Oleh: Rindyanti Septiana, S.H.I.
Suaramubalighah.com, opini — Kapan rakyat bisa merasakan kenyamanan dan ketenangan mempersiapkan diri pergi ke Baitullah untuk menunaikan ibadah haji? Pasalnya, setiap musim haji selalu saja ada masalah dalam pemberangkatannya. Padahal, bukan kali pertama pemerintah RI mengurusi penyelenggaraan haji.
Kali ini, pemerintah tersandung dengan masalah pembiayaan haji. Tidak sedikit jumlah nominal kekurangan dananya. Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas meminta tambahan anggaran kepada Komisi VIII DPR RI terkait operasional haji reguler dan khusus pada pelaksanaan haji tahun ini. Lebih dari Rp1,5 triliun diminta dalam rapat kerja bersama dengan Komisi VIII DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan. (gelora[dot]co, 31/5/2022).
Yaqut menjelaskan, penambahan anggaran haji karena adanya kebijakan terbaru dari pemerintahan Arab Saudi, terkait pelayanan Arafah, Musdalifah, dan Mina atau pelayanan Masyair. Sekaligus terkait layanan penerbangan haji yang memerlukan biaya tambahan.
Perinciannya adalah sebagai berikut: Masyair jemaah reguler, biaya efisiensi ibadah haji Rp700 miliar, nilai manfaat Rp791 miliar. Selain itu, ada pula technical landing jemaah haji embarkasi Surabaya, efisiensi ibadah haji Rp25,7 miliar, selisih kurs kontrak penerbangan, efisiensi valas Rp2 miliar, safeguarding Rp4 miliar, dan nilai manfaat Rp 13,2 miliar.
Tanpa melalui proses yang panjang, DPR menyetujui penambahan biaya dana haji yang akan ditomboki pemerintah. DPR dan Kemenag sepakat kekurangan dana haji akan dibebankan pada dana efisiensi haji 2014-2019. (kumparan[dot]com, 31/5/2022).
Asal-asalan
Konsep pengelolaan keuangan haji sejak awal telah bermasalah sehingga berdampak pada pembiayaan haji. Publik sudah mengetahui bahwa Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) telah menginvenstasikan dana haji dalam bentuk sukuk, deposito, dan bentuk-bentuk lain. Akumulasi dana hingga 2021 telah mencapai Rp158,88 triliun.
Dana yang dikelola BPKH merupakan setoran awal jemaah haji reguler Rp25 juta dan US$4.000 bagi haji khusus. Hasil investasi tersebut akan digunakan untuk menyubsidi biaya penyelenggaraan ibadah haji setiap tahun. Namun, mengapa dana haji tidak mencukupi? Katanya ada keuntungan yang didapatkan karena telah diinvestasikan.
Apalagi terjadi peningkatan jumlah jemaah haji yang masuk daftar tunggu menjadi sebab penumpukan akumulasi dana haji. Di tambah lagi tahun lalu tidak ada pemberangkatan jemaah haji, artinya pemerintah semestinya bisa mengantisipasi kenaikan biaya haji tahun ini.
Hal ini mengonfirmasikan pada publik bahwa BPKH sebagai pengelola keuangan haji masih asal-asalan mengelola dana dan berada di bawah kepemimpinan pemerintahan kapitalis yang tidak serius mengurusi segala urusan rakyat.
Tahun lalu, Menag pun sempat mengusulkan BPKH sebaiknya menginvestasikan dana haji untuk membiayai pembangunan nasional. Apakah usulan tersebut diterima BPKH? Entahlah, tidak ada penjelasan lebih lanjut terkait perihal ini.
Kenaikan Biaya Haji Bisa Diatasi Tanpa Menomboki
DPR kaget ketika Menag mengajukan penambahan biaya haji sampai Rp1,5 triliun. Salah satu anggota dewan mengatakan, hal tersebut menunjukkan kelemahan pemerintah dalam menyusun rencana penyelenggaraan haji. Namun, apa daya negeri ini masih dipimpin oleh para elite oligarki yang menyusun dan merencanakan kebijakan sesuai konsep untung-rugi, bukan pelayanan pada rakyat.
Menurut Sekjen HIMPUH M Firman Taufik, upgrade fasilitas seperti yang ditawarkan oleh pemerintah Saudi sebenarnya tidak begitu diperlukan. Mengingat masa tinggal di Arafah dan Mina relatif singkat, hanya empat hari.
