinaan, membolehkan riba, memungut pajak yang membebani rakyat, mengkriminalisasi hukum dan ajaran Islam, dan lain sebagainya. Kebijakan apapun yang bertentangan dengan hukum syariat adalah kezaliman, baik itu disukai ataupun dibenci rakyat

Menurut K.H. Hafidz Abdurrahman, ukuran yang bisa digunakan oleh ulama dalam menilai penguasa sekarang termasuk zalim atau tidak itu mudah. Sebab, Allah SWT sudah memberikan petunjuknya di dalam QS. Al-Maidah ayat 44, 45 dan 47 yang menyebut penguasa yang tidak menerapkan hukum Allah diberikan predikat kafir, zalim dan fasik. Ketiga istilah tersebut berasal dari Allah SWT. Status kafir adalah sebutan untuk orang yang meyakini kebenaran penerapan hukum kufur. Sedangkan zalim adalah ketika melakukan maksiat tapi masih memiliki rasa malu dan takut diketahui orang. Dan fasik adalah bermaksiat tetapi tidak memiliki rasa malu dan takut kepada orang. Bahkan, bangga dengan kemaksiatan yang dilakukannya. Sehingga, penguasa yang tidak mengurusi rakyatnya, tidak memenuhi hak-haknya seperti sandang, papan, pangan, pendidikan, kesehatan, keamanan, termasuk keyakinan agamanya. Ditambah lagi jika penguasa tersebut merampas hak-hak rakyatnya dan menindas mereka, tidak adil dan tebang pilih dalam menerapkan hukum, mengkriminalisasi ajaran-ajaran Islam bahkan ulama-ulamanya serta membubarkan organisasi-organisasi dakwah, seharusnya tegas tidak mendukung apalagi  membelanya. Karena Allah berfirman,

وَلَا تَرْكَنُوْٓا اِلَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُۙ وَمَا لَكُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ مِنْ اَوْلِيَاۤءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُوْنَ

“Janganlah kalian cenderung kepada orang yang zalim, yang menyebabkan kalian disentuh api neraka, sedangkan kalian tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, sehingga kalian tidak akan diberi pertolongan.” (QS. Hud: 113)

Ayat ini juga menjadi dasar bagaimana seorang muslim bersikap terhadap ahli maksiat. Ulama-ulama pada masa lalu mengambil jarak dengan kekuasaan yang terbukti zalim. Mereka tegas tidak mendukung dan membela penguasa seperti itu. Justru, para ulama tersebut mengingatkan para penguasa zalim (muhasabah lil hukkam) itu tanpa henti. Muhasabahmerupakan kewajiban syariat yang dibangun berdasarkan kaidah dan hukum syariat tentang amar makruf nahi mungkar. Muhasabahini lahir justru dari cinta (mahabbah) untuk menolong (nushrah) sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah SWT.

 Dalam sebuah hadis dalam riwayat Imam Al-Bukhari, “Tolonglah saudaramu, baik yang zalim maupun dizalimi” Ada yang bertanya, bagaimana menolong yang zalim? Jawab Nabi saw., “Dengan menghentikan kezalimannya.”Meskipun, muhasabah mungkin ada yang dikemukakan tentang kejelekan kebijakan penguasa tersebut. Tapi, semua hal itu dilakukan supaya mereka dan umat bisa menyadari tentang dampak kebijakan yang zalim tersebut. Sehingga, kebijakan zalim itu dapat dihentikan kemudian diterapkan kebijakan yang benar. Ini adalah bagian dari prinsip dakwah, yaitu al-hadmu wa al-bina’ (meruntuhkan yang salah dan membangun yang benar).

Dengan demikian, seharusnya batasan ketaatan kepada ulil amri  tidak boleh menjadi stempel kekuasaan yang buruk dan bertentangan dengan Islam. Tidak boleh pula menjadi alat penguasa untuk memecah belah umat, bahkan menggadaikan agama untuk kepentingan diri sendiri dan penguasa jahat. Nabi saw. menyatakan dalam riwayat Ath-Thabrani dan Ad-Dailami, “Janganlah kalian mendekati pintu penguasa karena ia benar-benar menjadi berat dan menghinakan.” Wallahu a’lam bishshawab. [SM/LY]