Tanya:
Ustazah, ada seorang dokter yang mengatakan bahwa wanita haid boleh shalat, apakah benar pendapat tersebut ?. Terima kasih atas jawabannya Ustazah. (Ari di Sidoarjo)
Jawab:
Ibu Ari yang dirahmati Allah SWT, Syariat Islam telah sangat jelas mengatur tentang pelaksanaan shalat. Karena shalat adalah salah satu aktifitas ibadah yang asasi bagi seorang muslim. Semua tata cara shalat bersifat tawqifi atau baku mencakup di dalamnya mengatur rukun dan syarat sahnya.
Semua ulama telah sepakat bahwa haram hukumnya bagi wanita haid melaksanakan shalat. Karena menjadi syarat sah shalat adalah suci dari hadas besar maupun hadas kecil, dan haid termasuk hadas besar. Sehingga bagi wanita haid tidak boleh shalat sampai benar-benar suci dari haidnya.
Ada dua hukum yang berlaku yang terkait dengan hukum shalat bagi wanita yang sedang haid.
- Tidak Wajib
Bagi wanita haid telah gugur kewajibannya untuk melakukan shalat. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa diharamkan baginya untuk mengerjakan ibadah shalat.
- Tidak Sah
Shalat-nya wanita haid, tidak akan sah. kalaupun shalat itu dikerjakan juga, maka hukumnya menjadi tidak sah atau diterima di sisi Allah. Dalilnya:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى
“ Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah haid itu adalah suatu kotoran.‘..(QS. Al-Baqarah(2):222). Demikian juga sabda Rasulullah saw. kepada Fatrimah binti Abu Hubais menyebutkan hal senada,
فَإِذَا أَقبَلَتْ حَيضَتُكِ فَدَعِي الصَّلاَةَ، وَإِذَا أَدبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ صَلِّي
“Apabila haid tiba, tinggalkan shalat. Apabila telah selesai (haid) maka mandilah dan shalatlah,” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketentuan ini juga terdapat dalam hadis dari Mu’adzah, saat ada perempuan yang bertanya pada Aisyah ra.,
أَتَجْزِى إِحْدَانَا صَلاَتَهَا إِذَا طَهُرَتْ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ كُنَّا نَحِيضُ مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلاَ يَأْمُرُنَا بِهِ . أَوْ قَالَتْ فَلاَ نَفْعَلُهُ
“Apakah kami perlu mengqadha’ shalat kami ketika suci?” Aisyah menjawab, “Apakah engkau seorang Haruri? Dahulu kami mengalami haid di masa Nabi saw. masih hidup, namun beliau tidak memerintahkan kami untuk mengqadha’nya. Atau Aisyah berkata, “Kami pun tidak mengqadha’nya.” (HR. Bukhari).
Dalam hadis di atas Aisyah memberitahukan bahwa nabi saw. menyuruh mereka meng-qadha puasa karena meninggalkan saat haid tanpa memerintahkan meng-qadha shalat. Istilah qadha hanya berlaku untuk suatu kewajiban yang tidak dilakukan pada waktunya. Artinya pelaksanaan shalat pada saat haid itu tidak diperintahkan, dan setelah suci pun tidak diperintahkan untuk meng-qadha, yang wajib di-qadha hanya puasanya saja.
Larangan melakukan shalat ini, menurut mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali masuk di dalamnya tidak boleh melakukan amalan-amalan di dalam shalat, seperti sujud. Maka haram hukumnya bagi wanita haid melakukan sujud syukur dan sujud tilawah dalam keadaan haid (Mausu’ah Al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 18/315).
Jadi ibu Ari yang dirahmati Allah,
Pendapat seorang dokter yang mengatakan wanita haid boleh shalat jelas itu salah. Itu menandakan yang bersangkutan ngawur dalam memahami hukum-hukum shalat. Hal ini nampak dari kesalahannya dalam memahami ayat 45 dari surat Al -Baqarah yang digunakannya sebagai dalil,
وَاسۡتَعِيۡنُوۡا بِالصَّبۡرِ وَالصَّلٰوةِ وَاِنَّهَا لَكَبِيۡرَةٌ اِلَّا عَلَى الۡخٰشِعِيۡنَۙ
“Dan mohonlah pertolongan dengan sabar dan sholat. Dan itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.”
Dokter tersebut menjelaskan ayat ini ada perintah untuk sabar dan shalat setiap saat dan setiap waktu dalam kondisi haid atau tidak dalam memohon pertolongan-Nya.
Dia tidak paham bahwa ayat tersebut seruannya berifat umum, sementara kapan waktu shalat ditegakkan, apa rukun dan syarat sahnya shalat tidak dipahami sama sekali, padahal hal tersebut dijelaskan secara terperinci oleh hadis. Dan hadis adalah salah satu sumber hukum Islam dalam memahami seruan-seruan di dalam Al-Qur’an.
Mungkin menjadi pertanyaan kita bersama, mengapa syariat Islam yang sudah begitu baku contohnya shalat bisa di pahami sekehendak hatinya?. Jawabnya adalah hal itu disebabkan kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasilah yang menjadi pangkal semuanya. Demokrasi memberikan perlindungan kepada siapa saja yang berbicara dan berbuat apa saja, sehingga pandangan dan perilaku menyimpang pun begitu marak terjadi di tengah-tengah umat ini.
Hal ini berbeda ketika kaum muslimin hidup dalam naungan sistem Khilafah Islam. Negara menjaga dan melindungi warga negaranya dari berbagai pemikiran dan perilaku yang menyimpang. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/LY]