Istilah Kafir Sangat Jelas, Orang yang Tidak Beragama Islam (Tafsir Surat Al-Kafirun)

Oleh: Hj. Padliyati Siregar, S.T.

Suaramubalighah.com, Al-Qur’an – Kata “kafir” disebut sebanyak 525 kali dalam Al-Qur’an dengan berbagai bentuk kata. Adapun arti “kafir” secara harfiah adalah kufur, yang berarti menutupi. Orang kafir adalah orang yang mempunyai penutup hati dengan kekufurannya.

Sedangkan menurut syariat, kufur adalah kebalikan dari iman, bisa secara lisan, tindakan, keyakinan, dan [perbuatan] meninggalkan. Sebagaimana iman juga bisa dalam bentuk ucapan, perbuatan, dan keyakinan. Menurut Syekh ‘Alawi bin ‘Abd al-Qadir as-Saqqaf, inilah definisi yang disepakati oleh ahlusunah waljamaah. (Al-Wa’ie, 2019)

Dalam kitab Mu’jam Lughah Al-Fuqaha’ hlm. 268, karya Prof. Rawwas Qal’ah Jie, juga diuraikan, “Kafir adalah siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan kepada Nabi Muhammad saw. atau siapa saja yang mengingkari ajaran apa pun yang diketahui secara pasti berasal dari Islam (seperti wajibnya shalat, haramnya zina, dll.), atau yang merendahkan kedudukan Allah dan risalah Islam.”

Berikutnya, di redaksi lain juga dijelaskan, “Kafir adalah siapa saja orang yang tidak beriman kepada keesaan Allah atau tidak beriman kepada kenabian Muhammad saw. atau tidak beriman kepada syariah Islam atau tidak beriman kepada ketiga-tiganya.” (Kamus, Al-Mu’jam Al-Wasith, Juz II, hlm. 891)

Begitu pun di dalam kitab Ta’rifat Fiqhiyyah, hlm. 183, karya Musti Sayyid ‘Amim Al-Ihsan Al-Barkati. “(Kafir adalah orang yang) mendustakan (tidak beriman) kepada Nabi Muhammad saw. mengenai apa-apa yang secara pasti termasuk agama Islam.”

Tak hanya itu, istilah kafir pun ternyata juga diterangkan di dalam kitab Ahkam At-Ta’amul Ma’a Ghair Al-Muslimin, hlm. 3 karya Syekh Khalid Muhammad Al-Majid yang menyimpulkan, “Orang-orang nonmuslim (ghairu al-muslimin) adalah siapa saja yang tidak beriman kepada agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw., atau siapa saja yang tidak beriman kepada salah satu ajaran pokok yang diketahui secara pasti sebagai bagian agama Islam. Mereka ini dalam istilah syar’i disebut kafir.”

Kata “kafir” juga merupakan istilah baku yang dinyatakan dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang tidak bisa diubah. Menyatakan bahwa kata “kafir” tidak relevan, merupakan penghinaan terhadap istilah Al-Qur’an dan syariat. Bisa diduga bahwa istilah “kafir” hendak dihapuskan karena secara politik telah nyata berpengaruh pada suara umat Islam.

Surat itu dinamakan (اَلۡكٰفِرُوۡنَ) Al-Kâfirûn karena di dalamnya terdapat kata tersebut dalam ayat pertama. Mereka adalah orang-orang yang diseru oleh surat ini. Surat yang terdiri dari enam ayat tersebut termasuk surat (مَكيَّة) Makiyyah. Demikian pendapat jumhur ulama. Diriwayatkan Ibnu Marduyah dari Ibnu Abbas bahwa surat ini turun di Makkah.

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: (قُلۡ يٰٓأَيُّهَا الۡكٰفِرُوۡنَ) Qul, yâ ayyuhâ al-kâfirûn (Katakanlah, “Hai orang-orang yang kafir…”). Kata (قُلۡ) qul menunjukkan bahwa perintah itu dari Allah SWT. Nabi Muhammad saw. diperintahkan untuk menyampaikan kepada orang-orang kafir, dengan menyebut mereka sebagai orang kafir.

