Oleh: Diana Wijayanti
Suaramubalighah.com, opini — Bak sinar matahari yang menerangi dan menghangatkan bumi, opini Khilafah semakin tak terbendung lagi. Jika dulu hanya dibicarakan di majelis taklim kini tidak ada satu umat pun yang tidak membicarakan Khilafah. Baik level grassroot hingga pejabat, muslim maupun nonmuslim, semua serempak makin sering membicarakan Khilafah. Baik positif maupun negatif opini Khilafah kian tidak terbendung lagi.
Khilafah sebagai ajaran Islam yang merupakan sistem pemerintahan (sistem ketatanegaraan) warisan Rasulullah saw. pun tak ada yang memungkiri. Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ke-7 yang digelar pada 9-11- 2021, salah satu poinnya adalah bahwa MUI menolak pandangan yang dengan sengaja mengaburkan makna jihad dan Khilafah. MUI meminta semua pihak untuk menghentikan segala stigma negatif terkait Khilafah.
Direktur Kurikulum, Sarana dan Prasarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Kementerian Agama Mohamad Isom Yusqi mengamini bahwa Khilafah sejatinya memang diajarkan dalam agama Islam. Khilafah merupakan sistem pemerintahan yang mengenalkan masa kepemimpinan para khalifah (pemimpin) usai wafatnya Nabi Muhammad.(cnnindonesia.com, 11-06-2022)
Namun sangat disayangkan, besarnya opini Khilafah ditengah masyarakat membuat para pembenci Islam mulai mengaburkan gambaran Khilafah yang sesungguhnya. Ada yang mengatakan Khilafah adalah ideologi, bahkan ada yang berpendapat bahwa Khilafah itu salah satu ilmu pemerintahan sebagaimana sistem republik.
Ironis sebenarnya, disatu sisi mengakui bahwa Khilafah adalah ajaran Islam, namun disisi lain ada upaya menjauhkan gambaran jelas dari Khilafah itu sendiri, yakni bahwakhilafaah adalah satu-satunya sistem pemerintahan warisan Rasulullah saw..
Pada 2019 materi tentang Khilafah dan jihad sempat memicu polemik lantaran muncul dalam soal Ujian Akhir Semester (UAS) di Jawa Timur. Kemenag pun memutuskan untuk merevisi kedua materi tersebut dan memindahkannya dari pelajaran Fikih ke Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Ini semakin membuktikan bahwa ada upaya untuk memosisikan Khilafah hanya sebatas sejarah yang seakan-akan tidak boleh ditegakkan kembali.
Khilafah yang diidentikan dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebelum dicabut badan hukumnya oleh pemerintah, senantiasa digiring pada stigma negatif yang dilekatkan pada tindakan radikal dan ekstrimis. Terakhir, seruan Khilafah yang dikampanyekan oleh Khilafatul Muslimin beberapa waktu lalu pun berakhir pada upaya kriminalisasi Khilafah dan pejuangnya.
Sangat jelas, bahwasanya pengaburan makna Khilafah sejatinya upaya menghadang tegaknya kembali Khilafah ‘ala minhājin nubuwah. Dan hal ini tidak bisa dilepaskan dari agenda global negara adidaya dalam menghalangi kebangkitan Islam dengan Islam politiknya yakni Khilafah Islam .
Langkah menghadang kebangkitan Islam ini, ketemu momentumnya saat WTC runtuh pada 9 September 2001, dengan tuduhan teroris sebagai pelakunya. Dunia akhirnya terbelah menjadi dua, berada di pihak Amerika dan sekutunya atau bersama teroris. Istilahnya adalah perang melawan terorisme (War on Terorisme). Ketika WOT dianggap gagal maka berikutnya digencarkan perang melawan radikalisme dan ekstrimisme. yang tertuang dalam panduan Rand Corporation, lembaga think tank Amerika Serikat dalam menumpas Islam politik mengatasnamakan permusuhan terhadap kelompok fundamental, ekstrimis maupun teroris.
Khilafah adalah kepemimpinan (al-imaarah atau al-imaamah). Al-Khilafah juga berarti perwakilan dari yang lain (al-niyaabah ‘an al-ghair). Al-Khalifu adalah semua orang yang hadir setelah orang sebelumnya.” (Al-Qamuus al-Fiqhiy, juz 1/120). Ada juga yang mendefinisikan: “Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh umat Islam di dunia untuk menerapkan seluruh hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, 2/13).
