Tsunami Dekadensi Moral di Tengah Arus Moderasi Islam

  • Opini

Suaramubalighah.com, opini — Nyaris tiap hari media massa dan media sosial dipenuhi berita kerusakan moral generasi. Perilaku hedonistik, tindak kekerasan, seks bebas, aborsi, kejahatan seksual, penyimpangan seksual, pornografi, pornoaksi, narkoba, perundungan, penghinaan agama, praktik prostitusi, dan sejenisnya, tampak sudah lekat di kalangan anak dan remaja masa kini.

Media sosial bahkan telah menjadi lahan subur dan terbuka bagi merebaknya konten-konten amoral generasi. Konten-konten unfaedah dan berbau maksiat tampak sudah menjadi “dagangan” baru yang marak diproduksi demi uang dan eksistensi diri.

Mirisnya, siapa pun bisa menjadi produsen dan konsumen konten-konten ini. Kemajuan dan kemudahan akses teknologi rupanya telah menjadi tantangan tersendiri pada era disrupsi ini. Bahkan bisa dikatakan, era ini tengah membawa ancaman serius bagi penjagaan moral generasi, sebagaimana tsunami yang bisa memorak-porandakan sebuah negeri.

Dampak Sekularisasi

Fenomena menyedihkan seperti ini tidak dimungkiri sejalan dengan kian lemahnya fungsi agama di kalangan mayoritas masyarakat negeri ini. Masifnya proses sekularisasi di berbagai bidang kehidupan membuat agama hanya berperan sebatas ajaran ritual sekaligus sekadar identitas di atas kertas yang tidak berpengaruh apa-apa.

Ironisnya, proses sekularisasi ini justru legal dilakukan negara. Meski tidak menolak keberadaannya, tetapi negara tidak memperkenankan agama berperan mengatur kehidupan masyarakat. Agama dibatasi sebagai masalah privat saja, sedangkan dalam aspek lainnya, agama tidak boleh turut campur atau ikut “berbicara”.

Terlebih bagi agama Islam. Meski sejatinya Islam mengatur semua aspek kehidupan, tetapi syariat kafah haram diterapkan. Bahkan, sekadar untuk mempelajarinya pun benar-benar terlarang sebab Islam yang berlaku adalah Islam yang telah dikebiri sekadar urusan ibadah, akhlak, dan sebagian aturan. Selebihnya dipandang membahayakan.

Tidak heran jika Indonesia dikenal sebagai negeri muslim terbesar di dunia, tetapi aturan yang diterapkan justru banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam. Salah satunya sistem ribawi yang menjadi pilar perekonomian, serta sistem pergaulan yang sangat permisif dan serba liberal.

Di bidang pendidikan, aroma sekularisasi pun demikian kental. Dari masa ke masa pelajaran agama kian dimarginalkan. Kalau pun ada, domain pendidikan agama dan umum sengaja dipolarisasikan.

Wajar jika output-nya, lahir generasi yang serba timpang. Berpendidikan dan berketerampilan, tetapi minus nilai-nilai agama dan moral. Atau paham ilmu agama dan tsaqafah Islam, tetapi tidak mampu menapak di dunia nyata.

Asas sekularisme bahkan terbukti pula telah meracuni domain pendidikan berbasis agama. Pada domain ini, agama tetap saja sekadar jadi bahan pelajaran, tetapi tidak untuk diterapkan.

Tidak heran jika kasus-kasus amoral pun kerap dijumpai terjadi di lembaga-lembaga pendidikan berbasis agama. Meskipun jumlahnya mungkin tidak sefenomenal lembaga pendidikan non agama.

Moderasi Islam, Memperparah Keadaan

Di tengah kondisi menyedihkan ini, pemerintah justru mengaruskan proyek moderasi Islam. Atas nama moderasi, nas-nas agama ditafsir ulang agar sesuai dengan nilai-nilai Barat yang sekuler liberal, seperti nilai-nilai HAM, inklusivisme, kesetaraan, pluralisme, toleransi, dan sejenisnya. Lalu gagasan-gagasan ini diarusderaskan melalui berbagai kanal dan menyasar berbagai level, termasuk kalangan anak usia dini.

Narasi deradikalisasi selalu saja menjadi alasan utama. Seakan-akan radikalisme agama adalah akar semua problem kebangsaan sehingga solusinya adalah memoderasi ajaran Islam.

Padahal apa hubungannya antara isu keagamaan dengan problem krusial seperti krisis ekonomi dan moneter yang sering berulang? Apa pula hubungannya antara radikalisme dengan utang negara yang terus menumpuk? Juga apa hubungannya dengan isu kemiskinan dan kesenjangan sosial yang makin lebar? Atau dengan isu korupsi, kriminalitas, isu kekerasan seksual yang tidak selesai-selesai?

Lalu, apa pula hubungan antara radikalisme dengan perampokan SDA yang makin terbuka? Atau dengan cengkeraman oligarki yang makin menguat? Termasuk dengan dekadensi moral remaja yang makin menggila?

Jelas tidak ada hubungan! Sehingga wajar jika tujuan proyek moderasi Islam layak dipertanyakan. Terlebih faktanya proyek ini justru kian mengebiri fungsi agama sebagai benteng pertahanan generasi Islam.

Betapa tidak, melalui proyek ini, ajaran Islam sengaja dideideologisasi. Para pemeluknya dijauhkan dari keyakinan bahwa Islam adalah solusi problem kehidupan. Akibatnya keterikatan mereka terhadap ajaran Islam kafah makin lama makin longgar, bahkan berani mencampakkan atau melanggar sebagian syariat Islam tanpa rasa bersalah.

