Ilusi UU TPKS sebagai Solusi Kejahatan Seksual di Pondok Pesantren

  • Opini

Oleh: Mahganipatra

Suaramubalighah.com, opini —  Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pondok pesantren telah mampu menyedot perhatian masyarakat. Menjadi momen yang paling memilukan sekaligus memalukan bagi dunia pendidikan di Indonesia. Selama kurun waktu 2015-2020, tercatat kasus kekerasan seksual di pondok pesantren menduduki urutan kedua tertinggi setelah Perguruan Tinggi.

Dilansir dari tvonenews.com 14/7/2022, tercatat ada lima kasus besar tindak kekerasan seksual yang terjadi dan dilaporkan di dalam lingkungan pondok pesantren di Indonesia. Berita ini pun sempat viral di media sosial karena para pelaku merupakan oknum petinggi ponpes yang notabene sebagai kiai, pengampu dan tenaga pendidik di instansi tersebut.

Selain itu, terungkapnya sejumlah peristiwa TPKS dengan jumlah korban yang mencapai puluhan santriwati, telah memicu pro dan kontra di masyarakat mengenai urgensitas pelaksanaan UU TPKS. Muncul beragam respon dari berbagai kelompok masyarakat yang justru menunjukkan dukungan dan perlindungan terhadap pelaku serta menghambat perlindungan terhadap korban. Hal ini disebabkan oleh faktor pola pikir dan perilaku dari para pelaku dan juga masyarakat yang menganut paham budaya dan relasi kuasa yang menganggap bahwa posisi kiai adalah guru yang wajib dihormati karena memiliki ilmu dan mengajarkan ilmu.

Munculnya anggapan tersebut karena di dalam sistem pendidikan pesantren di Indonesia menganut pola pendidikan yang dikenal dengan istilah milah berkah yaitu sebuah pandangan yang menganggap posisi kiai sebagai patron yang wajib dihormati oleh para santri dan masyarakat sekitarnya. Selain itu sistem pendidikan di pesantren juga bersifat eksklusif dengan membatasi  aktivitas kegiatan pembelajaran hanya terbatas pada lingkungan pesantren. Hal ini juga dicurigai sebagai penyebab maraknya kekerasan seksual di pondok pesantren. Oleh karena itu dengan membentuk narasi bahwa pelaksanaan dan penggunaan UU TPKS oleh hakim sangat penting untuk mengadili pelaku. Serta  menjadi salah satu solusi untuk mengakhiri maraknya tindakan TPKS di pondok pesantren.

Lalu muncul pertanyaan, benarkah pelaksanaan UU TPKS merupakan solusi dari fenomena kejahatan seksual di pondok pesantren? Ataukah seperti laron yang tertangkap lampu saat musim hujan? Kasus TPKS muncul demi kepentingan sesaat agar tercapai tujuan untuk memuluskan agenda yang bersifat sistemik.

dibalik Agenda Pelaksanaan UU TPKS

Bagi para pegiat HAM dan aktivis Feminisme peristiwa kekerasan seksual yang terjadi di pondok pesantren menjadi momen terpenting bagi pelaksanaan UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang baru disahkan oleh DPR. UU TPKS ini digadang-gadang sebagai bentuk komitmen negara dalam memberikan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia secara menyeluruh bagi setiap warga negara, khususnya pada perempuan dan anak dari ancaman tindakan kekerasan seksual dan diskriminasi. Sebab menurut para pegiat HAM, UU TPKS ini dianggap telah membawa spirit yang sangat mulia, dia tidak hanya berbicara mengenai bagaimana memidana pelaku tetapi juga mencegah kekerasan seksual, melindungi korban, dan yang terpenting kebutuhan korban terpenuhi.

Sementara dalam kaca mata aktivis Feminisme, di dalam UU TPKS juga mencakup Hukum Progresif dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Fenomena kekerasan seksual di pondok pesantren diibaratkan sebagai fenomena gunung es. Sehingga momentum ini dianggap sangat tepat untuk mensosialisasikan UU TPKS dengan melampirkan paham feminisme ke dalam kurikulum sistem pendidikan pondok pesantren. Melalui kedok gerakan untuk melindungi perempuan, mereka mulai masif bergerak dengan membentuk lembaga yang memiliki legalitas hukum untuk bersinergi dan berkoordinasi melaksanakan pencegahan dan penanganan korban kekerasan seksual dengan penerapan UU tersebut. Sebab menurut mereka kekerasan seksual terjadi karena terdapat lima ciri masalah ketimpangan dan ketidakadilan gender yang ada di masyarakat Indonesia.

Masalah ketimpangan gender yang dimaksud adalah pertama, subordinasi (pandangan yang menempatkan kedudukan dan peranan perempuan lebih rendah dari laki-laki).

