Mendidik Calon Ummun wa Rabbatul Bait

Oleh: Ummu Fairuzah

Suaramubalighah.com, muslimah dan keluarga — Fenomena “House of Titanic” sering kita temui di rumah para aktivis muslimah. Buku berserakan, mainan anak-anak di setiap sudut rumah, setrikaan menumpuk, baju rendaman sepekan berlalu, rumput di halaman tinggi menjulang, dan masih banyak lainnya.

Tidak ada yang bisa tenang dengan kondisi rumah bak kapal pecah. Secara psikologis pasti membebani para muslimah sebab ada kesadaran bahwa sebagian tanggung jawab terabaikan kala sibuk menjalankan tanggung jawab lainnya.

Akan tetapi, ini tidak ada kaitan dengan bab “Al-Aulawiyat (Skala Prioritas)” ya, Bunda Salihah. Tanggung jawab dalam rumah tangga boleh dinomorsekiankan hanya karena ada kewajiban yang harus tertunaikan lainnya, seperti menuntut ilmu dan berdakwah. Tugas utama perempuan dalam pandangan Islam tetaplah sebagai al-umm[a] wa mudabbirat[a] al-manzil, yakni ibu dan pengurus rumah tangga.

Juga bukan sekadar soal memberi “rasionalisasi” kepada tetangga bahwa yang namanya aktivis itu supersibuk dan butuh untuk dipahami. Bukan pula soal ridha dan pemakluman suami atau wali terhadap segudang amanah yang telah kita terima.

Lebih dari itu, ini soal pendidikan kepada generasi, terutama kepada anak-anak perempuan kita. Jangan sampai terbenakkan terhadap anak perempuan bahwa boleh (mubah) mengabaikan salah satu amanah untuk mengejar pelaksanaan amanah yang lain.

Aku Ingin Seperti Ibu

Setiap hari membersamai anak-anak, mengajak mereka dalam setiap aktivitas dakwah misalnya untuk membiasakan anak memahami kesibukan mulia yang dipilih ibunya, itu bagus, tetapi tidak cukup. Mereka juga mengindra dan membiasakan diri mereka dengan ritme ibu.

Benar, mereka akan terbiasa lalu mengatakan, “Aku ingin seperti ibuku!” Mereka mengindra ibunya yang profesional sering menunda pekerjaan rumah tangga karena deadline tugas kantor. Mereka mengindra umminya sibuk berdakwah sampai pekerjaan rumah tangga tidak mendapat porsi waktu yang cukup untuk dikerjakan.

Iya, anak perempuan kita mengindra wanita hebat idolanya sering thulul amal (panjang angan-angan), suka menunda-nunda pekerjaan rumah tangga. Nastaghfirullah.

Secara fitrah, seseorang lebih suka dengan amalan ringan. Bila tidak hati-hati, berikutnya akan menyepelekan pelaksanaannya, memilih mendahulukan amal yang bobotnya lebih besar secara materi, apalagi jika imbalannya pahala dan surga.

Sangat mungkin seorang muslimah giat menuntut ilmu yang wajib, sedangkan menunda merapikan rumah seolah-olah tidak ada dalil langsung atas kewajibannya. Padahal, apabila dikembalikan pada hukum asal seorang perempuan sebagai ibu dan pengurus rumah tangga, maka memasak, membersihkan rumah, mencuci baju, dan amal sejenisnya termasuk tanggung jawab perempuan. Walhasil, ini soal bagaimana muslimah meluruskan pemahamannya.

Menikmati Pekerjaan Rumah

Imam Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Nizhamul Ijtimai’ fil Islam menjelaskan bahwa mengurus rumah merupakan salah satu kewajiban di antara berbagai kewajiban seorang istri yang pelaksanaan kewajiban itu sesuai dengan kemampuannya.

Rasulullah saw. telah memerintahkan kepada istri-istri beliau untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Misalnya, beliau saw. berkata, “Ya ‘Aisyah, tolong ambilkan aku minum. Ya ‘Aisyah, tolong ambilkan aku makan. Ya ‘Aisyah, tolong ambilkan aku pisau dan asahlah dengan batu.”

Kisah ‘Ali dan Fathimah ra. juga mengajarkan tanggung jawab pekerjaan rumah kepada muslimah. “Rasulullah saw. telah memutuskan atas putri beliau, Fathimah, wajib mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di dalam rumah; dan atas ‘Ali wajib mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan di luar rumah.”