Secara bahasa, huruf (اَلْاَلِف وَاللَّام) al-alif wa al-lâm dalam ayat ini bermakna (لِلْجِنْسِ) li al-jins. Namun, karena (خِطَاب) khithâb (seruan) dalam ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang telah diketahui dalam ilmu Allah meninggal dalam kekufuran, maka keumuman ayat ini berlaku khusus bagi orang-orang tersebut. Kesimpulan ini didasarkan fakta bahwa di antara orang-orang kafir yang diseru ayat ini ketika turun ada yang masuk Islam dan menyembah Allah SWT. Kesimpulan yang sama juga disampaikan Ibnu Katsir. Menurutnya, ayat ini meliputi semua orang kafir di muka bumi. Namun, yang dituju oleh seruan ini adalah kaum kafir Quraisy.

Abu Hayyan Al-Andalusi juga menyatakan bahwa kata (اَلْكَافِرُوْن) al-kâfirûn dalam ayat ini menunjuk pada (نَاسٌ مَخْصُوْصٌ) nâs makhshûsh (orang-orang khusus). Pendapat senada juga disampaikan Az-Zamakhsyari, Ar-Razi, Al-Qurthubi, Al-Mawardi dan Az-Zuhaili.

Selanjutnya Rasulullah saw. diperintahkan untuk menyampaikan jawaban kepada orang-orang kafir itu: (لَآ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُوۡنَ) lâ a’budu mâ ta’budûna (aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah); bahwa yang disembah oleh Rasulullah saw. berbeda dengan yang disembah orang-orang kafir itu. Rasulullah saw. menyembah Allah, Pencipta dan Pengatur Alam Semesta yang memang layak disembah. Adapun yang disembah orang-orang kafir itu bukan Allah. Dijelaskan Ibnu Katsir, frasa (مَا تَعۡبُدُوۡنَ) mâ ta’budûna menunjuk pada berhala dan sekutu-sekutu yang mereka sembah. Oleh karena itu, Tuhan yang disembah oleh Rasulullah saw. dan kaum Mukmin jelas berbeda dengan yang disembah oleh kaum kafir.

Jika dikaitkan dengan sabab nuzûl-nya, ayat ini bukan hanya menjelaskan perbedaan sesembahan itu, namun juga merupakan penolakan terhadap ajakan kaum kafir untuk menyembah sesembahan mereka. Dijelaskan Asy-Syaukani, ayat ini bermakna, “Aku tidak menerima permintaan kalian kepadaku untuk menyembah berhala yang kalian sembah.”

Dalam ayat berikutnya kemudian disebutkan: (وَلَآ أَنۡتُمۡ عٰبِدُوۡنَ مَآ أَعۡبُدُ) walâ antum ‘âbid[un] mâ a’bud (kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah). Sebagaimana Rasulullah saw. tidak akan menyembah apa yang disembah kaum kafir, mereka pun bukan penyembah Tuhan yang disembah Rasulullah saw. Menurut Az-Zamakhsyari, ayat ini berarti, “Kalian tidak mengerjakan apa yang kalian minta untuk menyembah Tuhanku.”

Selanjutnya Allah SWT berfirman: (وَلَآ أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدۡتُّمۡ) walâ ana ‘âbid[un] mâ ‘abadtum (aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah). Menurut sebagian mufassir, ayat ini merupakan (اَلتَّوْكِيْد) at-tawkîd (penegasan) dari ayat sebelumnya. Dijelaskan Al-Qurthubi, dalam bahasa Arab, (اَلتِّكْرَار) at-tikrâr (pengulangan) berguna untuk (اَلتَّأْكِيْد وَالْاِفْهَام) at-ta’kîd wa al-ifhâm (menegaskan dan memahamkan). Hal ini sebagaimana firman Allah SWT: (فَبِأَيِّ ءَالَآءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ) Fa bi ayyi âlâi Rabbikumâ tukadzdzibân (maka nikmat Tuhan kalian yang manakah yang kamu dustakan? (QS. Ar-Rahman: 55. Penjelasan senada juga dikemukakan oleh al-Khazin.