Kedua, marjinalisasi (perempuan tersingkirkan dalam proses pembangunan). Ketiga, stereotip (pandangan bahwa perempuan hanya mempunyai fungsi tertentu seperti domestik). Keempat, beban kerja yang berlebihan (tidak ada pembagian kerja yang adil antara perempuan dan laki-laki). Dan kelima, diskriminasi dan tindak kekerasan (membedakan hak dan kewajiban yang merugikan perempuan).

Namun benarkah demikian? Karena faktanya UU TPKS merupakan buah dari penerapan sistem liberalisme dan kapitalisme sekuler. Ada kontradiksi yang jelas antara undang-undang yang dibuat untuk tujuan membangun lingkungan yang aman bagi perempuan dan anak. Dengan nilai kebebasan yang justru telah menjadi doktrin masyarakat penyebab munculnya berbagai ketimpangan dan ancaman bagi perempuan dan anak. Salah satunya adalah nilai kebebasan yang terkandung di dalam UU TPKS, yang mengadopsi sexual consent (persetujuan seksual di luar perkawinan yang sah), dan UU TPKS juga masih menggunakan tolak ukur pada masalah kekerasan dan ancamannya, belum menjangkau tindak pidana perzinaan dan penyimpangan seksual sehingga bersifat tidak komprehensif.

Dengan demikian sangat jelas bahwa nilai-nilai kebebasan yang diadopsi oleh sistem liberal kapitalisme sekulerlah yang menjadi pokok permasalahan masyarakat. Pola pikir dan perilaku liberal telah mendorong terkikisnya ketakwaan individu di masyarakat dengan menempatkan kehendak dan keinginan individualistik yang menjadi standar benar dan salah. Bahkan menjadikan budaya mengejar kesenangan pribadi tanpa memperhatikan akibat yang muncul terhadap kehormatan perempuan telah mendorong munculnya bi’ah dikalangan santri dan sebagian oknum  kiai di pondok pesantren. Hingga akhirnya aktivitas amar makruf nahi mungkar sebagai regulasi kontrol masyarakat telah kehilangan makna dan tidak mampu membendung tindakan-tindakan negatif kekerasan terhadap perempuan dan anak di pondok pesantren maupun di tengah-tengah masyarakat. Jadi sebenarnya justru  penerapan sistem liberalisme dan kapitalisme sekulerlah yang menjadi biang masalahnya bukan yang lain.

Solusi Sempurna Kejahatan Seksual di Pondok Pesantren

Keyakinan bahwa solusi kekerasan seksual yang terjadi di pondok pesantren dapat terselesaikan dengan pelaksanaan UU TPKS merupakan ilusi. Sebab UU TPKS lahir dari sistem dan ideologi yang menganut kebebasan. Secara sistemik kebebasan ini telah mendorong pada sikap merendahkan perempuan serta memperlemah penjagaan kehormatan perempuan.

Maka solusi paling  sempurna dan yang  mampu melindungi kehormatan perempuan hanyalah dengan penerapan sistem yang berdasarkan sistem Islam. Karena dalam sistem Islam terdapat nilai-nilai mulia serta benar-benar bertanggung jawab terhadap penjagaan kehormatan bagi perempuan. Bahkan dalam sistem Islam, para lelaki diwajibkan untuk membela dan mengorbankan hidup mereka demi menjaga kehormatan perempuan. Rasulullah saw. bersabda,

إنما النساء شقالق الرجال

” Perempuan adalah saudara kandung para laki-laki.” (HR. Abu Daud)

Salah satu buktinya adalah di masa Rasulullah saw., seorang laki-laki muslim. Dengan keberanian yang sempurna rela mengorbankan nyawanya untuk menghadapi serangan kaum Yahudi Bani Qainuqa.  Ketika melindungi kehormatan seorang perempuan yang dilecehkan kehormatannya di pasar Yahudi Bani Qainuqa.

Demikian pula pada masa khalifah Mu’tasimbillah, sikap tegas ditunjukkan oleh negara Khilafah Islamiah. Demi melindungi kehormatan seorang muslimah, negara telah menetapkan keputusan untuk mengirim ribuan pasukan tentara muslim bergerak menyerukan jihad fisabilillah ke negeri Amuria demi menyambut seruan seorang muslimah yang mengalami pelecehan.

Hal ini menjadi bukti, hanya dengan menerapkan sistem Islam yaitu dengan menegakkan syariat dan khilafah, negara akan mampu menjaga dan menawarkan strategi jelas untuk melindungi kehormatan perempuan di tengah-tengah masyarakat.

Melalui mekanisme sistem Islam akan terwujud kesadaran pada nilai-nilai dan pandangan Islam terhadap perempuan. Melalui penerapan yang berdasarkan pada pemahaman sistem Islam secara kaffah maka sistem pendidikan, media dan aktivitas politik sosial masyarakat akan mewujudkan keimanan dan ketakwaan individu di masyarakat. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/LY]