Padahal problem dekadensi moral adalah persoalan yang sangat sistemis. Tidak hanya berkaitan dengan sistem pendidikan, tetapi berkelindan juga dengan penerapan sistem-sistem lainnya. Seperti sistem ekonomi kapitalisme yang eksploitatif dan destruktif, sistem politik demokrasi yang mengagungkan kebebasan, sistem sosial yang serba permisif, sistem hukum dan sanksi yang lemah dan membuka celah kejahatan, sistem keamanan yang tak menjamin rasa aman, serta sistem informasi dan media massa yang begitu liberal, dan lain-lain.

Sebagai sebuah ideologi, Islam justru memiliki aturan rinci dan komprehensif dalam menyolusi problem generasi. Semua aturan tersebut berasal dari Allah Sang Maha Pencipta dan Mahasempurna. Aturan Islam menjamin kebaikan dan keberkahan bagi kehidupan manusia dari masa ke masa. Termasuk menjaga fitrah generasi sebagai hamba Allah dan khalifah fil ardhi.

Ketika aturan Islam dikebiri dengan dalih moderasi, lalu kehidupan diatur dengan hukum-hukum sekuler produk akal yang lemah dan terbatas, yang terjadi adalah kekacauan dan kerusakan di tengah-tengah masyarakat seperti saat ini. Pada saat yang sama, generasi umat kian lemah, tidak punya haibah (wibawa), dan sulit diharapkan bisa mewujudkan kebangkitan.

Skenario Global

Apa yang terjadi hari ini sejatinya bukan hal yang alami. Musuh-musuh Islam senantiasa membuat rekayasa melemahkan umat Islam dan menghalangi kebangkitan peradabannya, termasuk melalui perang pemikiran dan budaya. Tujuan utamanya adalah melanggengkan hegemoni ideologi dan peradaban kapitalisme atas dunia, khususnya di negeri-negeri Islam dengan segala potensi strategisnya yang luar biasa.

Moderasi Islam adalah salah satu bagian dari rekayasa global tersebut. Proyek ini digagas oleh RAND Corporation, salah satu lembaga thinktank Amerika. Tidak lain sebagai kelanjutan dari proyek perang melawan teror yang sejatinya merupakan perang melawan ideologi Islam dan para pengusungnya.

Melalui proyek ini, mindset umat Islam hendak diubah agar tidak lagi punya pandangan buruk tentang Barat beserta nilai-nilainya. Lalu pada saat yang sama mereka kehilangan kepercayaan diri sebagai muslim yang selalu siap terikat erat dengan agamanya dan pantas memimpin dunia.

Itulah kenapa, hari ini banyak umat Islam, terutama kalangan generasi muda, yang bersikap apologetis, sekaligus bangga dengan identitas baru sebagai muslim inklusif. Mereka rela berkompromi dengan kekufuran dan kebatilan, bahkan menjadi pelakunya. Namun pada saat yang sama, rela menjadi musuh bagi muslim lainnya yang ingin berislam kafah.

Mereka menyebut Islam yang dimoderasi sebagai Islam ramah, inklusif, dan berkemajuan. Sementara Islam yang dikukuhi pengusung Islam kafah distigma sebagai Islam marah, eksklusif, dan terbelakang.

Oleh karenanya, alih-alih menjadi solusi bagi problem generasi, proyek moderasi Islam justru menjadi pengukuh kerusakan. Bahkan dengan pengarusderasan moderasi Islam, umat kian kehilangan harapan untuk kembali mewujudkan peradaban Islam cemerlang.

Generasi Butuh Sistem Islam, Bukan Moderasi

Sistemisnya problem generasi mau tidak mau membutuhkan solusi sistemis pula. Yakni dengan menghadirkan kembali sistem Islam dalam realitas kehidupan, bukan malah mengarusderaskan moderasi Islam.

Sistem Islam tegak di atas paradigma sahih, yakni paradigma iman. Aturan-aturan yang lahir darinya sesuai dengan fitrah manusia dan tujuan penciptaan mereka. Yakni sebagai hamba Allah sekaligus khalifah di muka bumi.

Sepanjang belasan abad sistem ini pernah tegak dan berhasil menghantarkan generasi umat Islam sebagai sebaik-baik umat. Peradaban yang mereka lahirkan diakui sebagai peradaban cemerlang yang menerangi dunia dan membantu Barat keluar dari peradabannya yang gelap.

Lahir pula dari sistem Islam, profil generasi umat yang patut menjadi teladan sepanjang zaman. Yakni generasi berkepribadian Islam yang siap berkontribusi besar dalam urusan keumatan, dan jasanya diakui hingga masa sekarang.

Mereka benar-benar pakar di berbagai keahlian, tapi tetap lekat dengan identitas Islam. Mereka benar-benar merepresentasikan kedudukan sebagai sebaik-baik umat yang dilahirkan di antara manusia.

Generasi sebaik ini niscaya akan kembali jika umat mau berjuang menegakkan kembali sistem Islam. Caranya dengan melakukan dakwah pemikiran untuk memahamkan umat tentang urgensi dan kewajiban terikat dengan Islam kafah. Yakni dalam naungan sistem politik bernama Khilafah Islam.

Perjuangan seperti ini tentu butuh keseriusan dan kesabaran. Juga butuh sinergi kuat dari berbagai komponen umat karena musuh tentu tidak akan pernah rela, kekuasaan yang ada di genggamannya terlepas begitu saja.

Namun, yakin saja, sebesar apa pun kekuatan musuh, ujung perjuangan umat adalah kemenangan. Yakni dengan tegaknya Khilafah yang berdasarkan minhaj kenabian sebagaimana yang dijanjikan,

ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ

” … Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti minhaj kenabian.” (HR Ahmad, Baihaqi, Abu Dawud, dll.) Wallahu a’lam bishshawab. [SM/AH]

Sumber: Muslimah News