Oleh: Sri Rahayu
“Saling berpesanlah untuk berlaku baik terhadap wanita, sesungguhnya kamu mengambil mereka dengan amanat Allah dan kamu memperoleh kehalalan farjinya dengan kalimat Allah.”(HR. Muslim)
Suaramubalighah.com, muslimah dan keluarga — Pesan Rasulullah saw. pada Haji Wada, masih terus tertancap kuat disanubari setiap mukmin. Kecintaan itu begitu dalam hingga Rasulullah berwasiat tentang perkara penting, salah satunya adalah pesan tentang pernikahan. Pernikahan adalah ibadah terlama, berlangsung sepanjang hayat manusia. Tentu membutuhkan bekal untuk menjalaninya. Sebaik-baik bekal adalah sabar dan takwa. Alangkah banyak keluarga yang kehilangan keduanya, hingga akhirnya kehilangan lebih banyak lagi hal sangat berharga.
Kehidupan yang lahir dari akidah sekulerisme telah melahirkan kehidupan yang serba bebas. Persoalan-persoalan yang muncul seringkali disikapi dan diselesaikan menurut selera manusia. Hingga muncul konsep hidup yang jauh dari panduan syariat, termasuk diantaranya adalah dalam memandang sebuah pernikahan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Faqihuddin Abdul Kodir yang mengatakan pernikahan adalah kontrak sosial antara dua pihak, laki-laki calon suami dan perempuan calon istri. Keduanya harus masuk dalam keadaan nyaman, rela, dan tanpa paksaan. Begitupun, lanjutnya, ketika dalam pernikahan itu mengalami ketidaknyamanan, tekanan, dan kekerasan, maka kedua belah pihak memiliki hak yang sama untuk memutuskan kontrak tersebut. Mekanisme penghentian ini, kata Faqih, menjadi berbeda, karena pada awal kontrak, laki-laki memberi mahar, sementara perempuan menerimanya.
Benarkah pernikahan hanyalah sebuah kontrak sosial sebagaimana dikatakan Faqih? Tepatkah ikatan laki-laki (suami) dan perempuan (istri) dalam sebuah pernikahan dianggap sekedar kontrak sosial? Benarkah ikatan pernikahan seperti ikatan transaksional layaknya syirkah? Yaitu ikatan bersifat temporal jika dikehendaki dilakukan, jika tidak tinggal diakhiri? Alangkah lemahnya ikatan seperti ini, mudah dimulai sekaligus mudah dilepaskan sesuai kepentingan kala manfaat didapatkan dari akad syirkah. Singkat kata Kalau suka diambil, jika tidak suka disudahi. Seperti itukah makna sebuah pernikahan yang sesungguhnya? Bagaimana pandangan seperti ini jika dikaitkan dengan wasiat Rasulullah saw. saat Haji Wada tentang pernikahan? Alangkah hina posisi manusia terutama perempuan jika pernikahan hanya dipandang kontrak sosial. Padahal banyak sekali konsekuensi hukum yang terikat saat sebuah akad terucap.
Selain pesan penting dari baginda Rasul, marilah kita simak pandangan para ulama dalam memandang sebuah pernikahan. KP Suri, 2019 dalam Tinjauan Perkawinan Menurut Ulama (Sayyid Sabig dan Prof. DR. Wabah Az-Zuhaili) menyatakan beberapa rumusan tentang pernikahan :
Ulama dari golongan Hanafiyah mendefenisikan nikah artinya: “Akad yang memiliki kemanfaatan atas sesuatu yang menyenangkan yang dilakukan dengan sengaja”.
Golongan Malikiyah mendefenisikan nikah, artinya: “Akad yang bertujuan hanya untuk bersenang-senang dengan wanita yang sebelumnya tidak ditentukan maharnya secara jelas serta tidak ada keharamannya sebagaimana lazimnya diharamkan oleh Al-Qur’an atau oleh ijmak”.
Golongan Syafi’iyah mendefenisikan nikah yang artinya: “Akad yang mengandung pemilikan untuk melakukan persetubuhan yang diungkapkan dengan kata-kata ankaha atau tazwij atau dengan kata-kata lain yang semakna dengan keduanya”.
