Oleh: Rofah M.
Suaramubalighah.com, muslimah dan keluarga — Viralnya rendang babi yang berujung pada kontroversi, merupakan fenomena kuliner yang sensasional. Pasalnya rendang merupakan makanan khas rumah makan Padang, yang identik dengan kuliner halal. Bahkan selama ini rendang menjadi simbol makanan halal khas daerah yang notabene mayoritas penduduknya muslim.
Masakan padang itu viral usai dua anggota DPR RI asal Sumatera Barat Andre Rosiade dan Guspardi mengkritik usaha kuliner khas Minangkabau yang menjual rendang berbahan daging babi. Andre mengatakan usaha kuliner itu menimbulkan keresahan di tengah masyarakat Minang. Pasalnya, pemilik menjual makanan yang diolah dari daging babi. Sergio pemilik rumah makan “Babiambo” ini mengaku hanya mencoba berinovasi dengan memadukan kuliner khas suku Minang dengan bahan baku daging babi untuk memperluas pasar (beritajatim.com, 11/07/2022). Sementara Dwi Larastie Nur Fibri, pakar kuliner dari Universitas Gadjah Mada (UGM), berpendapat bahwa pemilihan makanan itu adalah tanggung jawab pribadi (politicanews.id, 13/06/2022)
Tak selang berapa lama setelah viralnya rendang babi, disusul oleh munculnya nasi uduk khas Aceh dengan bahan yang bercampur daging babi.
Fenomena inipun mengundang kegaduhan. Lagi-lagi karena kuliner tersebut mencatut nama daerah yang kental dengan Perda syariatnya yakni Serambi Makkah, Aceh. Tak hanya itu, penistaan terhadap Islam melalui promosi minuman keras gratis bagi pelanggan bernama Muhammad dan Maria oleh pihak Holywings Indonesia pun membuat geram masyarakat. Promosi ini diunggah di Instagramnya Holywings (Suara.com, 27/06/ 2022)
Ada apa sebenarnya dibalik viralnya kuliner haram yang disematkan pada kuliner tersebut nama daerah yang identik dengan Islam? Ataupun promo minuman haram yang digratiskan pada orang yang beridentitas muslim? Hal ini mengundang tanda tanya besar pada sebagian kalangan. Terlebih di era generasi muda yang tengah berada dalam arus liberal life style yakni food, fashion, fun and football. Dalam konteks food atau makanan, maka generasi muda dimanjakan dengan aneka kuliner yang sangat beraneka ragam dan rasa. Bahkan terkadang dihadapkan pada kuliner cukup menantang seperti kuliner ekstrim tanpa memperhatikan lagi aspek halal dan haramnya.
Tren Kuliner dan Moderasi Beragama
Terjadinya penyematan nama daerah maupun nama yang identik dengan Islam pada kuliner haram, menunjukkan adanya upaya untuk membuat sebuah habit baru bahwa tidak perlu ada alergi terhadap kuliner haram. Dengan kata lain, generasi muda saat ini tidak terkecuali generasi muda muslim tengah digiring gaya hidup yang tidak perlu memperhatikan terhadap standar syariat Islam.
Cara berpikir moderasi beragama yang berupaya menggeser status hukum dari haram ke halal atau sebaliknya dari halal ke haram dilakukan dengan cara-cara membuat sebuah habit baru di kalangan generasi muda. Sehingga generasi muda yang kurang jeli, mudah terseret ke arus budaya dan pemikiran liberal yang tengah diaruskan dalam proyek moderasi beragama. Kali ini, tren kuliner haram dijadikan sebagai alat untuk menderaskan arus moderasi.
Ini merupakan perkara yang tidak bisa dipandang sebagai persoalan tren biasa maupun sekedar inovasi kuliner biasa. Namun sudah merupakan sebuah upaya perlahan untuk mengikis pemahaman generasi muda muslim terhadap perkara halal dan haram. Bahkan ada upaya menggeser perasaan berdosa pada umat Islam terhadap perkara haram dan dosa, menjadi hal yang biasa
Sementara di sisi lain, negara tidak memberikan jaminan perlindungan terhadap umat Islam untuk terjaga dari makanan yang haram. Karena tidak adanya pengaturan terkait peredaran makanan haram di masyarakat. Peredaran makanan haram di masyarakat diserahkan kepada individu.
