Pesantren Progresif, Antara Perlindungan Kekerasan Seksual dan Kesetaraan Gender

  • Opini

Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.

Suaramubalighah.com, opini — “Pesantren progresif”, barangkali ini istilah yang baru kita dengar. Mengutip Majalah Tempo edisi Mei 2022, pesantren progresif adalah pesantren yang secara progresif menekankan pentingnya menjaga lingkungan, mengajarkan kesetaraan gender, dan perlindungan terhadap kekerasan seksual. Terlebih kita tidak bisa menutup mata akan realitas saat ini bahwa korban-korban kekerasan seksual di luar sana acap kali mencari pesantren untuk “menyelamatkan” diri.

Di Indonesia, setidaknya terdapat tujuh pesantren progresif. Empat dari tujuh pesantren itu memiliki rekam jejak panjang menangani korban kekerasan seksual. Mereka menampung dan mendampingi korban kekerasan seksual, termasuk membantu memulihkannya.

Mereka juga mengadvokasi berbagai kasus kekerasan seksual jika itu menimpa santrinya. Pesantren juga siap pasang badan melindungi korban dan menghadapi pelakunya.

Pada intinya, pesantren progresif hendak menunjukkan bahwa pesantren bukan lagi sekadar lembaga pendidikan agama yang eksklusif. Mereka tidak akan dianggap terkungkung di balik tembok sebagaimana anggapan selama ini, melainkan bergerak untuk manusia dan alam. Pesantren seolah diposisikan selaku institusi keagamaan yang punya peran signifikan untuk mengampanyekan isu kekerasan seksual yang berlanjut menjadi isu kesetaraan gender.

Hakikat Pesantren

Pesantren adalah pusat pendidikan untuk menjadi generasi tafaqquh fiddin (penguasaan di bidang agama Islam). Fungsi pesantren juga sebagai lokus pembelajaran agama dan tsaqafah Islam sehingga Islam bisa menjadi problem solver. Tersebab hal itu, kita harus memosisikan hakikat pesantren sebagai lembaga pendidikan pencetak santri calon ulama, baik laki-laki maupun perempuan.

Tentu agak janggal ketika pesantren menjadi lokus untuk mengatasi kekerasan seksual. Memang benar, pesantren sangat mungkin menjadi solusi di tengah hiruk-pikuk maraknya perilaku amoralisasi generasi muda. Pesantren boleh disebut tempat yang tepat untuk menempa diri, menuju pertobatan sejati. Namun, hal ini makin janggal jika selanjutnya pesantren menjadi pusat untuk menyuarakan kesetaraan gender.

Apakah sebetulnya adanya pesantren progresif ini dalam rangka menegaskan bahwa solusi bagi korban kekerasan seksual adalah dengan menjadikan mereka pegiat gender bertopeng Islam?

Sekularisme, Moderasi Beragama, Kesetaraan Gender

Sungguh licik sekularisme karena telah menjadikan pesantren sebagaimana pesantren progresif. Seolah tampak “baik” dengan berlabel Islam, nyatanya pesantren progresif hanya menjadi alibi demi memuluskan ide asing kesetaraan gender. Bagaimana mungkin sebuah lembaga Islam, bahkan corong kebangkitan umat, malah menjadi agen ide asing?

Atas nama derasnya arus moderasi beragama, peran politis dan strategis pesantren telah dibajak agar menjadi lembaga inklusif sebagaimana misi pesantren progresif. Ini sama saja menjadikan pesantren sebagai lembaga yang mencampuradukkan ide yang hak dari Islam, dengan ide batil sekularisme sehingga kesetaraan gender bisa bergaung di pusat-pusat pendidikan generasi muslim. Pendampingan korban kekerasan seksual hanya ibarat entry point demi mengegolkan isu sentralnya, yakni kesetaraan gender berbasis pesantren.

Ini sangat berkelindan dengan agenda besar Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II pada November 2022 mendatang. KUPI I lima tahun lalu (2017) telah menghasilkan ikrar ulama perempuan yang sarat ide kesetaraan gender.

Jelas ini patut kita waspadai karena para pegiat gender akan terus mencari peluang dalam berbagai kesempatan untuk mengaruskan pemikirannya, termasuk melalui forum maupun lembaga keislaman. 

Umat perlu terus disadarkan bahwa tuntutan kesetaraan gender bukan berasal dari Islam. Muslimah tidak butuh kesetaraan gender karena syariat Islam telah memberikan posisi dan status mulia sebagai hamba Allah, terhadap korban kekerasan seksual sekalipun.

Harus kita tekankan, solusi kekerasan seksual bukanlah dengan memperjuangkan kesetaraan gender, melainkan pelaksanaan syariat Islam kaffah, baik pada level individu korban, masyarakat tempat mereka hidup, serta negara selaku pengambil kebijakan.

Khatimah

Mencermati semua ini, umat Islam patut menyadari peran strategis santri dan pesantren. Kendati sudah era digital, pesantren masih menjadi lembaga tepercaya untuk mendidik generasi umat agar tidak mudah ikut gerusan zaman dan arah pergaulan yang negatif.

Tidak sedikit para orang tua yang meyakini bahwa pesantren dapat memberikan penjagaan dan pendidikan secara holistik bagi putra-putrinya. Hal ini jelas menunjukkan pesantren bukan lembaga eksklusif, tetapi justru mampu mengikuti perubahan zaman.

Tudingan bahwa pesantren lembaga eksklusif, sehingga harus menjadi inklusif dengan menyuarakan ide kesetaraan gender, adalah tudingan menyesatkan, bahkan berpeluang mengamputasi peran strategis dan politis pesantren sebagai pencetak generasi pelaku kebangkitan Islam. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/LY]

Sumber: muslimahnews.net