Allah SWT berfirman: (وَلَآ أَنۡتُمۡ عٰبِدُوۡنَ مَآ أَعۡبُدُ) walâ antum ‘âbid[un] mâ a’bud (dan kalian pun tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah). Menurut Abu Hayyan, ayat ini memberikan kepastian bahwa mereka tidak beriman selamanya. Dijelaskan Al-Khazin, ayat kedua dan ketiga (فِي الْحَال) fî al-hâl (untuk masa sekarang), sedangkan ayat ketiga dan keempat (فِي الْمُسْتَقْبَال) fî al-mustaqbâl (untuk masa yang akan datang).

Menurut Az-Zuhaili, ayat kedua dan ketiga untuk menunjukkan perbedaan (اَلْمَعْبُوْد) al-ma’bûd (zat yang disembah). Nabi saw. menyembah Allah, sementara mereka menyembah berhala-berhala dan patung-patung. Ayat keempat dan ayat kelima menunjukkan perbedaan dalam ibadah itu sendiri. Ibadahnya Nabi saw. ikhlas untuk Allah, tidak dikotori oleh syirik dan tidak lalai dari (اَلْمَعْبُوْد) al-ma’bûd (yang disembah). Adapun ibadah mereka semuanya adalah syirik. Oleh karena itu, kedua pihak itu tidak akan bertemu.

Kemudian surat ini diakhiri dengan firman Allah: (لَكُمۡ دِيۡنُكُمۡ وَلِيَ دِيۡنِ) lakum dînukum waliya dîn (untuk kalian agama kalian dan untukkulah agamaku). Menurut Al-Qurthubi, ayat ini berisi (اَلتَّهْدِيْد) al-tahdîd (ancaman). Hal ini seperti firman Allah (وَقَالُوۡا لَنَآ أَعۡمٰلُنَا وَلَكُمۡ أَعۡمٰلُكُمۡ) Mereka berkata, “Bagi kami amal-amal kami dan bagi kalian amal-amal kalian (QS. Al-Qashsash [28]:55). Jika kalian ridha dengan agama kalian, maka kami pun ridha dengan agama kami.

Dijelaskan juga Abu Hayyan Al-Andalusi bahwa ayat ini bermakna (لَكُمۡ شِرْكُكُمْ وَلِيْ تَوْحِيْدِي) lakum syirkukum walî tawhîdî (bagi kalian syirik kalian dan bagiku tauhidku). Ini merupakan (غَايَة التَبَرُّء) ghâyah at-tabarru’ (sikap berlepas diri paling puncak). Ayat ini juga bisa dimaknai, “Sesungguhnya aku adalah seorang nabi yang diutus kepada kalian untuk mengajak kalian pada kebenaran dan keselamatan.

Namun, jika kalian tidak mau menerima dan mengikutiku, maka tinggallah kalian dalam kekufuran, dan jangan kalian mengajakku pada kekufuran.” Demikian penjelasan Az-Zamakhsyari. Menurut Al-Biqa’i, ayat ini juga sejalan dengan QS. Az-Zumar [39]: 64.

قُلۡ أَفَغَيۡرَ اللّٰهِ تَأۡمُرُوۡنِّيٓ أَعۡبُدُ أَيُّهَا الۡجٰهِلُوۡنَ ٦٤

Katakanlah: “Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?”

