Hukum Membaiat Khalifah Tanpa Kekuasaan untuk Menerapkan Syariat

Oleh: K.H. Muhammad Shiddiq Al-Jawi, M.Si.

Tanya:

Suaramubalighah.com, Tanya Jawab — Teman dialog saya pernah menyampaikan bahwasanya ia mengaku sudah membaiat atau memiliki khalifah. Meskipun, ketika saya tanya, mana wilayahnya, militer, dan sebagainya ia menjawab belum ada dan lagi diusahakan. Ini karena, menurut ia, yang penting adalah membaiat atau mengangkat khalifah dulu, adapun soal perangkatnya (wilayah, militer, dan lain-lain) menyusul.

Jika harus menunggu militer dan wilayah dulu ada, akan terlalu lama. Keburu nanti jika mati, maka matinya terkategori mati jahiliah. Jadi angkat dulu khalifah meskipun belum ideal (bisa dikatakan khalifah darurat). Menurut ia lagi, pemahaman di atas berangkat dari hadis rasul saw., “Barang siapa yang mati dalam kondisi tidak berbaiat kepada khalifah, maka matinya mati jahiliah.”

Pertanyaan saya :

1. Benarkah pemahaman teman dialog saya tadi, yang penting “person khalifah” dulu, bukan “wilayah atau kekuasaan”?

2. Bagaimana penjelasan soal hadis yang dijadikan dalil oleh teman dialog saya tadi? Mohon ustaz berkenan untuk menjawabnya. (Amin, Purbalingga)

Jawaban:

Definisi khalifah adalah:

اَلْخَلِيْفَةُ هُوَ الَّذِيْ يَنُوْبُ عَنِ الْأُمَّةِ فِي الْحُكْمِ وَالسُّلْطَانِ وَفِيْ تَنْفِيْذِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ

“Huwalladzy yanuubu ‘anil ummah fi al-hukmi wa as-sulthan wa tanfiidzi ahkaam asy-syar’i” (Khalifah adalah orang yang mewakili umat Islam dalam urusan kekuasaan/pemerintahan dan penerapan hukum-hukum syara’.)

Demikian diterangkan oleh Imam Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fi Al-Islam, pada bab Al-Khalifah, hlm. 49.

Jadi, khalifah yang dibaiat haruslah mempunyai kekuasaan (As-sulthan) dan menerapkan hukum-hukum syara’ di berbagai aspek kehidupan, seperti sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, politik luar negeri, dan sebagainya.

Khalifah yang dimaksud dalam hadis tersebut, tiada lain adalah khalifah dalam definisi syar’i ini.

Dengan demikian, kalau seseorang diangkat sebagai khalifah, tetapi tidak mempunyai kekuasaan dan tidak melaksanakan hukum-hukum syara’, sebenarnya ia bukanlah khalifah dalam pengertian syar’i.

Membaiat khalifah tanpa kekuasaan atau tanpa penerapan syariat kepada masyarakat, hukumnya tidak sah menurut syara’ karena telah menyalahi nash-nash syara’ yang menerangkan kewenangan (shalahiyat) khalifah dalam kekuasaan dan penerapan syariat dalam segala bidang kehidupan.

Benar, bahwa wajib hukumnya setiap muslim mempunyai baiat di lehernya dan bahwa kalau seorang muslim yang tidak mempunyai baiat kepada khalifah mati , matinya adalah mati jahiliah.

Sabda Rasulullah saw.,

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barang siapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada khalifah), maka matinya adalah mati jahiliah (yaitu mati dalam kondisi berdosa, bukan mati kafir).” (HR. Muslim)

Akan tetapi, meski demikian, ini tidak berarti bahwa orang boleh membaiat khalifah dengan sembarangan tanpa memperhatikan syarat-syarat syar’i atau berbagai wewenang (shalahiyat) yang dimiliki khalifah, yaitu menerapkan syariat Islam dalam segala bidang kehidupan, misalnya di bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, pidana (‘uquubaat), perdata (muamalah), sosial, budaya, hubungan internasional, dan sebagainya.