Jika Indonesia telah mengurangi kuota jemaah haji menjadi 100.051 jemaah, artinya berkurang hampir 50% sehingga tidak dibutuhkan penambahan fasilitas baru, mencukupi dengan yang sudah ada. (bbc[dot]com,2/6/2022).
Semestinya pemerintah mencari akar masalah mengapa dana haji tidak mencukupi hingga harus menomboki? Tidak serta-merta meminta penambahan biaya pada negara yang akhirnya berdampak pula pada calon jemaah tunggu. Seperti yang dikatakan oleh Ketua Komnas Haji dan Umroh, Mustolih Siradj, bahwa tambahan biaya sebesar Rp1,5 triliun akan berpengaruh pada neraca keuangan haji yang dikelola BPKH.
Berimbas pada nilai manfaat atau imbal hasil yang diterima calon jemaah tunggu. Ia pun mengkhawatirkan subsidi dana haji yang makin besar justru menjadi “bom waktu” pengeluaran haji. Besar subsidi mencapai Rp90 juta per jemaah, dengan kata lain bisa saja akan terjadi kenaikan biaya haji pada tahun berikutnya dan menalangi kekurangan dana seperti halnya tahun ini.
Hal itu disebabkan uang hasil kelolaan haji tersedot untuk menyubsidi penyelenggaraan ibadah haji pada tahun berjalan. Dengan kata lain, “pemerintah gali lubang tutup lubang” untuk mendanai pembiayaan haji. Parahnya lagi, meminta penambahan biaya dengan berbagai alasan baru disampaikan pada akhir Mei. Sementara keberangkatan jemaah haji reguler akan dimulai tanggal 4 Juni 2022.
Begitu akan berangkat di situ pula sibuk meminta tambahan dana. Pemerintahan kapitalis selalu “mengejutkan” rakyat dengan kebijakannya yang tidak pernah beres. Masalah yang sejatinya bisa diatasi malah mengambil jalan pintas dengan menomboki. Seperti slogan dalam sistem kapitalis yang kita ketahui, “semua urusan lancar asal ada uang”.
Konsep Islam Melayani Jemaah Bukan Membebani
Tahun lalu pengamat ekonomi dan Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Dr. Anthony Budiawan telah mengatakan bahwa posisi keuangan dana haji sedikit tertolong dengan tidak adanya jemaah haji Indonesia yang berangkat selama dua musim haji terakhir. Ia pun menilai pengelolaan dana haji oleh BPKH mengalami pemborosan karena membayar gaji anggota BPKH dan membayar semua operasionalnya. Sewa gedungnya saja bisa mencapai ratusan miliar per tahun.
Hal di atas merupakan gambaran pengelolaan dana haji dalam sistem kapitalis. Berbeda halnya dengan Islam. Paradigma yang dibangun mengurusi penyelenggaraan haji ialah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummah. Tidak akan ditemukan paradigma bisnis, untung dan rugi, serta menggunakan dana haji untuk bisnis, investasi dan sebagainya.
Khilafah berupaya dengan segala cara mengoptimalkan sumber pendapatan negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan negara. Prinsip Khilafah ialah menjamin segala kebutuhan rakyat dengan efektif, efisien, dan penuh tanggung jawab.
Menyiapkan seluruh sarana dan prasarana yang dibutuhkan jemaah sebab hal itu menunjukkan wibawa negara. Setiap Wali di seluruh wilayah Islam juga akan mengangkat Amirul Haji dari figur-figur yang dikenal mampu dan bertakwa. Tamu Allah benar-benar difasilitasi dan dijamin kebutuhannya sejak awal persiapan hingga selama menunaikan ibadah haji.
Khatimah
Dalam Khilafah, tidak ada kekhawatiran calon jemaah yang telah menyetor sejumlah uang untuk pembiayaan haji karena negara mengelola keuangan haji dengan hati-hati dan sangat cermat. Pembiayaan haji tidak menyusahkan jemaah, dan pelayanan berkualitas diberikan kepada mereka.
Seperti yang terjadi pada masa Khilafah Utsmani yang membentuk lajnah khusus dengan kedudukan tinggi yang berhubungan langsung dengan As-Shadr Al-A’dham yang bertugas memonitor dan memperhatikan semua urusan rombongan haji di wilayah-wilayah Islam. As-Shadr Al-A’dham menginstruksikan kepada setiap wali di seluruh wilayah tersebut untuk memenuhi kebutuhan rombongan, memastikan keamanan, dan keselamatan mereka. Masyaallah. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/LY]
Sumber: muslimahnews.net