Diriwayatkan pula, “Bahwa Fathimah pernah datang kepada Rasulullah saw. mengadukan yang diderita tangannya karena menggiling gandum dan meminta kepada beliau seorang pembantu yang dapat meringankan pekerjaannya.”

Semoga, kini tidak ada lagi beban berat bagi para muslimah dalam menjalankan tanggung jawab rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Menikmati pekerjaan akan membahagiakan hidup seseorang dan kadar pemahaman menentukan kebahagiaan rumah tangga.

Bekerja Sama dengan Anak Gadis

Tidak ada sekolah untuk calon ibu. Pendidikan formal yang disediakan negara saat ini hanya mementingkan aspek intelegensi. Tidak seperti dalam kurikulum pendidikan Islam yang memberikan porsi pendidikan kerumahtanggaan untuk anak perempuan melalui fikih dan keterampilan. Konsep diri, kepribadian dan keterampilan, dalam rumah tangga sangat penting dimiliki anak perempuan.

Tidak ada bukan berarti tidak bisa diwujudkan. Membiasakan anak perempuan mengerjakan pekerjaan rumah bisa dilakukan orang tua di rumah. Ibu bisa meminta tolong anak perempuan untuk mengerjakan pekerjaan rumah sesuai kemampuannya atau bekerja sama mengerjakan pekerjaan rumah. Anak akan tumbuh dan terbiasa menikmati pekerjaan rumah bersama keluarga.

Misalnya, anak perempuan usia TK bisa diminta tolong untuk mengelap debu pada perabot rumah yang mungkin bisa dijangkau, merapikan mainannya dan buku-buku bacaan miliknya, atau membantu melipat baju dari jemuran. Anak usia TK juga bisa dimintai tolong menyiapkan baju ganti adik bayi sementara ibu memandikan adik. Selama pekerjaan masih dalam batas kemampuan anak, tentu tidak akan memberatkan, apalagi ini dikerjakan bersama sang ibu, tentu sangat menyenangkan.

Anak SD kelas 3 atau 4 sudah bisa diajak kerja sama untuk menyapu halaman, menyapu rumah, mengupas bawang, memotong sayur. Bertambah usianya pada kelas 5 atau 6 bisa dilatih mengerjakan pekerjaan yang tingkat kerumitannya bertambah, seperti menyetrika baju, mencuci baju harian, memasak sayur sup, ataupun menyuapi sarapan adik dan pekerjaan setara. Selama bukan bentuk instruksi, tetapi lebih kepada ajakan untuk memanfaatkan waktu luang daripada sekadar bermain, hal ini akan menjadi tantangan bagi mereka.

Pada waktu usia balig menyapa mereka, insyaallah mereka akan lebih siap menerima tanggung jawab yang sebenarnya. Minimal mereka bisa mengerjakan pekerjaan rumah, meski dengan kualitas yang mungkin sederhana.

Pembebanan taklif syara’ juga tidak akan memberatkan mereka sebab telah terbiasa mengerjakan amanah. Bagi anak, “Sekolah dan dakwah yes! Rumah beres!”

Sistem yang Meringankan Amanah Ibu

Seandainya saja kehidupan ini dalam naungan sistem Khilafah, yakni membangun kesadaran umat untuk terikat dengan syariat kaffah menjadi tugas pokok negara; juga ada peran kelompok dakwah menjadi mitra negara untuk menjaga ketakwaan individu dan muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) yang dapat mewujudkan masyarakat Islam yang taat syariat; tentu beban dakwah bagi muslimah tidak akan seberat sekarang ketika negara Khilafah lenyap.

Muslimah akan dapat lebih banyak tinggal di rumah-rumah suami mereka bersama kaum perempuan dan mahramnya saja. Mereka bisa menikmati ketenangan menjalankan peran ibu dan pengurus rumah tangga. Beban fardu kifayah dakwah berjamaah dan kebolehan bekerja untuk umat juga akan terasa sangat ringan.

Fokus perempuan mencetak para calon ibu di rumah-rumah mereka tidak akan terhalang. Kualitas hubungan mereka dengan anak-anak pasti dengan kadar terbaik. “Me time” bukan sekadar pelarian diri dari stres akibat kehidupan kapitalistik. “Me time” justru menjadi solusi bagi muslimah untuk menjalankan ibadah dan pekerjaan rumah dengan kualitas terbaik di hadapan Rabb-nya.

Ya Rahman, Ya Rahiim, segerakanlah tegaknya bisyarah Rasul kami, Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. آمِيْن اللّهُمَّ آمِيْن. [SM/LY]

Sumber: muslimahnews.net