Memang, ada yang menyatakan bahwa ayat ini (مَنْسُوْخ) mansûkh dengan ayat-ayat perang. Namun, pendapat tersebut lemah. Sebab, tidak ada hujjah yang menerangkan adanya (نَسْخ) naskh pada ayat-ayat tersebut. Kandungan ayat-ayat ini pun tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang memerintahkan perang. Lebih dari itu, perkara yang dikandung ayat-ayat ini adalah perkara akidah, bukan perkara hukum. Padahal (نَسْخ) naskh hanya berlaku dalam perkara hukum, sedangkan dalam perkara akidah tidak ada (نَسْخ) naskh.

Tak Ada Kompromi dengan Kekufuran

Di antara beberapa pelajaran penting yang dapat diambil, yakni pertama, keharusan menjadikan akidah sebagai perkara paling penting. Ayat ini turun sebagai jawaban terhadap ajakan kaum musyrik kepada Rasulullah saw. untuk menyembah selain Allah SWT. Harta, kekuasaan, dan wanita yang ditawarkan kepada beliau ditolak ketika harus ditukar dengan akidah. Ini pula yang harus dilakukan oleh kaum muslim dalam menjaga akidahnya.

Wajar saja jika akidah tidak boleh ditukar dengan apa pun. Sebab, penyimpangan terhadap akidah mengantarkan pelakunya pada neraka yang kekal. Dalam QS. An-Nisa [4]: 48 dan 116 secara tegas disebutkan bahwa menyekutukan Allah dengan selain-Nya merupakan dosa besar yang tidak diampuni. Surga juga diharamkan bagi mereka dan neraka adalah tempat kembalinya (Lihat: QS. Al-Maidah [5]: 72).

إِنَّ اللّٰهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُوۡنَ ذٰلِكَ لِمَنۡ يَشَآءُۚ وَمَنۡ يُشۡرِكۡ بِاللّٰهِ فَقَدِ افۡتَرٰٓى إِثۡمًا عَظِيۡمًا ٤٨

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa [4]: 48)

إِنَّ اللّٰهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُوۡنَ ذٰلِكَ لِمَنۡ يَشَآءُۚ وَمَنۡ يُشۡرِكۡ بِاللّٰهِ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلٰلًاۢ بَعِيۡدًا ١١٦

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa [4]: 116)

لَقَدۡ كَفَرَ الَّذِيۡنَ قَالُوۡآ إِنَّ اللّٰهَ هُوَ الۡمَسِيۡحُ ابۡنُ مَرۡيَمَۖ وَقَالَ الۡمَسِيۡحُ يٰبَنِيٓ إِسۡرٰٓءِيۡلَ اعۡبُدُوۡا اللّٰهَ رَبِّيۡ وَرَبَّكُمۡۖ إِنَّهُۥ مَنۡ يُشۡرِكۡ بِاللّٰهِ فَقَدۡ حَرَّمَ اللّٰهُ عَلَيۡهِ الۡجَنَّةَ وَمَأۡوٰىهُ النَّارُۖ وَمَا لِلظّٰلِمِيۡنَ مِنۡ أَنۡصَارٍ ٧٢

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah [5]: 72)

Jika demikian akibatnya, semua kenikmatan dunia yang sedikit itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan dahsyatnya siksa neraka dan besarnya kenikmatan surga.

Kedua, adanya pertentangan mendasar antara Islam dan kekufuran. Di dalam surat ini ditegaskan bahwa Tuhan yang disembah Rasulullah saw. berbeda dengan tuhan yang disembah orang-orang kafir. Perbedaan itu tentu disebabkan oleh konsep akidahnya. Dalam doktrin Nasrani, misalnya, Nabi Isa as. dianggap sebagai Tuhan anak, atau salah satu dari tiga Tuhan. Konsekuensinya, para pemeluknya akan menyembah Nabi Isa. Demikian juga dengan keyakinan kaum musyrik Arab.

Dalam beberapa ayat diberitakan mereka mengakui Allah sebagai Pemilik bumi dan isinya, langit yang tujuh dan (عَرْش) ‘Arsy yang agung; juga pemegang kekuasaan atas segala sesuatu (QS. Al-Mukminun [23]: 84-89).

