Oleh: K.H. Muhammad Shiddiq Al-Jawi
Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Para ulama mujtahidin telah berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu rukyat yang sama untuk Idulfitri. Madzhab Syafi’i menganut rukyat lokal, yaitu mereka mengamalkan rukyat masing-masing negeri. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut rukyat global, yakni mengamalkan rukyat yang sama untuk seluruh kaum Muslim. Artinya, jika rukyat telah terjadi di suatu bagian bumi, maka rukyat itu berlaku untuk seluruh kaum Muslim sedunia, meskipun mereka sendiri tidak dapat merukyat.
Namun, khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Iduladha. Sesungguhnya ulama seluruh madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) telah sepakat mengamalkan rukyat yang sama untuk Iduladha. Rukyat yang dimaksud, adalah rukyatul hilal (pengamatan bulan sabit) untuk menetapkan awal bulan Dzulhijjah, yang dilakukan oleh penduduk Makkah. Rukyat ini berlaku untuk seluruh dunia.
Karena itu, kaum Muslim dalam sejarahnya senantiasa beriduladha pada hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir (oleh orang banyak pihak yang mustahil sepakat bohong) bahkan sejak masa kenabian, dilanjutkan pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin, Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang.
Namun meskipun penetapan Iduladha ini sudah ma’luumun minad diini bidl dlaruurah (telah diketahui secara pasti sebagai bagian integral ajaran Islam), anehnya pemerintah Indonesia dengan mengikuti fatwa sebagian ulama telah berani membolehkan perbedaan Iduladha di Indonesia. Jadilah Indonesia sebagai satu-satunya negara di muka bumi yang tidak mengikuti Hijaz dalam beriduladha. Sebab, Iduladha di Indonesia sering kali jatuh pada hari pertama dari Hari Tasyriq (tanggal 11 Dzulhijjah), dan bukannya pada Yaumun-nahr atau hari penyembelihan kurban (tanggal 10 Dzulhijjah).
Kewajiban kaum Muslim untuk beriduladha (dan beridulfitri) pada hari yang sama, telah ditunjukkan oleh banyak nash-nash syara’. Di antaranya adalah sebagai berikut :
Hujjah pertama,
“Idulfitri adalah hari saat umat manusia berbuka, dan ‘Iduladha adalah hari ketika umat manusia menyembelih korbannya.” (HR. Tirmidzi dari ‘Aisyah ra.).
Selain itu Imam Tirmidzi juga meriwayatkan hadits Nabi saw dengan lafadz berbeda,
“Berpuasa (Ramadan) adalah saat mereka berpuasa, ‘Idulfitri adalah saat mereka berbuka, dan Iduladha adalah masa mereka menyembelih (hewan korban).” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah ra.).
Hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa perayaan Iduladha dilakukan pada saat (jemaah haji) melakukan penyembelihan hewan kurban (berkurban), yaitu tanggal 10 Dzulhijah, bukan hari yang lain. Dalam hal ini Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. Mengatakan,
“Bahwa hari Arafah (yaitu tanggal 9 Dzulhijjah) itu adalah hari yang telah ditetapkan oleh Imam (Khalifah), dan hari berkorban itu adalah masa Imam (Khalifah) menyembelih kurban.” (HR. Thabrani dalam kitab Al-Ausath, dengan sanad hasan).
Ini lebih menegaskan lagi bahwasanya penetapan hari (wukuf) di Arafah, dan Iduladha (yaumul hadyi) diputuskan oleh Imam (Khalifah) kaum Muslimin, yang berlaku serentak untuk seluruh kaum Muslimin di negeri manapun, baik mereka tinggal di negeri Hijaz, Mesir, Suriah, Turki, Irak, Pakistan, Indonesia, Uzbekistan, ataupun di Malaysia.
Hujjah kedua, hadis yang berasal dari Husain bin Harits Al Jadali, yang menyampaikan:
“Bahwasanya Amir Makkah (Wali Makkah) berkhutbah dan menyatakan : ‘Rasulullah saw. memerintahkan kita agar memulai manasik (haji) berdasarkan rukyat. Apabila kita tidak melihat (rukyat)nya, sementara dua orang yang adil menyaksikan (munculnya hilal) maka kita harus memulai manasik dengan kesaksian dua orang tersebut.” (HR. Abu Daud)
Hadis ini menunjukkan bahwa pada masa itu Amir Makkah-lah yang menetapkan pelaksanaan manasik haji, mulai dari wukuf di Arafah, Thawaf Ifadhah, bermalam di Muzdalifah, melempar Jumrah, dan seterusnya. Dengan kata lain, penguasa yang menguasai kota Makkah saat ini berhak menentukan wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah), pelaksanaan penyembelihan hewan korban (10 Dzulhijjah), dan rangkaian manasik haji lainnya.
Hal itu berarti negeri-negeri Islam lainnya harus mengikuti penetapan hari wukuf di Arafah, yaumun nahar (hari penyembelihan hewan kurban pada tanggal 10 Dzulhijjah) berdasarkan keputusan Amir Makkah, atau penguasa yang saat ini mengelola kota Makkah. Oleh karena itu, kaum Muslimin di seluruh dunia wajib merayakan Iduladha secara serentak pada hari yang sama, yaitu pada saat ketika jamaah haji tengah melakukan penyembelihan kurban pada hari kesepuluh bulan Dzulhijjah dan bukan pada awal hari Tasyriq.
Hujjah ketiga, hadis Rasulullah saw. melalui Abu Hurairah ra.,
“Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang berpuasa pada hari Arafah (bagi jamaah haji yang ada) di padang Arafah.” (HR. Abu Daud, Nasa`i, dan Ibnu Khuzaimah).
Disunnahkan bagi orang-orang yang tidak menjalankan ibadah haji untuk berpuasa pada hari (wukuf) Arafah, atau pada hari kesembilan bulan Dzulhijjah. Hari Arafah adalah hari itu jemaah haji melakukan wukuf di Padang Arafah. Ini menunjukkan pula bahwa hari Arafah itu satu, tidak berbilang dan tidak boleh berbilang. Jadi bagaimana mungkin kaum Muslimin di Malaysia berpuasa Arafah pada hari penyembelihan hewan kurban, yaitu pada jamaah haji tengah menjalankan Iduladha? Dan bagaimana mungkin mereka merayakan Iduladha sekaligus melakukan shalat Id (shalat hari raya) pada hari sewaktu jemaah haji sudah memasuki awal hari Tasyriq (tanggal 11 Dzulhijjah)?
Hujjah Keempat, hadis Rasulullah saw. melalui Abu Hurairah ra,
“Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang berpuasa pada dua hari, yaitu hari Idulfitri, dan hari Iduladha.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Selain itu kita diharamkan berpuasa pada hari Tasyriq, sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
“Hari-hari di Mina (hari-hari Tasyriq) adalah hari-hari untuk makan dan minum serta mengingat Allah Ta’ala.” (HR. Muslim).
Maka, tidak diperbolehkan kaum Muslimin menjalankan puasa sunat pada hari tatkala jemaah haji tengah merayakan Iduladha (10 Dzulhijjah). Wallahu a’lam bishshawab. [SM/LY]
Sumber: muslimahnews.com