Penulis: Chusnatul Jannah
Suaramubalighah.com, opini — Kaum muslim memiliki banyak peristiwa bersejarah, di antaranya ialah peringatan 1 Muharam sebagai tahun baru Islam. Berbagai kegiatan seperti pawai, tablig akbar, dan sejenisnya turut menyemarakkan momen tahunan tersebut.
Satu Muharam mengingatkan kita pada peristiwa hijrahnya Rasulullah ﷺ dan para sahabat dari dar kufur (Makkah) menuju dar Islam.
Agar tidak euforia dan seremonial semata, pelajaran penting apa yang bisa kita ambil dari peringatan 1 Muharam 1444 Hijriah kali ini?
Sejarah Hijrah
Bagi kaum muslim, hijrah bukan sekadar ungkapan kegembiraan dimulainya Tahun Baru Islam. Akan tetapi, peristiwa hijrah merupakan sejarah baru dimulainya kehidupan kaum muslim. Hijrahnya Rasul ﷺ dan para sahabat adalah cikal bakal berdirinya negara Islam dan peradabannya.
Selama 13 tahun berdakwah di Makkah, Rasul ﷺ dan para sahabat mengalami berbagai penindasan dan penyiksaan oleh kaum kafir Quraisy. Segala upaya beliau ﷺ lakukan untuk menyebarkan Islam di Makkah, tetapi tidak banyak penduduk yang menerima dakwahnya. Hanya sebagian kecil yang mau menerima, sedangkan kabilah Quraisy bergeming dan membatu.
Melihat ini, Rasulullah ﷺ mulai memikirkan strategi agar dakwah ini tetap berlanjut, yaitu mulai merancang untuk meminta dukungan dan keamanan ke para pembesar Quraisy dan negeri-negeri yang ada di sekitar Makkah. Namun, usaha itu tidak membuahkan hasil.
Pada 621 Masehi, datanglah 12 orang dari Madinah ke Makkah. Mereka mendengar perihal agama baru (Islam) yang dibawa Nabi ﷺ. Mereka tertarik dengan Islam dan menemui Nabi ﷺ di Bukit Aqabah. Mereka berbaiat keimanan kepada Rasul dan menyatakan memeluk Islam.
Peristiwa tersebut dikenal dengan Baiat Aqabah I. Ketika 12 orang ini hendak kembali, Rasul meminta Mush’ab bin Umair untuk mengajarkan mereka tentang Islam dan memerintahkannya menyebarkan Islam di Madinah. Mush’ab pun dikenal sebagai duta Islam pertama.
Pada 622 Masehi, 73 orang datang ke Makkah untuk berhaji. Mereka berasal dari suku Aus dan Khazraj yang berniat menemui Nabi ﷺ dan menyatakan komitmennya untuk membela dan mengikuti Nabi ﷺ beserta kaum muslim dari kaum Quraisy. Mereka pun siap menyerahkan kekuasaannya kepada Nabi ﷺ agar beliau berhijrah ke Madinah.
Peristiwa ini dikenal dengan Baiat Aqabah II. Dari sini, perintah hijrah turun kepada Nabi ﷺ, peristiwa yang menjadi benih berdirinya negara Islam. Setelah hijrah, Rasul ﷺ membangun masyarakat Islam di Madinah dengan penerapan Islam secara kaffah.
Memaknai Hijrah
Kata “hijrah” merupakah isim (kata benda) dari fi’il “hajara” yang berarti tarku al-ulaa li ats-tsaniyah (meninggalkan dari yang pertama menuju yang kedua).
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 218)
Dalam ayat lain disebutkan, “Barang siapa yang berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 100)
Menurut Imam Al-Jurjani, hijrah berarti berpindah dari dar kufur menuju dar Islam. Menurut Ibnu Hazm, hijrah adalah tobat meninggalkan segala dosa. Sedangkan menurut Ibnu Rajab al-Hanbali, hijrah berarti meninggalkan dan menjauhi keburukan untuk mencari, mencintai, dan mendapatkan kebaikan.
Patutlah kita merenungi secara mendalam makna hijrah sebagaimana Rasulullah ﷺ sampaikan, “Seorang muslim adalah orang yang menjadikan muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya. Seorang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa saja yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari, Abu Daud, Nasai, Ahmad, Hakim, Ibnu Hibban, Humaidi)
Spirit hijrah bagi kaum muslim semestinya tidak terbatas pada perubahan individu dan masyarakat. Ada makna yang lebih luas jika kita berkaca pada peristiwa hijrahnya Rasulullah ﷺ, yaitu menegakkan sistem dan kepemimpinan Islam secara menyeluruh dalam tatanan negara.