Golongan Hanabilahmendefenisikan nikah dengan ungkapan yang artinya: “Akad yang diucapkan dengan lafaz ankaha atau tazwij untuk memperoleh manfaat bersenang-senang”.
Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Kompilasi Hukum Islam mendefenisikan yaitu “akad yang sangat kuat atau mitsaqan Ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pemahaman para ulama tentang pernikahan diperoleh dari firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat An-Nisaa: 21,
وَ كَيۡفَ تَاۡخُذُوۡنَهٗ وَقَدۡ اَفۡضٰى بَعۡضُكُمۡ اِلٰى بَعۡضٍ وَّاَخَذۡنَ مِنۡكُمۡ مِّيۡثَاقًا غَلِيۡظًا
“Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.”
Makna pernikahan dalam ayat di atas sangat jelas yaitu sebagai ikatan atau perjanjian yang sangat kuat atau mitsaqan gholidzan. Ikatan yang suci, sakral, istimewa dan sangat kokoh. Karena pernikahan adalah perjanjian berat, ikatan yang kuat maka ketika mitsaqan gholdzan ini harus diakhiri oleh suami (karena suatu sebab) maka suami tidak boleh mengambil kembali mahar yang sudah diberikan kepada istri. Sebagaimana penjelasan dalam Tafsir Ibnu Katsir, Allah Ta’ala berfirman “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali sedang sebagian kamu telah tercampur dengan yang lain” dan firman Allah Ta’ala “Dan mereka telah mengambil darimu perjanjian yang kuat.” Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dengan perjanjian ialah akad. Akad pernikahan dalam Islam harus memenuhi empat syarat :
Pertama, ijab-kabul dilaksanakan dalam satu majelis. Dengan kata lain majelis tempat diucapkannya ijab adalah juga majelis tempat diucapkannya kabul.
Kedua, hendaknya kedua belah pihak yang berakad mendengarkan perkataan satu sama lain dan sekaligus memahaminya. Dengan itu masing-masing dapat mengetahui bahwa dirinya menghendaki akad dengan makna ucapan yang dimaksud. Jika masing-masing tidak dapat mengetahuinya baik karena tidak mendengar atau karena tidak memahaminya maka akad nikah yang terjadi dipandang tidak sah.
Ketiga, hendaknya ucapan kabul tidak bertolak belakang dengan ucapan ijab baik secara keseluruhan maupun sebagian.
Keempat, syariat telah membolehkan perkawinan diantara kedua pihak yang berakad dengan mempelai wanita seorang muslimah atau Ahlul kitab. Sedangkan mempelai pria adalah seorang muslim bukan nonmuslim.
Jika keempat syarat itu telah terpenuhi maka akad pernikahan yang terjadi dipandang sah dalam pandangan syariat. Sebaliknya jika salah satu dari keempat syarat itu tidak terpenuhi maka akad pernikahan yang terjadi tidak dipandang sah karena dasarnya batil.
Sungguh Islam betul-betul menjaga ikatan yang sangat kuat yaitu mitsaqan gholidzan. Perjanjian berat dengan akad pernikahan menjadikan hubungan dua orang yang tadinya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, keduanya sah menjadi suami istri. Dari ikatan pernikahan tersebut melahirkan konsekuensi hukum yang banyak dan sangat mengikat keduanya.
Ketika akad pernikahan itu telah terlaksana maka keabsahannya harus disempurnakan dengan keabsahan syarat-syaratnya, yaitu mencakup tiga hal:
Pertama, hendaknya mempelai perempuan benar-benar menerima akad nikah yang dilangsungkan
Kedua, nikah tidak dipandang sah menurut syariat melainkan disertai dengan wali, karena seorang perempuan itu tidak dapat mengawinkan dirinya sendiri dan tidak dapat pula mengawinkan orang lain. Selain itu ia pun tidak dapat menjadi wakil karena walinya lah yang bisa menjadi wakil dalam pernikahannya. Jika ia melakukan tindakan tersebut maka perkawinannya tidak sah.
Ketiga, kehadiran dua orang saksi yang baligh berakal, mampu mendengar ucapan pihak-pihak yang melakukan akad serta mengerti maksud dan perkataan kedua mempelai dalam Ijab dan kabul bahwa yang diucapkannya itu merupakan akad pernikahan.