Hilangnya Peran Negara Menjamin Peredaran Makanan dan Minuman Halal
Indonesia merupakan negeri yang mayoritas penduduknya muslim, bahkan merupakan negara muslim terbesar di dunia saat ini. Sudah selayaknya negara dengan mayoritas penduduk muslim memberikan jaminan peredaran makanan atau minuman halal bagi penduduknya. Namun yang terjadi hari ini, justru negara telah memberikan ruang yang luas untuk peredaran makanan maupun minuman haram. Ini merupakan bentuk pelecehan terhadap keyakinan umat Islam yang notabene menjadi penduduk mayoritas di negeri ini. Bahkan yang terjadi seolah seringkali umat Islam dituntut untuk memberikan toleransi terhadap keyakinan agama lain yang tidak mempermasalahkan perkara halal dan haram. Inilah negara yang menganut sistem sekuler kapitalis yang menjadikan manfaat materi sebagai asas dalam segala aturan dan kebijakannya. Oleh karena itu standar halal haram dikesampingkan bahkan tidak dijadikan sebagai asas dalam penetapan aturan maupun kebiijakan, termasuk dalam hal peredaran makanan dan minuman.
Dalam sistem sekuler kapitalis peredaran makanan dan minuman haram tidak akan dilarang selama itu mendatangkan keuntungan. Bahkan keuntungan materi menjadi tujuan utama dalam bisnis makanan dan minuman. Berbeda dengan sebuah negara yang menganut sistem Islam kaffah. Maka akan ada jaminan peredaran makanan dan minuman halal di masyarakat. Karena jaminan ini bagian dari upaya penjagaan terhadap akidah umat Islam yang wajib diberikan oleh negara. Oleh karena itu, bisnis makanan dan minuman dalam sistem Islam yang dilakukan oleh seseorang harus memperhatikan aspek halal dan haram. Jika ada kaum kafir yang hendak mengkonsumsi makanan haram, maka mereka dibolehkan melakukan hal itu di lingkungan atau komunitas mereka sendiri. Tidak boleh dilakukan di tempat umum.
Begitulan cara Islam mengatur dan menjamin peredaran makanan halal di masyarakat. Sehingga masyarakat merasa aman dan terjaga dari kuliner haram. Benteng Keluarga Menghadapi Life Style “food”. Disaat keluarga muslim saat ini hidup dalam sebuah sistem sekuler kapitalis, maka menjadi keharusan bagi setiap keluarga muslim untuk membentengi anggota keluarga secara mandiri. Setiap keluarga muslim dituntut untuk mampu membangun kesadaran yang kuat pada generasi muda untuk selalu waspada terhadap berbagai fenomena yang berkembang di masyarakat, termasuk kewaspadaan dalam memilih makanan halal. Setidaknya setiap keluarga muslim harus menempuh langkah-langkah dalam rangka membangun kesadaran yang tinggi dalam menghadapi maraknya kuliner haram :
- Pendidikan agama sejak dini. Ibu merupakan sekolah pertama (madrasatul ula) dalam pendidikan anak. Di dalam keluargalah harus terbangun pondasi akidah yang kuat pada anak Sehingga anak terbiasa untuk menjadi sosok yang taat terhadap syariat Islam. Anak tidak cukup diajarkan tentang cara beribadah shalat ataupun puasa. Namun anak juga harus mengenal hukum-hukum baik yang menyangkut hukum perbuatan (seperti wajib, sunah, haram, makruh dan mubah) maupan hukum benda (halal dan haram)
- Membiasakan taat pada syariat sejak dini. Ketika anak telah memahami hukum-hukum Islam, maka harus ada upaya membiasakan anak untuk mentaati hukum-hukum tersebut. Sehingga anak menjadi terbiasa memiliki tolak ukur perbutan berdasarkan halal dan haram. Ketika anak dibiasakan untuk memperhatikan standar halam haram dalam segala hal, maka akan terbiasa teliti dalam menentukan pilihan.
- Membiasakan anak untuk berada pada lingkungan pergaulan yang diliputi kesalehan. Teman yang saleh dan lingkungan pergaulan yang saleh, juga tidak kalah penting dalam membentuk karakter positip pada anak. Oleh karena itu, Ketika anak terbiasa bergaul dengan orang yang saleh dan dalam lingkungan yang saleh maka anak akan terbiasa untuk hidup dengan cara yang saleh.
Selain itu, sudah seharusnya menjadi kewajiban umat Islam untuk mengoreksi berbagai kebijakan penguasa. Termasuk mengoreksi terhadap lepas tangannya negara dalam menjamin peredaran makanan dan minuman halal di tengah masyarakat. Karena lepas tangannya penguasa dari tanggung jawab menjaga keyakinan umat Islam ini, menunjukkan bahwa penguasa lemah dan tidak punya kamampuan untuk mengayomi rakyatnya khususnya yang beragama Islam. Bahkan yang muncul justru sebaliknya terjadi diskriminasi hak umat Islam di negeri yang mayoritas penduduknya muslim. Wallahu a’lam bishshawab. (SM/LY)