Spirit hijrah bagi seorang muslim ialah bersegera melaksanakan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh.
Hijrah untuk Perubahan Politik
Harus kita akui, sistem kehidupan saat ini masih jauh dari makna hijrah yang sesungguhnya. Boleh jadi individu berhijrah, tetapi negeri kita belumlah dikatakan berubah menjadi lebih baik. Sejak merdeka, Indonesia tidak mengalami banyak perubahan. Bahkan, pascareformasi, kondisi Indonesia makin mengkhawatirkan. Apa indikasinya?
Pertama, dari dimensi politik, Indonesia masih menerapkan sistem demokrasi. Sistem ini melahirkan pemerintahan korup. Dari tingkat pusat hingga daerah, banyak pejabat terlibat dalam praktik korupsi. Setelah reformasi, kasus korupsi masih saja terjadi.
Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi 2021, Indonesia berada di peringkat 96 dari 180 negara. Sementara itu, berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, Indeks Perilaku Antikorupsi berada di kisaran 3,88%. (Katadata, 08/02/2022).
Artinya, yang mengorupsi lebih dominan dibanding yang tidak. Ini karena sistem demokrasi memberi celah dan kesempatan untuk bertindak korupsi. Pemilu mahal, modal harus besar, dan balik modal dengan jalan korupsi seakan menjadi kegiatan “rutin” pejabat terpilih.
Kedua, dari dimensi ekonomi, penerapan ideologi kapitalisme sungguh menyengsarakan. Kemiskinan, kelaparan, dan pengangguran adalah indikator rusaknya ideologi ini. Dalam kapitalisme, rakyat hanya menjadi tumbal keserakahan para kapitalis. Rakyat menjadi korban kebijakan oligarki kekuasaan.
Belum lagi kondisi BUMN yang terseok-seok dengan tumpukan utang, kenaikan berbagai tarif layanan publik, hingga melambungnya kebutuhan pokok, semua adalah akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme.
Ketiga, dari dimensi sosial, sistem sekuler telah merusak generasi. Banyaknya kasus aborsi, seks bebas, eljibiti, hingga krisis identitas yang melanda remaja. Generasi muda tergerus kehidupan hedonis, liberal, dan permisif yang sangat jauh dari nilai Islam.
Remaja kreatif dan inovatif yang sifatnya hedonistik, seperti 3F (food, fashion, fun), malah diapresiasi. Sementara itu, remaja taat Islam, aktivis, dan anak Rohis, malah dicurigai sebagai bibit radikal dan teroris.
Katanya, islamofobia tidak ada. Akan tetapi, faktanya, generasi ditakut-takuti bahwa jika belajar Islam terlalu dalam, bisa menjadi radikal, intoleran, dan antikeberagaman.
Keempat, dari dimensi hukum, jamak kita ketahui, hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Terhadap rakyat biasa, hukum sangat tegas. Namun, terhadap penguasa, hukum mudah dikangkangi kepentingan. Bahkan, yang lebih parah, hukum dijadikan alat pukul bagi siapa pun yang berseberangan dengan penguasa. Inilah lemahnya hukum buatan manusia. Tidak bisa memberikan keadilan dan jaminan perlindungan bagi seluruh warga negaranya.
Berdasarkan uraian di atas, problematik yang kita hadapi sejatinya berasal dari sistem yang diterapkan. Berapa banyak kita berganti pemimpin, tetapi kondisinya masih sama? Pascareformasi pun, keadaannya tidak jauh berbeda, bahkan lebih buruk dari sebelumnya.
Setelah 76 tahun merdeka, Indonesia belum berbenah dan berubah. Oleh karenanya, mari jadikan peristiwa hijrah sebagai bekal melakukan perubahan secara fundamental, baik dari sisi politik, ekonomi, sosial, hukum, maupun pemerintahan, yakni perubahan menyeluruh menuju tegaknya sistem Islam kafah.
Ini sebagaimana Rasulullah ﷺ berhijrah dalam rangka mengubah sistem jahiliah kala itu menjadi sistem Islam. Jika bukan dengan penerapan Islam dalam bingkai Khilafah, perubahan apalagi yang mau kita harapkan?
Jika kita sudah mengetahui sistem kapitalisme bermasalah, mengapa masih saja mempertahankannya? Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi ﷺ beliau bersabda, “Seorang mukmin tidak akan terperosok ke dalam lubang yang sama dua kali.” (HR. Bukhari). Wallahu a’lam bishshawab. [SM/LY]
Sumber: muslimahnews.net