Syekh Musthafa Shabari, Syekh Islam Khilafah Usmaniyah mengatakan: “Khilafah itu adalah pengganti dari Rasulullah saw. dalam menerapkan syariat Islam yang datang dari Beliau saw.” Di dalam kitab Al-Ahkaam al-Sulthaniyyah, Imam Al Mawardi Asy-Syafi’i menjelaskan bahwa “Imamah itu terletak di posisi untuk Khilafah nubuwwah dalam menjaga agama dan pengaturan urusan dunia.”
Atas hal itu, bisa disimpulkan bahwa Khilafah adalah sistem pemerintahan yang akan melaksanakan seluruh syariat Islam. Menggantikan Rasulullah saw. dalam kepemimpinan seluruh umat Islam, bukan dalam hal nubuwwah. Ini tentunya menjadikan sistem Islam (Khilafah) berbeda dengan sistem demokrasi ataupun dictator. Karena hak membuat hukum atau undang-undang tidak ada di tangan rakyat maupun penguasa, akan tetapi kedaulatan itu berada di tangan Allah.
Ketika masyarakat makin jauh dari pemahaman Khilafah yang sebenarnya maka upaya perjuangan penegakan Khilafah kian surut bahkan makin padam. Itulah yang dikehendaki musuh-musuh Allah yang notabene adalah Barat. Barat paham betul kekuatan persatuan umat Islam di dunia dalam satu kepemimpinan yaitu Khilafah. Khilafah menjadi momok tersendiri bagi Barat, karena akan menghentikan kerakusan mereka dalam menjajah dunia Islam.
Tentu saja Khilafah yang ditakuti Barat bukan sekedar nama ormas seperti Khilafatul Muslimin yang telah mengklaim organisasinya adalah khilafah dan pemimpinnya sebagai khalifah. Bukan juga ISIS yang mengklaim telah menegakkan Khilafah namun tidak berdaulat dan tidak menerapkan syariah Islam secara kaffah. Belakangan terkuak bahwa ISIS adalah bentukan Intelijen Amerika Serikat.
Semua pengaburan makna Khilafah ini , selain dimaksudkan untuk membendung laju kebangkitan Islam yaitu tegaknya Khilafah Islamiah ‘ala minhajin nubuwwah, juga sebagai bentuk pembodohan umat Islam. Selanjutnya menyebabkan umat Islam membenci Khilafah bahkan memusuhinya. Ini sungguh sangat berbahaya.
Di tengah sistem kapitalisme demokrasi yang telah menimbulkan berbagai persoalan kehidupan, ketidaksejahteraan dan ketidakadilan, hanya Khilafah satu-satunya harapan dunia. Sebagai solusi untuk menghentikan kezaliman peradaban kapitalisme liberal tersebut. Terlebih bagi seorang muslim, khilafah adalah janji Allah SWT, bisyarah Rasulullah saw. dan kewajiban yang harus ditegakkan. Allah SWT berfirman,
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً…
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi khalifah…” (QS. Al-Baqarah [2]: 30).
Saat menafsirkan ayat di atas, Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa wajib atas kaum muslim untuk mengangkat seorang imam atau khalifah. Ia lalu menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) tersebut di kalangan umat dan para imam mazhab; kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli terhadap syariat, red.) dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li ahkâm Al-Qur’an, 1/264).
Rasulullah saw,
مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.” (HR. Muslim).
Berdasarkan hadis di atas, menurut Syaikh Ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib (Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda ahl as-sunnah wa al-jamâ’ah, hlm. 49).
Telah disebutkan oleh para ulama, misalnya Ibnu Khaldun, “Mengangkat seorang imam (khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat diketahui dalam syariah dari Ijmak Sahabat dan tabi’in.” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 191).
Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata, “Ketahuilah pula bahwa para sahabat, semoga Allah me-ridha-i mereka, telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting saat mereka menyibukkan diri dengan kewajiban itu, dengan menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.” (Ibnu Hajar al-Haitami, Ash-Shawa’iq al-Muhriqah, hlm. 7).
Oleh karena itu, sebagai wujud daripada keimanan umat Islam, sudah semestinya memahami Khilafah sebagai sistem pemerintahan yang mengatur kehidupan manusia sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis sebagai mana yang telah contohkan Rasulullah saw. di Madinah. Dan meneladani Rasulullah saw. adalah kewajiban dari Allah SWT, dalam firman-Nya,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah” (QS. Al-Ahzab: 21).
Maka, saatnya untuk memahami konsep Khilafah dengan benar dan memperjuangkannya untuk menerapkan Khilafah sebagai sistem pemerintahan bukan sebatas ilmu semata (teori). Wallahu a’lam bishshawab. [SM/LY]