Sama halnya pembaiatan tersebut dengan shalat yang hukumnya wajib atas setiap muslim, dan kalau seorang muslim tidak mau shalat, maka ia diancam oleh Allah SWT. akan masuk neraka (Saqar) (QS. Al-Muddatstsir: 42). Akan tetapi, ini tidak berarti seorang muslim boleh shalat secara sembarangan, misalnya shalat tanpa memenuhi syarat-syarat sahnya shalat, misalnya shalat tanpa menghadap kiblat, tanpa menutup aurat, tanpa wudhu, dan sebagainya.

Ini adalah kekeliruan pertama, yakni melaksanakan hukum syara’ tanpa memperhatikan syarat-syaratnya. Kekeliruan kedua, yang tak kalah fatalnya, adalah tidak membedakan antara mengangkat khalifah (nashbul khalifah) dengan menegakkan Khilafah (iqamatul khilafah).

Kedua hal ini berbeda. Mengangkat khalifah tidak otomatis menegakkan sistem Khilafah, yaitu ketika Khilafahnya sendiri tidak ada, seperti kondisi sekarang pasca runtuhnya Khilafah di Turki tahun 1924.

Namun, menegakkan Khilafah (iqamatul Khilafah) secara otomatis akan berimplikasi adanya keharusan pengangkatan khalifah (nashbul Khalifah).

Nah, masalah yang dihadapi umat Islam setelah hancurnya Khilafah di Turki pada 1924, justru adalah menegakkan Khilafah (iqamatul khilafah), bukan sekadar mengangkat khalifah (nashbul khalifah).

Sementara teman Anda mempunyai pemahaman dasar bahwa masalah yang perlu dipecahkan hanya sekadar mengangkat khalifah (nashbul khalifah), tanpa memperhatikan apakah negara Khilafahnya sendiri sudah ada atau tidak ada sama sekali. Di sinilah pangkal kekeliruan teman Anda. (Kekeliruan yang parah ini antara lain bersumber dari buku berjudul Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, karya Wali Al-Fattah).

Dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fi Al-Islam, Syekh Abdul Qadim Zallum menerangkan bahwa untuk mengangkat Khalifah (nashbul khalifah), wajib dipenuhi 7 (tujuh) syarat yang melekat pada pribadi (person) khalifah, yaitu seorang khalifah itu wajib:

  1. Muslim,
  2. Laki-laki,
  3. Balig,
  4. Berakal,
  5. Adil (tidak fasik),
  6. Merdeka (bukan budak), dan
  7. Mampu.

Sedangkan, untuk menegakkan Khilafah (iqamatul khilafah), harus dipenuhi 4 (empat) syarat:

Pertama, khalifah yang dibaiat wajib memenuhi ketujuh syarat baiat in’iqad (yaitu ketujuh syarat wajib yang telah disebutkan di atas).

Kedua, negeri (al-balad) tempat khalifah itu dibaiat wajib mempunyai kekuasaan yang mandiri (sulthanan dzatiyan), bukan di bawah kendali orang kafir atau negara kafir.

Ketiga, keamanan (al-amaan) negeri itu berupa keamanan Islam, yakni keamanan negeri itu baik dalam negeri maupun luar negeri, sepenuhnya berada di tangan kaum muslimin.

Keempat, khalifah itu wajib segera menerapkan hukum-hukum syara’ di dalam negeri, dan wajib segera melaksanakan tugas mengemban dakwah Islam ke luar negeri. (Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukmi fi Al-Islam, hlm.59-60).

Demikianlah penjelasan kami secara garis besar saja.

Untuk mengetahui lebih detailnya, termasuk segala dalil-dalilnya, silakan merujuk pada kitab yang kami sebut tadi, yakni Nizhamul Hukmi fi Al-Islam karya Syekh Abdul Qadim Zallum.

Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada para hamba-Nya yang bertakwa kepada-Nya. Aamiin. [SM/LY]

Sumber: muslimahnews.net