قُلۡ لِّمَنِ الۡأَرۡضُ وَمَنۡ فِيۡهَآ إِنۡ كُنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ ٨٤ سَيَقُوۡلُوۡنَ لِلّٰهِۚ قُلۡ أَفَلَا تَذَكَّرُوۡنَ ٨٥ قُلۡ مَنۡ رَّبُّ السَّمٰوَاتِ السَّبۡعِ وَرَبُّ الۡعَرۡشِ الۡعَظِيۡمِ ٨٦  سَيَقُوۡلُوۡنَ لِلّٰهِۚ قُلۡ أَفَلَا تَتَّقُوۡنَ ٨٧ قُلۡ مَنۡۢ بِيَدِهِۦ مَلَكُوۡتُ كُلِّ شَيۡءٖ وَهُوَ يُجِيۡرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيۡهِ إِنۡ كُنتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ ٨٨  سَيَقُوۡلُوۡنَ لِلّٰهِۚ قُلۡ فَأَنّٰى تُسۡحَرُوۡنَ ٨٩

Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui? Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat? Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ´Arsy yang besar? Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa? Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui? Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?.” (QS. Al-Mukminun [23]: 84-89)

Namun, mereka menyekutukan Allah SWT dengan patung-patung yang mereka buat. Akibatnya, mereka pun menyembah patung-patung dan berhala itu. Konsep akidah tersebut jelas kontradiksi dengan Islam. Islam meyakini bahwa hanya Allah yang berhak disembah, tidak ada yang lain, dan (طَرِيْقَة) tharîqah yang ditempuhnya adalah risalah dari Rasulullah Muhammad saw.. Islam juga melarang semua bentuk penyembahan kepada selain-Nya. Siapa pun yang tidak mengikutinya diancam dengan azab yang besar.

Bertolak dari realitas itu, semua ide yang menganggap semua agama sama benar—seperti ide pluralisme—merupakan ide yang batil. Sebab, bagaimana mungkin ada dua ide yang saling bertentangan bisa dikatakan semua benar? Dengan demikian, ayat (لَكُمۡ دِيۡنُكُمۡ وَلِيَ دِيۡنِ) Lakum dînukum wa lîyadîni sama sekali tidak bisa diartikan sebagai pembenaran terhadap akidah lain.

Ketiga, keharusan untuk membebaskan diri dan berlepas dari semua kekufuran. Firman Allah, (لَكُمۡ دِيۡنُكُمۡ وَلِيَ دِيۡنِ) Lakum dînukum wa lîyadîni, sebagaimana diterangkan para mufassir, merupakan ungkapan (بَرَاء) barâ’ (berlepas diri) dari semua kekufuran. Tidak boleh ada kompromi sedikit pun dalam urusan ini. Fakhruddin ar-Razi mengatakan, “Seandainya orang Nasrani membaca (اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللّٰهِ) Asyhadu anna Muhammadan Rasûlul-Lâh maka itu tidak cukup kecuali dia menyatakan (بَرَاء) barâ’ (bebas dan berlepas diri) dari Nasrani.”

Sikap tersebut mengharuskan kaum muslim membuat batas yang tegas antara Islam dan kekufuran. Tidak boleh mencari titik temu dan jalan tengah antara Islam dan agama serta ideologi lainnya. Mustahil mempertemukan ide yang saling bertentangan. Demikian pula mencampuradukkan Islam dengan agama lainnya seperti paham sinkretisme atau mengadopsi ideologi dan paham lainnya seperti sekularisme, pluralisme, demokrasi, HAM, dan sebagainya. Semua itu merupakan tindakan terlarang. Walhasil, jika surat ini dipahami dengan benar, umat Islam akan benar-benar terbebas dari seluruh kekufuran. Wallâhu a’lam bishshawâb. [SM/Ah]