Demikianlah ketika akad nikah telah sempurna dan memenuhi persyaratan tersebut maka pernikahan yang terjadi dipandang sah. Tetapi jika salah satu dari ketiga syarat itu tidak terpenuhi maka pernikahan tersebut dipandang fasid atau rusak. Dari sini jelaslah pandangan Faqihuddin yang mengatakan pernikahan adalah sekedar kontrak sosial bertentangan dengan Firman Allah QS An-Nisaa’: 21, wasiat Rasulullah saw. dan pandangan para ulama yang menjelaskan bahwa pernikahan adalah mitsaqan ghalidzan (perjanjian berat).
Islam meletakkan pernikahan sebagai perjanjian berat, kokoh, agung, mulia dan sangat suci. Sehingga tidak mudah seorang muslim mengakhirinya ketika bertemu masalah dan jalan berliku. Justru segala persoalan dan perbedaan diantara keduanya adalah ujian dan rahmat untuk semakin mengokohkannya. Pandangan terhadap makna pernikahan ini harus diluruskan agar bangunan keluarga muslim memiliki pondasi yang kuat dalam panduan syariat. Agar terwujud keluarga muslim yang kokoh karena pernikahan adalah ibadah sepanjang hayat yang diikat oleh perjanjian berat dan memiliki panduan yang telah ditetapkan syariat.
Panduan dalam pernikahan ini sangat jelas di antaranya:
Pertama, dari Ibnu Abbas bahwa firman Allah, “Maka rujuk dengan cara yang ma’ruf atau ceraikanlah dengan cara yang baik pula”, dijelaskan dalam sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Kamu telah mengambil istri dengan amanat dari Allah dan kamu memperoleh kehalalan farjinya dengan nama Allah pula”. Dari Rabi bin Anas dikatakan yang dimaksud dengan nama Allah dalam hadis di atas adalah syahadat dan dalam meminang.
Kedua, suami sebagai qawam (pemimpin) memiliki amanah besar untuk memberikan nafkah, mendidik istri dan anak-anaknya. Demikian sebaliknya istri wajib mentaati suaminya. Hubungan suami istri dalam Islam adalah suhbah (persahabatan). Bukan hubungan atasan dengan bawahan. Ketika ada badai menyapa, maka keduanya saling berpegangan erat untuk bersama-sama melewatinya. Ketika bahagia meliputinya dinikmati bersama-sama. Sungguh sangat indah pernikahan dalam Islam. Suami istri ibarat pakaian yang saling menjaga dan melindungi.
Dari pendapat para ulama, UU perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam jelaslah walaupun ada perbedaan pendapat dalam merumuskan pernikahan namun masing-masing rumusan mengandung suatu unsur kesamaan. Yaitu pernikahan merupakan akad antara seorang laki-laki dengan perempuan yang dilandasi keimanan atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilaksanakan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang ditentukan syara’. Untuk menghalalkan antara keduanya sehingga satu sama lain saling membutuhkan sebagai teman hidup dalam rumah tangga. Yang sangat penting untuk digarisbawahi adalah perjanjian yang dimaksud bukan hanya seperti perjanjian jual beli atau kontrak atau sewa menyewa barang. Tetapi merupakan perjanjian berat dan suci yang mempunyai implikasi hukum untuk membentuk suatu keluarga. Tidak ada satupun pendapat yang mengatakan, bahwa pernikahan adalah kontrak sosial sebagaimana dikatakan Faqihuddin.
Sungguh agung makna ikatan pernikahan dalam Islam dan menjaga fitrah keduanya dalam ketundukan pada syariat-Nya. Rasul saw. bersabda “Apabila seorang hamba manusia telah menikah maka ia telah menyempurnakan separuh agama karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam separuh yang tersisa”. Dalam riwayat Thabrani dijelaskan barangsiapa yang menikah maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan separuh iman karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam separuh yang tersisa”. Semoga keluarga-keluarga muslim senantiasa terjaga fitrahnya dalam ikatan pernikahan mulia dalam bingkai syariat.Wallahu a’lam bishshawab. [SM/LY]